Fangirling K-Pop dan Fenomena Psikologis di Sekitarnya

meidina raudah

3 min read

K-Pop, atau Korean Pop, merupakan subgenre musik yang berasal dari Korea Selatan yang menggabungkan berbagai elemen musik, termasuk pop, hip-hop, R&B, dan elektronik. Budaya Korea Selatan ini identik dengan sekelompok boyband atau girlband, tetapi ada pula penyanyi solo. K-Pop dikenal dengan pertunjukan yang mengagumkan, koreografi yang rumit, serta visual yang menarik. Selain musiknya, K-Pop juga melibatkan aspek budaya dan fashion yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemarnya.

Saat ini, K-Pop tengah menjadi fenomena global yang menjangkau hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri. Perkembangan budaya Korea Selatan ini tidak terjadi secara singkat, tetapi kemunculannya sudah ada sejak tahun 1990-an. Dimulai dari terbentuknya sebuah grup vokal yang beranggotakan 3 orang, yaitu Seo Taji and Boys, yang menjadi pelopor dalam berkembangnya K-Pop hingga saat ini.

Perkembangan K-Pop yang meroket tidak lepas dari peran para penggemarnya. Fangirl merupakan sebutan bagi para penggemar perempuan dari suatu girlgrup ataupun boygrup. Sedangkan, fangirling adalah istilah yang merujuk pada perilaku penggemar atau fangirl dalam menunjukkan rasa kagum dan dukungan yang mendalam terhadap idola atau grup musik tertentu.

Menurut Urban Dictionary, fangirling merupakan seni mendalami karakter sebagai penggemar suatu grup idola, penyanyi, aktor, atau selebriti lainnya. Aktivitas ini mencakup berbagai tindakan seperti mengikuti aktivitas idolanya di media sosial, menonton konser, dan berpartisipasi dalam komunitas penggemar. Fangirling bukan hanya sekadar hobi, tetapi  bagi banyak fangirl, hal ini adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari identitas mereka.

Seiring dengan meningkatnya popularitas K-Pop di seluruh dunia, fenomena fangirling juga mengalami perkembangan pesat. Di Indonesia sendiri, fangirling telah menjadi bagian dari budaya pop yang lebih luas. Banyak penggemar K-Pop terlibat dalam berbagai aktivitas untuk menunjukkan dukungan mereka kepada idolanya, mulai dari membeli merchandise hingga menghadiri konser serta acara fanmeeting.

Di balik perkembangan femonena fangirling ini, media sosial seperti Instagram, Youtube, dan X memainkan peran yang sangat penting. Platform-platform yang lebih khusus seperti V-Live, Weverse, atau Bubble juga berperan untuk memperkuat komunitas ini dengan memfasilitasi interaksi antar penggemar dan berbagi informasi tentang idolanya. Namun, dalam platform ini para penggunanya diharuskan membayar untuk mendapatkan informasi eksklusif dan terkini dari idolanya.

Baca juga:

Fenomena fangirling tidak hanya berkaitan dengan perasaan tertarik terhadap musik atau idola tertentu, tetapi ada juga aspek psikologis yang melatarbelakangi perilaku ini. Beberapa faktor psikologis yang dapat menjelaskan fenomena ini antara lain:

  1. Identitas dan Pengakuan: Bagi banyak fangirl, keterlibatan dalam fangirling memberikan mereka rasa identitas dan komunitas. Mereka merasa terhubung dengan sesama penggemar melalui kecintaan bersama terhadap idola mereka. Ini menciptakan rasa memiliki dan dukungan emosional yang kuat.
  2. Pelarian Emosional: Fangirling sering kali berfungsi sebagai pelarian dari tekanan hidup sehari-hari. Ketika fangirl terlibat dalam aktivitas fangirling, mereka dapat melupakan masalah pribadi dan merasakan kebahagiaan melalui pengalaman positif yang terkait dengan idolanya.
  3. Ekspresi Kreativitas: Banyak fangirl mengekspresikan kecintaan mereka melalui karya seni seperti fan art atau fan fiction. Aktivitas ini tidak hanya menunjukkan dedikasi tetapi juga memberikan saluran untuk mengekspresikan kreativitas dan imajinasi mereka.
  4. Dukungan Sosial: Komunitas fangirl seringkali memberikan dukungan sosial yang penting. Dalam lingkungan ini, penggemar dapat berbagi pengalaman dan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Hal ini menciptakan ruang aman bagi individu untuk mengekspresikan diri.

