Setiap Sabtu, kelas kami bikin Aneka Ria Safari versi kami, anak-anak kelas 6 SDN 001 Handil Baru. Acara hiburan di TVRI itu kami tiru persis. Kami pindahkan ke depan kelas.
Pak Nadi, guru Mapel Kesenian kami yang baru, orang yang bertanggung jawab atas acara mingguan kami itu jadi MC. Dia meniru utuh gaya Eddy Sud, MC acara yang kami tiru.
Ani, Imah, Nur, Aida, Wina, Jurai, Odah, Ahmad, Syarif, Samsul, Fauji, jadi penyanyi. Mereka membawakan lagu-lagu pop, atau sebagian besar ya lagu wajib dan lagu anak-anak. Aku, Alimudin, Budi, dan Masrani, jadi pelawak. Setelah beberapa kali tampil, grup lawak yang kami beri nama Malining Grup itu ganti personel. Budi dan Masrani kami pecat, karena tidak lucu. Mereka jadi tukang pungut karcis, karena ternyata acara kami itu diminati murid-murid kelas lain, khususnya adik-adik kelas kami.
Amat dan Fauji masuk grup lawak kami, karena ternyata mereka tak bisa menyanyi. Sebenarnya mereka yakin sekali dengan suara mereka dan mereka suka sekali tampil menyanyi. Apalagi Amat, yang suara dan gayanya diseperti-sepertikan dengan Gito Rollies. Fauji kebetulan namanya sama dengan rocker Ikang Fauji. Seraknya, sih, mirip, tapi baru jalan sebentar dia akan terbatuk-batuk. Karena itu ketika menyanyi orang malah tertawa. Suara dan penampilan mereka secara keseluruhan cenderung lucu dibanding merdu.
“Tapi aku tak bisa melawak,” kata Amat. “Aku juga,” kata Fauji.
“Ya, sudah nanti saat melawak, kalian berdua menyanyi saja. Orang pasti tertawa. Itu berarti kalian sukses melucu, sukses bikin orang tertawa. Lawak, kan, intinya itu,” kataku.
Oh ya, satu yang belum aku sebutkan, yaitu Asari. Dia ini sebenarnya anak yang agak pemalu. Tapi, kalau disuruh menyanyi aduh dia berubah jadi anak yang tak kenal malu. Kata Pak Nadi, Asari itu berbakat jadi penyanyi profesional. Tepatnya penyanyi dangdut profesional.
Aku kira inilah penemuan terbesar Pak Nadi: menemukan bakat besar Asari. Bakat itu terlihat mula-mula saat kami diajari lagu berjudul Nun di Balik Gunung. Itu, kan, lagu yang harus dinyanyikan perlahan, semacam himne.
Nun di balik gunung, dusun terkurung sunyiiii… Begitu!
Nah, lagu itu oleh Asari dinyanyikan ala dangdut. Pak Nadi waktu itu baru masuk mengajar. Bertahun-tahun di SD kami tak ada guru Mapel Kesenian. Kalaupun ada, paling cuma mengajar menggambar. Menggambar bebas. Maksudnya kami disuruh menggambar terus gurunya bebas. Entah ke mana. Kata kawan-kawanku, guru kami yang dulu itu suka pergi mengadu ayam.
Mungkin kabar burung itu benar. Soalnya aku pernah menggambar orang mengadu ayam, eh, guruku yang dulu itu marah-marah. Gambarku dia robek. Sampai akhirnya Pak Nadi datang dari Jawa, menggantikan guru yang suka mengadu ayam itu.
Setelah kasus Nun di Balik Gunung itu, kami tahu ada DNA dangdut dalam diri Asari. Lagu apa pun yang dia bawakan akan jadi dangdut. Termasuk lagu wajib. Kayak Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila, atau Syukur. Akhirnya kami memecahkan rahasia besar kenapa selama ini, Asari tak pernah ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara bendera tiap Senin. Bayangkan lagu kebangsaan itu dinyanyikan dengan cengkok dangdut. Kacau sekali, bukan?
Setiap Sabtu, Asari selalu ditampilkan oleh Pak Nadi di akhir acara. Dia penampil puncak. Penyanyi utama. Aku suka rikues lagu Jojon Menendang Bola. Itu lagu Benyamin, entah apa judul persisnya. Tentu Asari menyanyi dalam irama dangdut. Dia tampil setelah grup lawak Malining tampil. Ini impersonasi dari Jayakarya Grup. Aku peniru Jojon yang baik. Cukup dengan meniru cara Jojon mengatakan apa ini, apa itu, tawa di kelas langsung pecah.
