Mahasiswa Sastra Indonesia.

Gagal Menjadi Manusia: Sebuah Pendekatan Ekspresif

Maysha Yusuf Fadillah

3 min read

Dalam kajian sastra, pendekatan ekspresif menekankan bahwa karya sastra merupakan cerminan dunia batin pengarang. Pendekatan ini memandang pengarang sebagai faktor utama dalam proses penciptaan, di mana segala gagasan, cita, rasa, dan emosi yang tertuang dalam karya mencerminkan pengalaman pribadi serta kondisi psikologisnya (Yudiono, 2016:43). Esai ini akan menganalisis novel Gagal Menjadi Manusia karya Osamu Dazai melalui pendekatan ekspresif, dengan menelaah bagaimana latar belakang sosial, pengalaman hidup, serta kondisi psikologis pengarang berpengaruh terhadap proses kreatifnya.

Latar Belakang Osamu Dazai

Sebelum memahami Gagal Menjadi Manusia, penting untuk menelusuri latar belakang penulisnya. Osamu Dazai lahir pada 19 Juni 1909 di Desa Kanagi, Distrik Kitatsugaru, Prefektur Aomori, dalam keluarga kaya. Ayahnya, seorang tuan tanah terpandang, termasuk salah satu orang terkaya di Prefektur Aomori. Sebagai figur berpengaruh, ia terpilih sebagai anggota Parlemen Jepang (1912–1923) setelah sebelumnya menjabat sebagai anggota parlemen prefektur. Namun, meskipun berasal dari keluarga terpandang, Dazai mengalami keterasingan sejak kecil. Pengalaman hidupnya yang penuh pemberontakan, depresi, dan kecanduan alkohol serta morfin membentuk tema utama dalam karyanya: kehancuran diri, alienasi, dan kritik terhadap norma sosial.

Baca juga:

Konteks historis Jepang pasca-Perang Dunia II juga memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Dazai. Kekalahan Jepang pada tahun 1945 tidak hanya menghancurkan struktur politik dan ekonomi, tetapi juga mengguncang identitas nasional masyarakatnya. Munculnya kelompok sastra buraiha (Mazhab Dekadensi), di mana Dazai menjadi salah satu tokohnya, mencerminkan keputusasaan generasi yang kehilangan pegangan moral dan sosial. Gagal Menjadi Manusia merepresentasikan fenomena ini melalui tokoh Oba Yozo, yang tidak mampu beradaptasi dengan dunia di sekelilingnya.

Sepanjang hidupnya, Dazai terus berjuang melawan depresi yang mendalam dan berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya. Meskipun sempat mencapai puncak produktivitas dalam berkarya, kehidupan pribadinya tetap penuh gejolak. Pernikahannya yang tidak stabil; Ia meninggalkan istri pertamanya setelah istrinya berselingkuh, menikah lagi, dan kemudian meninggalkan istri keduanya demi wanita lain, serta kecanduan alkohol dan morfin semakin memperburuk kondisi mentalnya.

Pada 13 Juni 1948, Dazai bersama kekasihnya, Tomie Yamazaki, mengakhiri hidup mereka dengan menenggelamkan diri di Terusan Tamagawa. Jasad mereka ditemukan enam hari kemudian, tepat pada hari ulang tahun Dazai yang ke-39. Peristiwa tragis ini semakin memperkuat citranya sebagai sosok seniman yang tersiksa, di mana kehidupannya yang penuh penderitaan tak terpisahkan dari karya-karyanya.

Kritik Sastra Ekspresif

Novel Gagal Menjadi Manusia dapat dibaca sebagai semi-autobiografi yang membaurkan batas antara kenyataan dan fiksi. Tokoh utama, Oba Yozo, memiliki banyak kesamaan dengan Dazai, baik dalam latar belakang keluarga, status sosial, hingga kecenderungan destruktif dan depresi mendalam.