Namun,  fangirling yang berlebihan dapat berkembang menjadi tindakan fanatisme. Dalam sebuah artikel jurnal yang ditulis oleh Brooks (2021), fenomena fanatisme pada selebritas ini disebut dengan celebrity worship atau pemujaan terhadap selebritas. Fenomena ini menggambarkan bagaimana penggemar fanatik ini mengembangkan ikatan emosional yang sangat kuat, bahkan terlalu kuat hingga menjadi hal yang tidak rasional terhadap selebritas yang mereka idolakan. Kepercayaan, rasa memiliki, dan kesetiaan yang mendalam terhadap idola sering kali melampaui sekadar kekaguman biasa, hingga menjadi perilaku yang berpotensi mengarah pada obsesi. Dalam banyak kasus, fenomena fanatisme ini tidak hanya dipicu oleh aspek emosional, tetapi juga melibatkan proses biologis yang lebih kompleks di baliknya, seperti dopamin yang berperan memperkuat perilaku tersebut.

Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter dan hormon pada otak yang berpengaruh pada suasana hati seseorang. Aktivitas seperti mendengarkan musik, mengikuti kabar terbaru idolanya, menonton konser serta acara-acara lain idolanya dapat memicu lepasnya dopamin di otak, yang menghasilkan perasaan bahagia atau excitement. Perasaan ini biasanya digunakan bagi penggemar K-Pop atau K-Popers untuk meredakan stres atau masalah dalam hidup mereka, setidaknya untuk sementara waktu. Namun, ketika seseorang sudah mulai bergantung pada dopamin yang dilepaskan ketika melakukan aktivitas tersebut, mereka akan terus-menerus melakukannya dan akhirnya berujung pada perilaku obsesif.

Perilaku obsesif yang muncul akibat fenomena fanatisme memiliki dampak yang serius terhadap psikologis pelakunya, seperti timbulnya perasaan cemas, kecewa, atau tertekan jika tidak mendapatkan kabar terbaru dari idolanya. Hal ini menjadikan mereka hanya terfokus pada dunia fantasi terkait idola, sehingga mengabaikan hal-hal penting yang seharusnya mereka lakukan di kehidupan nyata.

Perilaku obsesif ini tidak hanya berisiko bagi diri pelakunya, tetapi juga dapat merugikan kesejahteraan hidup sang idola. Banyak kasus yang dilakukan oleh oknum penggemar di mana mereka nekat untuk melakukan tindakan kriminal seperti, menguntit atau bahkan melakukan pelecehan terhadap idola mereka sendiri. Selain melanggar privasi, tindakan ini dapat memicu rasa cemas serta tidak aman bagi selebritas. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memahami dampak buruk yang ditimbulkan dari tindakan merugikan ini.

Baca juga:

Walaupun fenomena fangirling semakin berkembang seiring dengan meningkatnya popularitas K-Pop di dunia, penting bagi kita untuk menyadari bahwa fenomena ini tidak hanya dapat memberikan perasaan yang menyenangkan bagi penggemarnya, tetapi juga dapat berdampak pada hal-hal yang merugikan jika dilakukan secara berlebihan. Maka dari itu, kita harus lebih bijak dalam mengelola dan mengekspresikan perasaan kita agar tidak terjerumus ke dalam fanatisme. Dengan pemahaman yang baik mengenai fenomena fangirling ini, nantinya kita dapat menciptakan lingkungan yang sehat baik bagi penggemar maupun selebritas. Dengan itu fangirling akan menjadi aktivitas yang aman, sehat, dan positif. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

meidina raudah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email