Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Tantangan Meningkatkan Kecakapan Numerasi

Joko Priyono

2 min read

Ketika dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang matematika di Universitas Pendidikan Indonesia pada 26 April 2012, Prof. Dr. Darhim, M. Si. menyampaikan pidato berjudul “Guru Matematika sebagai Ilmuwan dan Siswa selain sebagai Guru Profesional”. Ia menjelaskan empat jenis matematika, yaitu akademik, teknik, rekreasi, dan kehidupan sehari-hari. Satu jalan penting dalam mengembangkan kemampuan matematika adalah menitikberatkan keberadaan matematika rekreasi dan kehidupan sehari-hari. Penjelasan tersebut membuat kita berefleksi, jika kedua hal tersebut gagal, pendidikan kita menghadapi problem yang serius.

Kesan yang kemudian muncul adalah matematika hanya berjalan pada tataran teoretik yang kering dan abstrak. Hal tersebut semakin menjadi ketika matematika tidak didekatkan di kehidupan sehari-hari. Matematika menjadi sedemikian kering dan abstrak karena alasan demi mengikuti isu mutakhir dan standardisasi yang berlaku di tingkat internasional. Di dalam aspek pendidikan, Programme for International Student Assessment (PISA) memiliki 3 aspek acuan, yakni literasi, numerasi, dan sains.

Tulisan ini berangkat dari opini I Wayan Artika berjudul “Ketimpangan Gerakan Literasi” (kompas.id, 21 Desember 2024) yang mengajukan keresahan dalam transformasi gerakan literasi di Indonesia, bahwa memang keberadaan gerakan literasi telah menggema di berbagai level masyarakat dan bahkan menjadi program di tataran nasional. Literasi telah identik dalam acara seminar maupun lokakarya, bedah buku, hingga latihan kepenulisan.

Baca juga:

Akan tetapi, ia meresahkan posisi numerasi yang masih berjarak dari masyarakat. Artinya, keberadaan numerasi belum mendapatkan posisi strategis dibandingkan literasi.

Matematika sebagai Akar

I Wayan memberi keterangan penting dalam opininya: “Di tengah minimnya pelatihan-pelatihan numerasi, sungguh berbanding terbalik dengan gebyar literasi; amat dibutuhkan pendekatan-pendekatan numerasi. Yang mendesak ialah melakukan pelatihan-pelatihan khusus yang menyasar numerasi masyarakat. Harus dapat dibedakan secara kuat: antara literasi dan numerasi.”

Pernyataan tersebut kiranya memunculkan satu PR besar: perlu ada paradigma maupun cara pandang baru terhadap keberadaan numerasi. Jika kita boleh jujur, numerasi sangat berkaitan dengan keberadaan matematika. Maka dari itu, urgensi untuk mengarusutamakan numerasi akan sangat berkelindan dengan pernyataan Presiden Prabowo kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengenai reformula metode pendidikan matematika di kelas 1-4 SD serta pengenalan matematika sejak TK. Ini mungkin bisa menjadi bagian integrasi perubahan kurikulum yang dicanangkan oleh Kemendikdasmen dengan mengacu terminologi deep learning.

Hal yang perlu disadari bersama adalah numerasi tidak boleh disandarkan pada pendidikan formal saja. Artinya, penting untuk menganalisis masalah yang diutarakan I Wayan, yakni kesenjangan. Sudah saatnya kita membincangkan masa depan program numerasi agar kedudukannya sama seperti literasi. Pelatihan numerasi bagi publik sangatlah penting.

Skema mengenai numerasi sejatinya telah digamblangkan melalui Perdirjen GTK Kemendikbudristek No. 0340/B/HK.01.03/2022. Dijelaskan, numerasi sebagai kemampuan berpikir untuk menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari dalam berbagai jenis konteks yang relevan dengan individu.” Pernyatan itu relevan dengan gugatan I Wayan mengenai perlunya pendefinisian lebih lanjut akan numerasi, yang tentu tak dapat dilepaskan dari wujud matematika di kehidupan sehari-hari.

Konstruksi Budaya

Dinamisnya ilmu matematika tentu berkelit kelindan dengan perubahan teknologi. Seperti yang pernah dicontohkan oleh matematikawan Iwan Pranoto (2023), kemampuan membaca dan bermatematika akan terus dibutuhkan di tengah gejolak perkembangan kecerdasan buatan. Karena itu, kecakapan membaca dan numerasi harus disiapkan sejak belia.

Baca juga:

Selain melalui pendidikan formal, pendidikan numerasi juga dipelu dibiasakan dari unit terdekat, yakni keluarga. Gagasan mendasar matematika adalah logika untuk bernalar, yang bertujuan untuk membuat seseorang memahami lingkungannya. Kecakapan itu dapat membantu manusia menghadapi berbagai persoalan.

Dalam buku garapannya yang berjudul Kecerdasan Matematis (Alvabet, 2022), Junaid Mubeen menghadirkan gagasan mengenai keberadaan matematika dalam konteks era kecerdasan buatan. Mubeen menyatakan kecerdasan matematis sebagai latihan terus-menerus untuk mendefinisikan dan menyelidiki berbagai fakta dengan hati-hati, serta menggunakan bentuk-bentuk penalaran tertinggi dalam menguji sebuah argumen.

Kembali pada urgensi membangun paradigma gerakan numerasi untuk publik, kiranya kita bisa mendekatkannya pada persoalan mutakhir. Di antaranya keamanan data dalam aktivitas digital, penipuan transaksi keuangan, godaan diskon di aplikasi belanja online, kesulitan membaca grafik, tabel, dan diagram dalam informasi maupun berita, perhitungan dalam bisnis digital, hingga pengabaian informasi nilai gizi di saat memilih makanan.

Satu pendekatan yang penting dalam membangun gerakan numerasi adalah lewat budaya. Lewat tradisi, benda, dan objek lainnya yang bisa digunakan sebagai sarana belajar. Kebudayaan bisa menjadi jembatan penghubung agar matematika dapat menjadi bagian dari praktik keseharian masyarakat.

 

 

Editor: Prihandini N

Joko Priyono
Joko Priyono Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email