Pada tahun 2025, Indonesia memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar yang karya-karyanya tidak hanya mencerminkan keindahan bahasa, tetapi juga membangkitkan kesadaran sosial-politik rakyat Indonesia. Pramoedya melalui novel-novelnya, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, memberikan gambaran tajam tentang ketidakadilan, penindasan, dan perjuangan untuk kebebasan. Namun, peringatan seratus tahun Pramoedya juga bersamaan dengan 100 hari kerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang mulai memimpin Indonesia dengan berbagai janji perubahan.
Pramoedya Ananta Toer: Penentang Ketidakadilan dengan Jalan Sastra
Pramoedya dikenal sebagai sosok yang tak takut melawan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, di bawah pemerintahan Soeharto, karya-karyanya dianggap sebagai ancaman karena mengkritik sistem yang represif dan tidak adil. Di tahun 1960, Pramoedya menulis Tetralogi Buru, yang menggambarkan sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan sosial di Indonesia. Novel ini, yang ditulis selama masa tahanan politik di Pulau Buru, mencerminkan semangat kebebasan yang penuh dengan kesadaran akan pentingnya memori kolektif bangsa terhadap perjuangan sejarah.
Pada 100 tahun kelahiran Pramoedya, kita diajak untuk mengingat bahwa sastra tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai senjata untuk menentang ketidakadilan. Pramoedya melalui tulisannya menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan keadilan sosial adalah hak yang harus diperjuangkan, meskipun harga yang harus dibayar sangat mahal, seperti yang dialaminya sendiri dengan pemenjaraan dan pengasingan.
Baca juga:
100 Hari Kerja Prabowo-Gibran: Harapan Baru atau Ulangan Sejarah?
Pada awal pemerintahan Prabowo-Gibran, muncul harapan baru di tengah masyarakat. Masyarakat menantikan perubahan yang lebih nyata dalam bidang ekonomi, pemerintahan yang bersih, dan penguatan demokrasi. Dalam 100 hari pertama pemerintahan mereka, Prabowo-Gibran berusaha untuk memperlihatkan tekad mereka dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Namun, sejumlah kebijakan yang muncul tampaknya masih menyisakan tanda tanya besar.
Salah satu momen yang cukup menonjol adalah kebijakan ekonomi yang diklaim bertujuan untuk memulihkan perekonomian pasca-pandemi dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Namun, beberapa kebijakan yang diambil, seperti izin tambang untuk ormas keagamaan dan datangnya investor asing yang berpotensi menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar.
Pramoedya, dalam karya-karyanya, berulang kali menunjukkan bagaimana eksploitasi sumber daya alam oleh elite penguasa akan menindas rakyat kecil. Pemerintahan Prabowo-Gibran seharusnya mampu mencegah ulangan sejarah tersebut dengan lebih mengutamakan keberlanjutan dan keadilan sosial dalam kebijakan pembangunan.
Di sisi lain, banyak yang mengamati bahwa Prabowo, yang memiliki latar belakang militer, memegang peran besar dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengingatkan kita pada masa-masa Orde Baru yang otoriter, meskipun berbeda dalam bentuknya. Pramoedya, yang memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir, pasti akan mengkritik jika pemerintahan ini mengurangi ruang kebebasan sipil atau membungkam suara-suara kritis.
Keterhubungan antara Pramoedya dan Pemerintahan Saat Ini
Salah satu hal yang penting untuk digarisbawahi adalah, dalam menghadapi 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, ada kekhawatiran bahwa janji perubahan akan terhenti pada tingkat retorika belaka. Ketika Pramoedya menulis tentang ketidakadilan, ia tidak hanya berbicara tentang pemerintahan yang korup atau represif, tetapi juga tentang pengabaian terhadap hak-hak rakyat yang tertindas. 100 tahun setelah kelahirannya, masyarakat Indonesia masih berharap agar pemimpin negara ini tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi benar-benar melaksanakannya dalam tindakan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat.
Pramoedya melalui karya-karyanya sering kali menggambarkan bagaimana pemerintah yang kuat cenderung melupakan suara rakyat kecil. Ini menjadi sebuah peringatan bagi pemerintahan yang baru, bahwa apapun langkah yang diambil, kebijakan mereka harus mampu menciptakan ruang bagi rakyat untuk berkembang, mengakses keadilan, dan merasakan manfaat dari pembangunan tersebut. Sebagai contoh, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan melalui berbagai proyek ekonomi harus diimbangi dengan kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil dan mengurangi kesenjangan sosial.
Pada titik ini, refleksi terhadap karya Pramoedya sangat relevan. Dalam karyanya yang terkenal, Bumi Manusia, Pramoedya menggambarkan bagaimana tokoh utama, Minke, melawan ketidakadilan meskipun ia hidup dalam belenggu kekuasaan yang sewenang-wenang. Pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru seharusnya menjadikan semangat Minke sebagai inspirasi untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, tidak hanya pada level ekonomi, tetapi juga dalam hal kebebasan berpendapat dan menjamin hak-hak sipil.
Baca juga:
Harapan yang Tak Boleh Terlupakan
Menyambut 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, kita tidak hanya mengenang sastrawan besar ini sebagai penulis yang memperjuangkan kebebasan dan keadilan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil akan terus berulang dalam sejarah. Pramoedya mengajarkan kita bahwa perubahan sejati bukan hanya tentang retorika, tetapi tentang tindakan nyata yang memberikan keadilan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kebebasan berbicara.
Maka, bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, momen 100 hari kerja mereka harus menjadi titik awal untuk mewujudkan janji perubahan yang bukan hanya berbicara soal pembangunan infrastruktur semata, tetapi juga membangun sebuah masyarakat yang lebih adil, setara, dan bebas. Pramoedya, yang kini telah lama meninggalkan kita, akan selalu menjadi suara yang mengingatkan kita agar tidak melupakan tujuan utama kemerdekaan Indonesia: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. (*)
Editor: Kukuh Basuki