Kebudayaan bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga bagian dari proses hidup yang berkembang. Salah satu cara untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaan adalah melalui teknologi, terutama media sosial yang banyak digunakan oleh Generasi Z. Fenomena Fear of Missing Out (FoMO), yang merupakan perasaan cemas karena takut ketinggalan pengalaman sosial atau budaya yang terjadi di sekitar mereka, telah menjadi ciri khas bagi Generasi Z yang sangat terhubung dengan dunia maya.
FoMO dan Generasi Z
FoMO adalah perasaan cemas atau khawatir akan kehilangan pengalaman yang dimiliki orang lain, terutama yang terlihat di media sosial. Generasi Z, yang lahir antara 1997 dan 2012, tumbuh dalam dunia yang sangat terhubung secara digital. Mereka mudah mengakses informasi dan mengikuti perkembangan terbaru di media sosial. Menurut Dimock (2019), Generasi Z adalah kelompok usia yang sangat mendominasi dalam penggunaan media sosial, yang menyebabkan mereka lebih rentan terhadap fenomena FoMO. Media sosial memungkinkan mereka terus-menerus terhubung dan memperbarui status sosial, yang menciptakan dorongan kuat untuk selalu ikut berpartisipasi dalam tren dan kegiatan sosial.
Baca juga:
Selain itu, Generasi Z memiliki kecenderungan untuk under influence, yaitu mudah terpengaruh oleh apa yang dilakukan atau dilihat oleh orang lain di media sosial. Ini memperkuat kecenderungan mereka untuk mengikuti tren dan berbagi pengalaman agar tidak merasa tertinggal. Fenomena ini berperan besar dalam membentuk cara mereka berinteraksi dengan dunia, termasuk dalam berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan seni. Keterlibatan mereka dengan tren budaya, seperti menghadiri acara seni atau mengunjungi tempat-tempat bersejarah, sering kali dipicu oleh keinginan untuk berbagi pengalaman tersebut di platform media sosial mereka.
Media Sosial dan Konservasi Budaya
Seni dan budaya merupakan bagian integral dari identitas suatu bangsa. Konservasi seni dan budaya bertujuan untuk menjaga agar tradisi, seni, dan warisan budaya tetap relevan di tengah perubahan zaman. Media sosial memainkan peran penting dalam proses ini dengan memberikan platform untuk menyebarkan informasi dan keterlibatan masyarakat, terutama Generasi Z, dalam kegiatan pelestarian budaya. Platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan Facebook sangat populer di kalangan Gen Z. Oleh sebab itu platform-platform tersebut bisa menjadi media yang strategis untuk mempromosikan seni dan budaya pada mereka.
Baca juga:
- Culture-pass: Solusi Nyata Pemerataan Akses Seni Budaya
- Mengakrabi Seni Tradisi Wonosobo dalam Sejilid Bunga Rampai
Generasi Z tidak hanya mengonsumsi budaya, tetapi mereka juga aktif berperan sebagai kreator. Mereka menciptakan konten budaya yang menarik dan membagikannya melalui platform digital sehingga dapat menjangkau audiens lebih luas. TikTok, misalnya, memungkinkan para kreator muda untuk memperkenalkan tarian, musik, dan budaya Indonesia melalui video pendek yang cepat viral. Platform ini mendorong keterlibatan langsung dengan audiens, serta mendorong lebih banyak orang untuk mengenal budaya Indonesia, dari tarian tradisional hingga festival lokal.
Selain TikTok, Instagram dan YouTube juga memainkan peran besar dalam konservasi budaya. Instagram memungkinkan pengguna untuk membagikan momen budaya melalui foto dan video, sementara YouTube menjadi tempat untuk dokumentasi berdurasi lebih panjang dan mendalam mengenai seni dan budaya. Facebook, dengan fitur grup dan event, memungkinkan komunitas budaya untuk saling berbagi informasi dan menyelenggarakan acara. Semua platform ini membuka peluang bagi Generasi Z untuk terlibat dalam pelestarian budaya dengan cara yang lebih modern dan relevan.
Tantangan dan Solusi
Namun, ada tantangan terkait dengan fenomena ini. FoMO dapat memicu rasa cemas yang berlebihan, yang berdampak pada kesehatan mental Generasi Z. Terlalu banyak terlibat dalam kegiatan yang hanya bersifat sementara atau mengikuti tren yang cepat berlalu bisa mengurangi pemahaman dan apresiasi terhadap budaya itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi Generasi Z mengenai nilai-nilai mendalam dari seni dan budaya, bukan hanya sebagai tren sesaat yang harus diikuti demi validasi sosial.
Meskipun media sosial menawarkan peluang besar untuk konservasi seni dan budaya, tantangan utama adalah kecenderungan untuk menyajikan budaya secara dangkal dan berbasis tren yang cepat berubah. Hal ini berisiko mengalihkan perhatian dari makna dan konteks asli budaya tersebut. Generasi Z cenderung lebih tertarik pada pengalaman instan dan visual yang menarik, seperti foto estetik atau video viral, tanpa benar-benar memahami nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Untuk mengatasi hal ini, perlu ada upaya untuk menciptakan konten yang edukatif dan mendalam di media sosial. Konten yang menekankan pentingnya pelestarian budaya dan memberikan wawasan lebih dalam mengenai makna di balik setiap tradisi akan membantu Generasi Z untuk lebih menghargai kebudayaan sebagai bagian dari identitas bangsa, bukan hanya sebagai hiburan semata. Dengan pendekatan yang tepat, media sosial bisa menjadi alat yang kuat dalam menjaga dan mengembangkan seni dan budaya Indonesia pada era digital. (*)
Editor: Kukuh Basuki