Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.

Gatholoco: Wajah Nirmoral Masyarakat Jawa

Dimas Pratama Agung Siswanto

3 min read

Masyarakat Jawa terbagi-bagi dalam berbagai kelompok lokalitas budaya. Dalam Filsafat Sosial (1995), Sudiarja menuliskan bahwa dimensi yang menjadi latar belakang pengelompokan suatu budaya ialah koneksi antara manusia dengan dunia yang dialami. Sejalan dengan pendapat itu, masyarakat Jawa sebagai kelompok budaya ditandai dengan kemiripan identitas ketika dibandingkan dengan kelompok lokalitas budaya yang lain.

Kemiripan tersebut dapat berupa hal-hal fisik atau hal lain yang sifatnya lebih abstrak. Kemiripan fisik terlihat dari budaya yang diciptakan oleh suatu marga, suku, atau klan. Sementara itu, kemiripan abstrak meliputi pandangan hidup, cara berpikir, struktur masyarakat, kepribadian, hingga moral.

Menurut Koentjaraningrat, salah satu unsur dalam interaksi sosial adalah kepribadian, yakni perbuatan atau tingkah laku tiap individu yang berbeda dengan individu yang lain, serta dipengaruhi oleh unsur akal dan jiwanya. Pembentukan kepribadian dapat berasal dari diri sendiri maupun pengaruh dari luar atau lingkungan. Hal tersebut juga berlaku pada kepribadian masyarakat Jawa. Individu-individu dalam masyarakat Jawa saling memengaruhi sehingga tercipta pola tingkah laku atau perbuatan. Alhasil, kepribadian masyarakat Jawa cenderung berbeda dengan masyarakat lainnya.

Baca juga:

Selain kepribadian, masyarakat Jawa memiliki beberapa ciri khas, misalnya ciri khas sistem komunikasi. Bahasa Jawa menjadi bahasa utama dalam interaksi atau komunikasi di masyarakat Jawa. Selain menggunakan lisan, bahasa Jawa juga dituangkan melalui tulisan. Tulisan-tulisan Jawa sering kali menjadi sumber informasi untuk mengulik lebih jauh tentang peradaban Jawa.

Kesusastraan Jawa

Kesusastraan Jawa terbagi menjadi tiga berdasarkan penggolongan bahasa. Pertama, sastra Jawa Kuno, lumrahnya memakai bahasa Jawa Kawi dan berbentuk kakawin atau disebut juga sebagai puisi. Kedua, sastra Jawa Tengahan yang biasanya berbentuk kidung atau tembang. Ketiga, sastra Jawa Baru yang muncul belakangan. Banyak kesusastraan Jawa yang utuh hingga saat ini, salah satunya ialah Suluk Gatholoco.

Suluk Gatholoco adalah abnormalitas dalam kesusastraan Jawa. Sepanjang kemunculannya sejak lebih dari satu abad yang lalu, Suluk Gatholoco masih sering menjadi bahan perbedaan pandangan hingga perdebatan. Panjangnya perbedaan itu mendorong adanya diskusi panjang yang menyangkut agama Islam dan lokalitas masyarakat Jawa. Mayoritas berpendapat bahwa Suluk Gatholoco merupakan representasi kritis dari perkembangan Islam secara masif di pulau Jawa pada abad ke-19.

Suluk Gatholoco diperkirakan ditulis sekitar tahun 1870. Suluk Gatholoco ditulis sebagai kritik terhadap pemerintahan yang terlalu “syariah” dalam membawakan budaya di luar budaya Jawa. Suluk Gatholoco kerap dinilai terlalu vulgar karena menggunakan redaksi yang bernada sarkas. Imbasnya, suluk ini sempat dilarang beredar di kalangan umum. 

