Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

K-Pop Angkat Rap, Kita Angkat Dangdut?

Kukuh Basuki

4 min read

Jika Anda mendengarkan musik-musik K-Pop yang populer di era sekarang, mungkin telinga Anda akan terasa tidak asing dengan irama musik rap di dalamnya. Setiap idol selain mempunyai vocal line untuk mecapai nada yang tinggi dan melodius juga punya rap line untuk mengisi beberapa part rap dalam lagu mereka. Ini seperti formula baku yang membuat musik mereka disebut K-Pop.

Kalau kita analisis lagi, musik-musik K-Pop sama sekali tidak mengandung unsur tradisi Korea. Tidak ada sama sekali unsur irama dan vokal musik khas Istana Jeong Ak, opera tradisional Pansori, ataupun musik rakyat Sanjo. Alat musik genre K-Pop juga tidak memasukkan sitar 12 senar Gayegeum, seruling bambu kecil Sogeum, atau genderang gendong jam pasir Pungmul Buk.

Untuk fashion dan gaya rambut jelas sekali mereka menggunakan tatanan kekinian. Mereka tidak harus memakai atribut tradisional sedikitpun untuk menyatakan bahwa mereka berasal dari Korea. Bahkan untuk koreografi tarian pun jelas sekali mereka berkiblat pada tarian ala Eropa modern. Tidak ada unsur tarian kemenangan Seoung Jeonmu ataupun tari topeng Cheoyongmu.

Kalau kita benar-benar mencari unsur budaya Korea mungkin hanya tersisa bahasa Korea dan huruf hangul yang disajikan secara dominan baik di panggung, poster dan di teks video musik maupun acara reality show. Bahasa Korea seperti bahasa yang harus ada di setiap lagu-lagu K-Pop walaupun ada sebagian kecil lagu yang semuanya menggunakan bahasa Inggris, seperti Butter­-nya BTS dan Crazy Over you dari BLACKPINK.

Lalu mengapa K-Pop menggunakan rap sebagai formula wajib musik mereka? Ini adalah misteri yang sulit dipecahkan. Mungkin juga ini terpengaruh dari para perancang desain budaya Korea Selatan modern yang mayoritas lulusan kampus Amerika Serikat. Namun, jika itu alasannya, mengapa mereka tak memilih country, blues, atau jazz yang notabene adalah musik yang lahir dan besar di Amerika Serikat? Hanya para perancang budaya itulah yang tahu alasan pastinya. Tapi setidaknya kita tahu bahwa pilihan mereka menginjeksikan musik rap ke dalam K-Pop adalah langkah yang tepat dan membuahkan hasil.

Musik rap sendiri lahir dari kultur underground masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Musik mereka muncul seiring hadirnya musik elektronik atau remix. Musik yang awalnya disajikan tanpa vokal tersebut diisi oleh MC yang membawakan kata-kata sebagai pengantar lagu secara spontan, hingga pada akhirnya mereka menulis kata-kata menjadi lirik yang konsisten dan terkonsep. Cara mereka menyanyikan lagu rap seperti orang berbicara, bermain intonasi tanpa nada, off beat, cenderung cepat tapi sesekali mereka melakukan flow, mengikuti nada, mengikuti beat, dan melambat. Ajaibnya formula itu terdengar enak di telinga.

Isi dari lagu rap sendiri pada awalnya adalah suara hati dari orang-orang kulit hitam kelas menengah ke bawah Amerika Serikat yang masih dipandang sebelah mata, didiskriminasi, dan distigma sebagai kriminal baik oleh negara ataupun mayoritas masyarakat kulit putih. Segenap rasa sedih, kecewa, dan jengkel mereka tumpahkan dalam lirik rap yang sarat kritik dan protes bernuansa sosial dan politik. Kata-kata yang mereka gunakan lugas, keras, dan cenderung kasar, agar pesan yang mereka bawakan lebih tersampaikan.

Dilihat dari latar belakang kemunculan musik rap yang penuh nuansa protes sosial dan politik, maka berkembangnya musik rap di negara Korea Selatan menjadikannya agak ambigu. Sebagai masyarakat yang cenderung homogen, kualitas kesejahteraan hidup baik, akses pendidikan terjangkau dan situasi sosial politik yang cenderung stabil, tema lagu rap di Korea Selatan tentunya berbeda dengan kultur rap di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, kita tidak akan menemukan rap dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor yang ditujukan untuk pemerintah pada lagu-lagu K-Pop.

Satu-satunya alasan yang bagi saya masuk akal ketika rap dimasukkan dalam unsur K-Pop adalah fungsi ketertampungan kata-kata yang lebih banyak. Musik K-Pop seperti kita ketahui berkutat dengan cerita kehidupan anak-anak muda dengan segala problematikanya. Beberapa berisikan motivasi dan kepedulian terhadap kesehatan jiwa. Dengan durasi waktu rata-rata musik pop yang hanya 3 sampai 5 menit, tidak akan banyak kata-kata yang tersampaikan yang bisa dirangkum dalam satu lagu. Di sinilah fungsi vital musik rap. Dengan ritme yang relatif cepat, musik rap akan dapat menampung banyak kata-kata dalam waktu yang sedikit. Bagian rap seperti sebuah space di mana personel band bisa melakukan story telling dalam waktu yang singkat.