Baca juga:

Salah satu aspek ekspresif yang paling nyata adalah struktur keluarga. Baik Yozo maupun Dazai lahir sebagai anak bungsu dalam keluarga besar yang kaya, tetapi merasa terasing dari lingkungan mereka:

“Di kampung halaman, kami sekeluarga hidup bersepuluh orang. Ketika makan, kami duduk dalam dua baris yang berseberangan, menghadap meja kecil yang menampung piring-piring makanan di depan kami masing-masing. Sebagai anak bungsu, tentu aku duduk di paling ujung, di dekat pintu.” (hlm. 15)

Posisi duduk “di paling ujung, di dekat pintu” mencerminkan keterpinggiran yang dirasakan Yozo dalam keluarganya, yang juga dialami oleh Dazai dalam kehidupan nyata. Hal ini semakin diperkuat dengan ketidakhadiran figur ayah yang dominan, seperti yang terlihat dalam kutipan:

“Ayahku sering berdinas ke Tokyo. Kami memiliki rumah singgah di Sakuragi-cho, Ueno, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya setiap bulan.” (hlm. 21)

Pengalaman sosial Dazai juga menjadi inspirasi dalam karakter Yozo. Kedua tokoh ini mengalami konflik identitas dan pemberontakan terhadap norma sosial. Dalam novel, Yozo menyalurkan ketakutannya terhadap manusia melalui minuman keras, pelacuran, dan keterlibatan dalam ideologi radikal:

“Pada masa itu, datanglah seseorang ke dalam hidupku—sesama murid di bengkel lukis. Ia mengajariku beragam hal mulai dari minuman keras, rokok, pramuria, rumah gadai, sampai pemikiran sayap kiri.” (hlm. 48)

 “Bahwa minuman keras, rokok, dan pelacur, adalah cara sesaat yang cukup efektif untuk mengalihkan rasa takutku pada manusia.” (hlm. 52)

“Ilegal. Itulah yang menyenangkan hatiku secara samar-samar. Bagiku, segala hal yang legal di dunia ini malah mengerikan.” (hlm. 56)

Salah satu kesamaan paling tragis antara Osamu Dazai dan Oba Yozo adalah pergulatan mereka dengan depresi dan percobaan bunuh diri berulang kali. Dazai, seperti Yozo, mengalami berbagai pengalaman traumatis yang memperburuk kondisi mentalnya, termasuk percobaan bunuh diri dengan seorang wanita, keterlibatannya dalam penyalahgunaan narkotika, serta pengasingan di rumah sakit jiwa:

“Malam itu, kami terjun ke laut di Kamakura. Kami terjun, bersama-sama menenggelamkan diri.” (hlm. 76)

“Awalnya aku berencana menyuntikan morfin sekali setiap hari, tetapi lama-lama jadi dua suntikan, dan saat telah sampai empat suntikan setiap harinya, aku jadi tidak dapat bekerja kalau tidak memakainya.” (hlm. 139)

“Kini aku bukan lagi cuma pendosa, melainkan orang gila. Tidak. Saat ini aku benar-benar waras. Aku tak pernah jadi gila sesaat pun. Meskipun kata orang, kebanyakan orang gila berkata begitu. Intinya, yang masuk, rumah sakit ini otomatis berarti gila, yang tidak masuk berarti normal.” (hlm. 144)

Dazai sendiri mencoba bunuh diri beberapa kali sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1948 dengan cara menenggelamkan diri bersama kekasihnya, Tomie Yamazaki. Melalui pendekatan ekspresif, novel ini dapat dibaca sebagai catatan terakhir seorang individu yang merasa kehilangan pegangan dalam hidup.

Baca juga:

Kesimpulan:

Melalui pendekatan ekspresif, Gagal Menjadi Manusia dapat dibaca sebagai refleksi kehidupan Osamu Dazai yang penuh dengan penderitaan dan keterasingan. Kemiripan latar belakang keluarga, status sosial, sifat pemberontakan, hingga pergulatan mental antara Yozo dan Dazai menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kehidupan pengarang dan karyanya. Novel ini tidak hanya mengungkap sisi gelap kehidupan Dazai, tetapi juga menggambarkan pergulatan eksistensial yang lebih luas—tentang keterasingan, tekanan sosial, dan keputusasaan yang dialami manusia.

 

Editor: Kukuh Basuki

Maysha Yusuf Fadillah
Maysha Yusuf Fadillah Mahasiswa Sastra Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email