Pedagang Martabak dari Mars

Evaluasi Guru di Hari Guru

Alfian Bahri

4 min read

Momen Hari Guru Nasional 25 November 2022 bisa kita jadikan refleksi sekaligus aksi. Jangan sampai kita sibuk membuat aksi penghormatan, penyanjungan, dan pengultusan profesi guru, sedangkan di satu sisi tidak pernah ada upaya refleksi terhadap guru itu sendiri.

Kurikulum Merdeka membawa angin segar bagi gerbang kemajuan pendidikan Indonesia. Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Pembelajaran diferensiasi ditawarkan pada pokoknya. Standardisasi nilai ditiadakan. Asesmen difokuskan pada proses, bukan hasil akhir. Guru dan murid diberi kebebasan memilih materi dan tujuan pembelajaran. Guru juga diberi kebebasan membuat modul ajar sesusi kebutuhan. Program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, dimaksudkan agar belajar dari sesama. Digitalisasi dokumentasi lewat platform Merdeka Mengajar. Menggandeng 400 orang product manager, software engineer, dan data scientist.

Semua sodoran kebijakan baru dan program tersebut seperti memberi air pada dahaga pencapain pendidikan selama ini. Namun, apa semua itu bisa berjalan sesuai dengan harapan? Perlu diketahui bersama, bangsa Indonesia belum mempunyai atribut pendukung terhadap Kurikulum Merdeka.

Pendidikan Pembebasan

Kalau dilihat secara konseptual, Kurikulum Merdeka ini bergaya humanistik (pendidikan pembebasan). Sepanjang perjalanannya, pendidikan Indonesia bukan kali pertama mengadopsi kurikulum berbasis humanistik. Pada tahun 1984, kurikulum Indonesia bernama CBSA (cara belajar siswa aktif), lalu pada 2004 bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan disempurnakan pada 2006 (KTSP).

Pada CBSA, orientasinya sudah pada keaktifan siswa. Konsepnya sama seperti Merdeka Belajar yang mengharapkan keaktifan siswa dengan pembelajaran diferensiasi melalui metode PjBL (Project Based Learning) dan PBL (Problem Based Learning).

Corak KBK-KTSP utamanya juga membebaskan guru dan sekolah mengembangkan materi ajar sendiri. Pada kurikulum tersebut, pemerintah cuma memberi tujuan umum, penurunannya disesuaikan kebutuhan sekolah oleh masing-masing guru. Konsep ini juga ada di Merdeka Belajar.

Tapi, apakah konsep humanistik yang sudah pernah dicoba-pakai itu berhasil? Tentu jauh panggang dari api. Data terbaru tes IQ sekawasan Asean menunjukkan kita cuma lebih baik dari Timor Leste. Dalam PISA, kita masuk deretan terendah. Dari kreasi dan inovasi teknologi, kita masih sering mengadopsi dari asing.

Singkatnya, Merdeka Belajar ini bukan barang yang benar-benar baru. Para menteri sebelumnya sudah coba melakukannya. Kurikulum itu hanya sebatas alat dan ruang kerja saja, dia objek mati, yang sebenarnya walaupun ada salah dan kurangnya, subjek hidup atau pelakunya itu sendiri bisa melampauinya. Dari sini, seharusnya kita bisa coba menggeser sedikit titik permasalahan.

Baca juga:

Fokus kepada Unit Mikro

Dilansir dari The Conservation, Syaikhu Usman dan Asri Yusrina (SMERU Research Institute) menyayangkan asesmen jarang terjadi dalam observasi belajar-mengajar langsung dalam kelas. Itu bisa jadi tawaran baru dalam melihat titik permasalahan. Usman dan Yusrina mengajak kita melihat unit dasar atas pendidikan, bukan unit makro seperti yang selama ini dilakukan. Unit dasar itu adalah interaksi pembelajaran murid dan guru.

Jika seorang siswa belum mampu mencapai tujuan pembelajaran, sebenarnya evaluasi sudah harus dijalankan secepat mungkin. Dugaannya bisa jadi siswa yang bermasalah, atau bisa juga cara pedagogi guru yang bermasalah. Kita abaikan dulu faktor kurikulum dan makro lainnya, sebab terkadang hal sederhana saja (baca-tulis-hitung) siswa belum mampu pada tahap sedang. Ini belum bicara materi khusus, soal ujian, dan rumus-rumus, apalagi varian ajar.

Selama ini, muridlah yang selalu dievaluasi, seakan mereka adalah objek salah yang harus dibenarkan. Kita analogikan secara sederhana. Ada ban bocor, pemilik sepeda tahu bannya bocor. Lalu, dia dengan sadar membawanya ke tukang tambal. Si tukang tambal menerima karena memang itu pekerjaannya. Lalu, setelah proses berjalan, ban tetap saja bocor. Si tukang tambal ban bilang dan menyimpulkan, “ini bannya bocor, karetnya berlubang, belum bisa ditambal, ongkosnya kurang, bla bla bla bla.”

Ban bocor tetap disalahkan. Memang, bisa jadi bannya sudah pada stadium akhir pemakaian. Tapi, bukankah juga ada potensi bahwa si tukang tambal yang tidak bisa memperbaiki ban bocor? Entah karena dia kurang alat, atau karena dia tak paham caranya. Tetapi yang jelas, kemungkinan bahwa si tukang tambal menjadi bagian dari kesalahan tetap ada. Mengapa cuma ban bocornya saja yang dievaluasi dan disalahkan? Padahal jelas-jelas bahwa ban itu bocor sejak awal.