Karena sesi rap adalah bagian yang sangat penting, beberapa personel dari grup K-Pop memang diambil dari skena rap lokal profesional. Tujuannya adalah untuk menjamin kualitas rap yang otentik dan terjamin. Beberapa di antara mereka adalah Suga (Min Yoongi) dan RM (Kim Namjoon) dari BTS, G-Dragon (Kwon Ji-Yong) dari Big Bang, dan Jeon So-yeon dari (G)I-DLE. Selain mahir ngerap mereka juga jago menulis lirik lagu dan ngedance.

Dangdut I-Pop

Belajar dari keberhasilan Korea Selatan dalam menaturalisasi ramuan musik RnB, pop, dan rap menjadi identitas musik mereka, seharusnya Indonesia juga bisa melakukan strategi budaya serupa untuk mengangkat musik pop Indonesia menjadi gelombang budaya musik dunia. Seperti kita ketahui identitas musik Indonesia belum mempunyai identitas sekuat K-Pop (Korean Pop) ataupun J-Pop (Japan Pop), dua kutub musik asia yang mendunia.

Jika masyarakat dunia bisa dengan mudah mencirikan lagu BLACKPINK, WINNER, dan TXT sebagai lagu K-Pop dengan mendengarkan musiknya saja, harus diakui musik Indonesia belum sampai pada tahap tersebut. Mendengarkan musik Dewa 19, Sheila on 7, dan NOAH belum bisa membuat khalayak dunia menyebut musik mereka sebagai I-Pop (Indonesian Pop). Kita belum mempunyai identitas yang ajek dan unik untuk dapat diidentifikasi dan diklasifikasi dengan mudah oleh masyarakat dunia.

Satu-satunya jalan paling pragmatis dari pembentukan I-Pop adalah kita harus seberani Korea Selatan untuk memformulasikan sebuah musik yang benar-benar baru dengan menggabungkan dua atau lebih aliran musik sebagai bahan bakunya. Jika musik pop indonesia dirasa sudah mapan dan kuat, maka kita tinggal mencari setidaknya satu aliran musik lagi untuk mendapatkan formula hibridasi musik baru. Dari sinilah saya terpikir tentang dangdut, atau lebih spesifiknya dangdut koplo yang corak musiknya sangat khas.

Memang ini sebuah spekulasi subjektif. Namun, menurut saya dangdut sudah memiliki landasan yang kuat sebagai wujud musikal dari identitas Indonesia. Dangdut koplo juga berasal dari kultur akar rumput. Walaupun sekarang sudah mulai diterima semua kalangan dan mulai menjadi musik gedongan seiring popularitasnya di televisi, dangdut masih dianggap sebagai musik segmentasi terbatas dan berada di luar arus utama musik pop. Dangdut sering dengan mudah dipisahkan dari musik-musik festival panggung atau dalam segmen pemutaran di radio atau televisi. Dangdut masih sulit berbaur dengan musik pop. Memang persinggungan musik dangdut dan musik pop beberapa kali ada, tetapi itu hanya sebatas insidental dan tidak berkelanjutan.

Padahal karakter musik dangdut mudah menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan berbagai macam genre musik. Hal itu sudah terbukti dengan banyaknya musik populer yang akhirnya didangdut-koplokan. Oleh sebab itu saya sangat optimis musik dangdut akan mudah diinjeksikan ke dalam musik populer.

Salah satu keunggulan musik dangdut adalah bisa membawakan suasana penuh semangat walaupun liriknya belum tentu gembira. Salah satu prototipe lagu I-Pop yang saya bayangkan adalah seperti lagunya Tipe-X yang berjudul Sakit Hati. Lagu itu adalah kombinasi yang pas antara musik rock, ska, pop, dan dangdut. Irama dangdut hanya muncul satu bagian di bait setelah melodi. Lirik dari part dangdut lagu itu adalah:

“Kau taburkan bunga di angan-angan
Hingga jiwa ragaku melayang
Saat semua kembali aku tersentak
Yang kurasa hanyalah kecewa…”

Bagian dangdut itu bagi saya sangat monumental karena Tipe-X melakukan sesuatu yang sama sekali baru dan mengagetkan pendengarnya. Efek mengagetkan inilah yang seharusnya diambil oleh grup-grup musik arus utama untuk memberikan keterkejutan pada pendengar musik dunia bahwa ada satu lagi gelombang musik pop dari Asia yang memiliki warna khas dalam khasanah musik internasional. Kehadirannya akan menggedor chart musik dunia. Bersama dangdut saya optimis dan yakin musik pop Indonesia akan mengguncang dunia.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

One Reply to “K-Pop Angkat Rap, Kita Angkat Dangdut?”

  1. Enggak juga sih. Di lagu Pink Venom, Blackpink memasukkan alat musik tradisional Korea, Goumunggo, di bagian intronya. Bhkn alat musik itu dimainkan langsung oleh salah satu membernya, yaitu Jisoo.
    Di lagu How You Like That, ke 4 member Blackpink juga menggunakan Handbook, pakaian tradisional khas Korea, di salah satu scene-nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email