September tahun 1933, ketika dr. Soetomo mendirikan majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat, tujuannya adalah menyebarkan semangat kebangsaan dalam bahasa yang paling dimengerti oleh masyarakatnya. Indonesia sebagai sebuah nation-state memang belum ada kala itu, meskipun semangatnya telah digaungkan dalam Sumpah Pemuda 1928.
Penggunaan Bahasa Indonesia saat itu belum menjangkau seluruh kalangan masyarakat, baru digunakan oleh kelompok terpelajar dan terutama mereka yang terpapar oleh bacaan-bacaan yang diterbitkan Balai Pustaka. Bahkan, intelektual dan pemimpin pergerakan nasional generasi awal lebih banyak menulis dalam Bahasa Belanda dibanding Bahasa Indonesia. Bahasa yang banyak digunakan masyarakat umum adalah bahasa daerah setempat, sebagaimana masyarakat Jawa menggunakan Bahasa Jawa.
Seiring terbentuknya bangsa dan negara Indonesia, Bahasa Indonesia semakin populer digunakan, bahkan kian mendominasi bahasa tulis dan percakapan publik. Sistem pendidikan dan media massa memiliki peran kunci dalam menyebarkan penggunaan Bahasa Indonesia. Orang Jawa, orang Sunda, orang Aceh, orang Dayak, orang Bugis, orang Makassar, dan semua suku-suku lain di Nusantara belajar Bahasa Indonesia melalui pengajaran di ruang kelas dan terutama melalui siaran radio atau tayangan televisi. Kini, 76 tahun Indonesia merdeka, penggunaan bahasa daerah semakin terbatas hanya untuk komunikasi sehari-hari. Meskipun masih tetap diajarkan di ruang kelas, semakin jarang yang memiliki kemampuan berpikir, membangun abstraksi dan menulis dalam bahasa daerah yang baik dan benar.
Dalam kondisi itu, Panjebar Semangat masih tetap terus memelihara semangat untuk menjumpai pembaca setianya. Adalah Suprawoto, seorang birokrat yang kelak terpilih sebagai Bupati Magetan, salah satu penulis andalan majalah tersebut. Suprawoto yang akrab dipanggil Kang Woto, mengisi kolom rutin yang bernama Email Saka Jakarta. Dalam kolom tersebut, Kang Woto bercerita tentang pengalamannya, angan-angannya, kegelisahan dan gagasannya tentang bangsa dan masyarakatnya. Isu-isu yang diangkat membentang dari persoalan birokrasi, politik, budaya, pendidikan, sejarah dan hubungan luar negeri, yang semuanya berangkat dari refleksi personalnya.
Dalam satu tulisan berjudul Melu Sidhang Kabinet, Kang Woto yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, menceritakan pengalamannya beberapa kali mengikuti sidang kabinet di bawah pimpinan Presiden SBY. Sebuah catatan personal yang diawali dengan membandingkan antara sidang kabinet dengan rapat organisasi level RT, RW, desa/kelurahan, camat, dan kabupaten. Karena pembaca tulisan itu umumnya adalah kelompok pembaca majalah berbahasa Jawa yang tersebar dari desa ke desa, membandingkan sidang kabinet dengan rapat-rapat koordinasi yang berada dalam jangkauan pembaca merupakan cara efektif untuk membuat pembaca merasa dekat dan punya keterkaitan dengan isu yang sedang diulas. Apalagi Kang Woto dengan terampil menghubungkan semua rapat koordinasi itu, walaupun berbeda level dan nama, tujuannya sejatinya sama: nggolongake panemu kanggo ngudhari masalah kang diadhepi dening organisasi mau. Apa pun namanya, tujuan rapat koordinasi adalah untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi organisisasi. Dalam tulisan sederhana yang sekilas seperti remah-remah catatan harian itu, Kang Woto menghadirkan masalah kepemimpinan dikaitkan dengan watak dan karakter seorang pemimpin sekaligus bagaimana pemimpin menempatkan kepentingan pribadinya di tengah berbagai persoalan bangsa.
Dalam tulisan lain berjudul Tarip Telpon Paling Murah Sa-Asia, Kang Woto yang membangun kariernya di Departemen Penerangan mengurai masalah teknologi telekomunikasi yang dihadapi negara ini. Ia ceritakan bagaimana dulu telpon adalah simbol dari kemakmuran seseorang: Ing taun 1980 rikala teknologi telekomunikasi durung maju kaya saiki, sapa wae pawongan kang nduweni telpon ana ngomah, wis bisa dipesthekake wong pethingan lan sugih. Cerita masa lalu itu hadir bukan sekadar untuk nostalgia atau klangenan, tapi menjadi titik berangkat untuk bicara tentang ketimpangan akses informasi yang masih menjadi persoalan besar di negara ini. Kang Woto mengutip penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin yang menyimpulkan bahwa orang miskin bukanlah mereka yang tak punya tanah atau tak punya modal, melainkan mereka yang tak punya akses terhadap informasi. Agar pembaca semakin memahami masalah ketimpangan akses itu, Kang Woto menyajikan contoh langsung bagaimana persoalan akses berimbas pada pedagang buah dan petani.
Dalam beberapa tulisan, antara lain yang berjudul Dhokter, Bea Siswa dan Jakarta-Amsterdam-Budapest, Kang Woto menyentil perkara pendidikan dalam wawasan global. Terlepas dari peran sesuai jabatan di birokrasi, Kang Woto memiliki kepedulian besar pada isu pendidikan dan selalu menggelorakan semangat pembacanya untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan mampu berkompetisi dengan persaingan global. Di sini terlihat bagaimana pemahaman atas nilai-nilai Jawa justru bukan penghalang seseorang untuk maju. Melalui tulisan-tulisannya, Kang Woto meruntuhkan mitos salah kaprah yang mengartikan filosofi Jawa nrimo ing pandum sebagai sebuah sikap pasrah tanpa usaha. Di sisi lain, Kang Woto terus mengingatkan aja dupeh oleh, banjur lali marang jatining awak, yang mengingatkan agar sejauh apa pun kita melangkah, di mana pun kita berada, jangan sampai lupa pada akar kita sebagai manusia Jawa.
Tiga buku Email Saka Jakarta bisa menjadi salah satu cara terbaik dan termudah bagi generasi hari ini untuk menggali nilai-nilai Jawa dan bagaimana menggunakannya untuk melihat persoalan kehidupan. Pada akhirnya, buku ini akan kembali mengingatkan makna menjadi manusia Jawa dan sekaligus manusia Indonesia.