Tadinya, kami yang menutup acara. Namun, kalaupun digeser oleh raja dangdut Asari kami ikhlas!
Suatu hari, di kantin Bik Gendut, Asari bicara padaku.
“San, bilang ke Pak Nadi, namaku ganti, ya. Boleh ndak, ya? Biasanya artis top punya nama panggung. Nama glamor.”
Masuk akal juga. Gito Rollies itu menurut koran bekas yang kubaca di warung Haji Usin nama aslinya adalah Bangun Sugito. Ikang Fauzi itu nama aslinya Zulfikar apa begitu.
Asari menyampaikan itu padaku karena aku ketua kelas. Aku jadi semacam asisten produsernya Pak Nadi. Apa pun perintah Pak Nadi disampaikan melalui aku. Begitu juga sebaliknya. Permintaan Asari aku sampaikan pada beliau. Sejak itu, nama panggung Asari menjadi: Ari Kharisma.
Popularitas Ari Kharisma melampaui pagar halaman sekolah kami, bahkan melampaui batas desa kami. Ia kerap diminta tampil di acara malam pengumpulan dana di desa-desa lain.
Pak Nadi guru yang jeli melihat bakat kami. Untuk mendukung penampilan Ari Kharisma, ia menyeleksi dan melatih beberapa anak di antara kami untuk bermain musik. Sebelumnya dia sendiri yang mengiringi dengan gitar dan harmonika. Aku berambisi untuk lolos jadi pemain tamtam. Kepala Sekolah kami, Pak Murjani, mendukung penuh. Ia minta bantuan pengadaan alat band kepada rombongan Abri Masuk Desa alias AMD. Permintaan dikabulkan setelah mereka melihat kehebatan Ari Kharisma.
Aku gagal pada tes pertama. Bahkan di pukulan pertama. Maksud hati mau bikin pukulan bergeser untuk menimbulkan bunyi “dut” eh, malah jadinya kayak suara kentut.
Fauji dan Amat menemukan bakatnya. Amat jago main kibor. Fauji mantap goyangannya saat memainkan tamborin alias kecrekan dan dia juga setelah berlatih keras bisa juga main drum. Gitar langsung ditempati oleh Syarif. Sebagai keponakan Zuhdi, kami tak heran. Zuhdi itu pemain gitar tenar di kecamatan kami. Lead band Mega Grup. Tapi itulah masalahnya. Syarif antidangdut. Sementara Band Nyiur Bergoyang yang dibentuk untuk melayani Ari Kharisma, jelas harus main dangdut. Karena tak ada pilihan, sementara band tetap harus jalan. Syarif harus menyesuaikan permainan. Ani, Imah, dan beberapa teman perempuan jadi penari dan vokal latar. Ani sesekali menyanyi duet dengan Ari Kharisma.
Diam-diam sebenarnya ada perkembangan tak sehat. Syarif, kami tahu, hebat menyanyikan lagu pop. Itu juga kami tahu dari acara mingguan di kelas kami itu. Syarif ingin jadi vokalis, mengganti aliran musik band kami, dan menyingkirkan Ari Kharisma.
“Jangan, Rif. Band kita inikan cuma sementara. Buat main-main kita aja. Yang penting kita kompak. Targetnya nanti malam perpisahan kelulusan sekolah kita tampil berkesan dan habis-habisan,” kataku.
Kepadaku Syarif menurut. Ketua kelas! Tapi ambisinya tak padam. Ia bahkan sudah menyiapkan nama panggung: Arief Wibowo. Dia beli topi baret dan kacamata hitam. Kadang-kadang dia pakai syal, kain gendongan adiknya. Persis penyanyi dan gitaris Bill & Brod, Ari Wibowo, yang dia hafal semua lagunya, dari Madu dan Racun, Astaga, sampai Singkong dan Keju.
“Oh, ya, aku sudah siapkan nama band pop kita: Tempakul Band,” kata Syarif.
Band Nyiur Bergoyang melesat popularitasnya. Dari sekadar band tambahan, atau selingan, kini jadi band pembuka, sebelum Mega Grup tampil. Jam terbang dimanfaatkan Syarif untuk meningkatkan skill permainan. Sampai pada suatu titik di mana dia merasa tak akan bisa digantikan. Band kami tergantung pada dia. Syarif makin banyak tingkah. Kadang kunci gitarnya dia bikin meleset, dia salahkan Ari Kharisma. Hampir saja terjadi perkelahian di panggung. Untung aku bisa melerai mereka. Tapi perseteruan kedua kawanku ini makin tajam.