Kalau kita terus menyalahkan murid dengan apapun alasannya, rasanya kurang tepat. Murid datang ke sekolah dengan kekurangannya, sudah menjadi tugas guru meminimalisasi kekurangan tersebut.

Sangat kurang relevan menyalahkan murid dalam konteks ini. Sebab, banyak data mengatakan bahwa kualitas dan kompetensi guru di Indonesia rendah. Kemendikbud sendiri mengatakan bahwa hanya 30 persen guru yang memiliki kompetensi layak di angka 80. Sedangkan 70 persennya di angka 50-an.

Sejalan dengan itu, dalam penelitiannya Usman dan Yusrina juga mengatakan sepertiga guru dengan nilai seleksi PPG terbaik (nilai tes masuk online, nilai wawancara, dan IPK S1) belum tentu melakukan praktik pengajaran yang baik dalam mendukung pembelajaran. Selain itu, mereka juga mendapatkan beberapa wawasan menarik. Salah satunya fakta bahwa praktik pengajaran sepertiga guru dengan nilai teratas dan sepertiga guru dengan nilai terbawah ternyata relatif sama.

Sebenarnya hal ini menjadi dilematis, saat kita menagih kualitas guru, rata-rata jawabannya selalu berkutat pada kesejahteraan. Padahal, dalam kasus di Indonesia kesejahteraan tidak berbanding linier dengan kualitas guru.

Sri Mulyani pada 2018 mengatakan dalam Dialog Publik Pendidikan Nasional Persatuan Guru Republik Indonesia, “sekarang sertifikasi tidak mencerminkan apa-apa. Hanya masalah prosedural untuk dapat tunjangan. Bukan berarti dia profesional dan tanggung jawab.”

Itu seharusnya menjadi pukulan telak bagi guru di Indonesia. Saat menjadi guru honorer, mereka meminta kenaikan pangkat, status, dan tunjangan. Namun, saat memeroleh semua itu, mereka tidak menyeimbangkannya dengan pengembangan diri.

Baca juga:

Dari ulasan, data, dan paparan tersebut, perlu dijawab bersama, siapa sebenarnya yang perlu dievaluasi? Murid atau gurunya? Kurang efektif rasanya mengganti kurikulum dengan dalil melengkapi atau menyempurnakan. Mengapa kita tidak berusaha menyadari bahwa kita tidak punya tukang dan mekanik dalam memperbaiki pendidikan Indonesia?

Guru Perlu Refleksi Diri

Kurikulum Merdeka secara konsep sungguh baik. Dia harus menjadi proyek jangka panjang. Banyak program dalam mewujudkan nilai mulia tersebut dan itu sudah berjalan. Di antara program itu adalah Program Sekolah Penggerak, Organisasi Penggerak, dan Guru Penggerak.

Secara konsep itu baik dan membantu. Karena dasar implementasinya sendiri adalah belajar ke sesama guru, menemukan solusi dari diskusi antarguru dan sekolah. Perlu diketahui juga, sebelum Program Penggerak itu ada, pendidikan Indonesia sudah punya program MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang tujuan awalnya persis seperti Guru Penggerak dan sejenisnya. Tapi, apa semua itu sudah dievaluasi secara kualitas? Rasanya selama ini hanya sebatas laporan angka-angka.

Belum lagi masalah kesenjangan fasilitas sekolah dan ekonomi kawasan. Kesenjangan kelihatan begitu mencolok. Bisa jadi, saat guru belajar dengan guru lainnya yang beda fasilitas dan kawasan, mereka tidak bisa memaksimalkan ilmunya karena perbedaan dasar atributnya sendiri.

Kalau kesenjangan dasar ini gagal diolah, sementara kita sibuk memberi kebebasan praktik, ini akan bahaya juga. Akan tercipta persaingan bebas. Sekolah-sekolah dengan modal mumpuni akan semakin meninggalkan sekolah yang merangkak atau baru berjalan. Tentunya ini akan menciptakan hierarki-hierarki baru.

Bicara pendidikan memang berat, rumit, dan kompleks. Sudah seharusnya dilakukan upaya fokus terhadap unit terkecilnya dengan pendekatan yang berbeda-beda. Menurut saya pribadi, kurang tepat bila terus-terusan melakukan upaya yang bersifat nasional, sedangkan kesenjangan pada tiap daerah begitu melebar.

Antonio Gramsci mengatakan, “saya pesimis karena pikiran, namun saya optimis karena keinginan”. Memang, kompleksitas pendidikan terasa amat berat untuk diurai dan diselesaikan. Tapi, pendidikan tetap harus ada dan berlangsung. Berikan upaya terbaik dari kesadaran diri, entah itu guru, murid, kepala sekolah, pengawas, dinas, pemerintah, hingga masyarakat.

Jangan menyerah dengan keadaan bagaimanapun kalkulasinya. Bila kita sudah pada titik jenuh tertinggi, sudah saatnya kita kembali pada titik awal. Tentang bagaimana tugas kita sebagai manusia, sudahkah kita sendiri belajar?

 

Editor: Prihandini N

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email