Naskah Gatholoco berjudul Gatholoco Bantah Kalihan Guru Tiga, Sastradipura yang digunakan dalam tulisan ini diambil dari website Yayasan Sastra Lestari. Ceritanya tentang pengembaraan Gatholoco meninggalkan kerajaan. Dalam pengembaraannya, Gatholoco menjumpai tantangan berupa Perjitawati yang bersemayam di Gua Terusan. Gatholoco menjalani hidup dengan minum hingga berjudi. Singkat cerita, Gatholoco bertemu dengan tiga guru yang meremehkan penampilan Gatholoco yang buruk rupa. Ketika tahu namanya, semua menganggap itu jorok. Kemudian, Gatholoco menjelaskan namanya gatho, artinya kepala, dan loco, artinya alat penggosok.

lah ta sapa sira guyu iki | guru tiga sarêng saurira | jênêngmu sun guyu kiye | dening kapingkêl-pingkêl kalangkung | nora kaprah jênênge janmi | Gatholoco angucap | aja sira guyu | jênêngku jênêng utama | têgêsira gathogathèl dhasar pêrji | loco barang gosokan ||

Polemik terkait ilmu, sifat kebatinan, Islam, hingga alam semesta melingkupi perkembangan kesenian ini. Singkatnya, Gatholoco memenangkan polemik. Dalam proses-proses perjalanan Gatholoco, banyak terjadi nirmoral masyarakat Jawa yang timbul.

Antitesis Kepribadian Masyarakat Jawa

Niels Mulder dalam Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (1973) berpendapat bahwa penyelarasan hubungan antar manusia dalam masyarakat merupakan dasar moral yang dibangun oleh masyarakat Jawa. Keselarasan ini membentuk sebuah entitas yang wujudnya menempatkan masyarakat yang padu antara hak dan kewajibannya. Mulder menjelaskan lebih jauh bahwa keselarasan masyarakat Jawa melihat individu sebagai organisme yang tidak penting; lebih penting mengarah kolektivitas dalam membangun masyarakat. Hal ini tidak tercermin dalam Suluk Gatholoco.

pan sêkala êndême mratani | badan kulit dagingira | amrasuk sakèhe otot | balung sungsum sakojur | kuwatira sêdaya pulih | ulatira jêrbabak | abang sêmu biru | guru tiga awaspada | pratikêle janma ingkang lagya prapti | yèn salin ulatira ||

Ngabdul Jabar ngucap mring Mat Ngarip | Amat sira takokêna apa | kang inguntal mau kuwe | lan sapa aranipun | lawan wismane kang yêkti | punapa karyanira | lan apa tan adus | ing awake tan mambu toya | sajêg jumblêk awake têka bêsisik | janma iku sun kira ||

Guru yang memiliki peranan ajar dan membawa lokalitas Jawa merundung Gatholoco karena mempunyai perawakan kurang daripada yang lain, alih-alih menunjukkan empati, adalah wujud nirmoral masyarakat Jawa yang mengutamakan keselarasan bersama. Tugas moral tiap individu dalam masyarakat Jawa termasuk menjaga keselarasan dengan menjalankan setiap tanggung jawab bersama-sama dalam bersosial.

Baca juga:

Kewajiban sosial Jawa menyangkut hubungan satu dengan yang lain dan bersifat hierarkis. Adanya pangkat dan status sosial memengaruhi hubungan sosial dalam masyarakat Jawa sehingga kewajiban sosial pun bertingkat.

lah ta sapa sira guyu iki | guru tiga sarêng saurira | jênêngmu sun guyu kiye | dening kapingkêl-pingkêl kalangkung | nora kaprah jênênge janmi | Gatholocoangucap | aja sira guyu | jênêngku jênêng utama | têgêsira gatho gathèl dhasar pêrji | loco barang gosokan ||

Akibat dari sistem hierarkis tersebut, dalam menjaga keselarasan hubungan sosial masyarakat Jawa, setiap individu mesti menempatkan dirinya sesuai dengan fungsi dan status masing-masing. Hal ini tidak tercermin dalam penggalan naskah di atas. Ketika lapisan atas kurang memelihara lapisan bawah, terjadi perdebatan yang berkepanjangan dan timbul gesekan sosial, keselarasan pun hilang.

Gatholoco dan Tiga Guru memberikan khazanah baru tentang nirmoral masyarakat Jawa. Gesekan yang timbul akibat ketidakselarasan mengarahkan masyarakat Jawa memasuki gelanggang perdebatan. Benang merah dari kepribadian masyarakat Jawa dan yang menjadi nirmoralnya terletak pada interaksi atau hubungan dan hak antar manusia yang tidak sama rata.

 

Editor: Emma Amelia

Dimas Pratama Agung Siswanto
Dimas Pratama Agung Siswanto Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email