Aku membahasnya dengan Pak Nadi. “Ya, sudah bubarkan saja!” katanya.
Aku terkejut dan serta-merta menolak. Band kami sedang ngetop-ngetopnya.
“Apa solusinya? Kalau kamu punya jalan keluarnya, saya masih bisa bicara ke Pak Kepsek. Beliau sudah wanti-wanti agar ekskul jangan mengganggu persiapan ujian akhir nanti. Apalagi band kita ini,” kata Pak Nadi.
“Masih lama, kan, Pak? Ujian akhirnya?”
“Ndak sampai enam bulan lagi. Ini kita sudah pertengahan cawu dua. Lagi pula, kita tahun ini pakai sistem kelulusan baru,” kata Pak Nadi.
“Apa itu, Pak?”
“Saya kurang tahu persisnya. Saya dengar dari Pak Kepsek, namanya Ebtanas apa gitu. Evaluasi belajar tahap akhir nasional.”
Dia tambahkan, ujian kelulusan ditentukan dengan standar yang sama di seluruh Indonesia. “Kalau kita ndak siap, bisa kejadian tidak lulus 100 persen. Malu kan kita,” katanya.
Pening juga aku jadi memikirkan persoalan band tambah lagi soal setanas, eh, apa itu entah tak jelas tadi aku dengarnya. Saya berpikir lekas. Sampai pada satu usulan, bikin dua band, dua jenis aliran musik, dua vokalis.
“Kalau mereka berdua mau, silakan saja,” kata Pak Nadi.
Nah, sampai di sini, kukira sudah jelas, apa sebabnya di sekolah kami punya dua band yang pemainnya sama, Fauji pada kecrekan (kalau dangdut) dan drum (kalau pop), Amat pada kibor (mau dangdut, mau pop dia sikat semua), Abut (adil kelas kami yang jadi pemain tamtam, pemain tambahan untuk tampilan dangdut). Dua band kami itu sama-sama sukses, dengan vokalis Arief Wibowo dan Ari Kharisma. Sampai persiapan Ebtanas datang, dan berlalu.
Kami semua lulus, kecuali, nah, ini yang tragis: Syarif dan Asari.
Susah payah aku membujuk agar mereka mau tampil saat perpisahan di halaman sekolah. Acara yang sudah kami siapkan lama. Aneka Ria Safari terbesar dan terakhir. Pak Nadi pun menyerah! Asari malah menyalahkan beliau. Orangtuanya datang ke sekolah, menuntut pertanggungjawaban Pak Nadi. Orangtua Syarif malah langsung menemui Pak Kepala Sekolah. Ini sudah sampai urusan wali murid, tak ada yang bisa aku lakukan.
Aku tak ikuti pertemuan antara orangtua, Pak Nadi, dan Pak Kepsek. Namun, mereka berdua akhirnya mau tampil setelah perteman di ruang kepala sekolah itu. Pada pagi Minggu itu Pak Kepsek pidato sambil menitikkan air mata. Terharu sekali beliau. Itulah perpisahan paling meriah dan berkesan di sepanjang sejarah sekolah kami yang awalnya bernama SR alias Sekolah Rakyat.
“Khusus untuk anakku Ari Kharisma dan Arief Wibowo (kami tertawa karena beliau menyebut nama panggung dua kawan kami), ini memang berat buat kalian, tapi seperti yang saya janjikan, saya usahakan mendapatkan keringanan syarat kelulusan untuk anak seberbakat kalian. Saya sudah menghubungi bahkan bertemu kepala Dinas Provinsi, yang kebetulan beliau kakak kelas saya dulu di normal school. Kalian bisa lulus, tapi nanti ijazahnya dari sekolah lain. Terima saja, ya, Nak. Yang penting kalian lulus, dan bisa lanjut sekolah, dan kalian akan terus menyanyi, kan?”
Kami serentak berseru, “lanjuuuut!”
Ari dan Arief berpelukan. Hari itu Pak Nadi minta mereka nyanyi duet, satu lagu pop, satu lagu dangdut. Bergantian, berselang-seling, dibikin kayak medley. Sementara Biarkan Aku Menangis-nya Tommy J. Pisa digabung dengan Gelandangan-nya Rhoma Irama. Pertunjukan itu tak pernah aku terlupakan!
Jakarta, 2022-2023
***
Editor: Ghufroni An’ars