Kota yang Membuatmu Menangis
Dulu, di sini,
Hidup jalan-jalan sebagai metafor pagi cerah
Kita hafal betul di mana sarapan dan makan malam terbaik
Juga gang-gang yang gagal diingat pria karier
Sementara hari-hari semakin gulma
Dan mereka, para tersayang, juga terbayang
Meninggalkan kita sebagai gedung apokaliptika
Tidakkah kau lupa:
Lauh mahfuz tak pernah mengabadikan kebahagiaan
Maka, semoga dukamu sementara
Dan bahagiamu agak lebih lama
Aku tahu, kau bukan perempuan rakus yang percaya bahwa segalanya
—termasuk bahagia—adalah selamanya
Maka, kita hafal betul di mana umpatan terbaik
Juga sungai mana yang paling berwarna magenta
Bukankah air mata juga perlu pulang sebagai uap awan?
Tapi kau akan meninggalkan kota ini
Menuju empat arah mata air
—Arah yang tidak ada aku di sana.
(Surakarta, 2022—2023)
_
Lagu yang Membuatmu Menangis
Kutipan lagu itu, adalah tubuh-tubuhmu
Yang dicuri penyair setiap pukul 11 malam
Semasa SD, pada sebuah MTV yang jingga
Sebuah lagu pernah menjadikanmu jagoan dalam lima menit
Kau kira semua lagu adalah obat
Tapi manusia selalu mengarsipkan penyakit setiap tahun
Kita pernah berbagi daftar putar pada malam paling kalah
Malam raya insomnia
Kau memintaku mendengarkan Olivia Rodrigo
Aku memintamu mendengarkan Kukuh Kudamai
—Bukankah kesedihan tidak selalu bernada minor?
Ah,
Yang minor itu nada, yang mayor itu kesia-siaanku
Yang terjangkau itu senar Pyramid, yang mahal itu telingamu.
(Surakarta, Juni 2023)
_
Buku yang Membuatmu Menangis
Bukumu yang tak mungkin pulang
Sulit diselesaikan dengan sindiran
Bukunya yang dilupakan dan ditinggalkan
Sulit diselesaikan lewat cara yang bijak
Lantaran buku, kau membenci Iwan Fals di seluruh lagu
“Apa guna sajak indahku di buku yang kupinjam itu?”
Katamu bertahun lalu
Juga dua menit lalu
Lantaran dirimu, ia membenci seluruh lembar buku
Kau sempat mengaku disleksia ketika:
Huruf-huruf yang kauraba beterbangan membangun senyumnya
Katamu bertahun lalu
Juga dua menit lalu
Hal yang berlalu, biarlah meng-asu
(Surakarta, Juni 2023)
_
Aroma yang Membuatmu Menangis
Kau pernah bercita-cita menjadi penjaja parfum
Yang menjauhi tukang besi
Maka kau bawa aroma firdaus di segala cuaca:
Untuk perkenalan-perkenalan
Untuk pelukan-pelukan
Untuk pengharapan orang-orang baru
Wewangian itu, wewangian itu tak pernah membuatmu merasakan hangat Tuhan
Ada aroma yang lebih tak kau suka
Melebihi bau bensin dan kandang tetangga
Sebab itu, malaikat subuh dan wewangian teh ayah tak lupa menasihatimu
Satu hal yang harus kaucurigai dari parfum:
Ia boleh saja dihalalkan
Ia membawa kenangan
Ia membawa bahasa nama-nama binatang.
(Surakarta, Juni 2023)
_
Waktu yang Membuatmu Menangis
Cinderella menjauhi angka 12
Atau Dracula yang takut fajar
Adakah kau di antara makhluk yang hangus oleh waktu?
Aku pernah menjumpaimu merutuki senin
Dalam ujian akhir yang tak kunjung selesai
Bersama yudisium yang dipunggungi kawan-kawan
Hari berkabung memang ditentukan negara
Tapi wajah masammu adalah urusanku
—Dulu
Lalu adakah hari-hari penting yang tak tercatat kalender:
Hari baik, hari sial, atau hari kiamat?
Kita yang terlalu berbual, dan weton yang perlahan terlupakan
masih saja terus bertanya:
Zodiak apa yang paling banyak melahirkan bajingan?
(Surakarta, Juni 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA