Era Post-Truth dan Krisis Berpikir Manusia

Muhammad Zahrudin Afnan

4 min read

Ada yang terasa ganjil di zaman ini. Kebenaran, yang dulunya dipuja bak dewa-dewa Olympus, kini ditaruh di pojokan ruang publik seperti anak tiri yang tak diinginkan. Kita hidup di era post-truth, zaman ketika emosi lebih dipercaya daripada bukti, dan “katanya” dianggap lebih suci daripada “buktinya”. Ini bukan sekadar krisis informasi. Ini adalah krisis berpikir.

Apa jadinya jika manusia kehilangan kemampuannya untuk membedakan yang benar dan yang sekadar nyaman dipercaya? Kita tak sedang kekurangan data. Kita tenggelam dalam lautan informasi, tapi dehidrasi makna. Dunia digital menjanjikan keterbukaan, namun justru melahirkan ruang gema (echo chamber), tempat di mana suara-suara yang sama berputar tanpa akhir dan kebenaran ditentukan oleh seberapa sering ia diulang, bukan seberapa valid ia dibuktikan.

Nietzsche pernah berkata, “Tuhan telah mati”, tapi barangkali kita lupa menanyakan: siapa yang menggantikan Tuhan setelah ia wafat? Di era ini, jawabannya adalah emosi. Emosi telah naik tahta, menggantikan logika sebagai pusat otoritas dalam pengambilan keputusan publik. Di media sosial, misalnya, yang viral bukanlah yang benar, melainkan yang menggugah. Kehebohan menjadi metrik kebenaran.

Jean Baudrillard menawarkan kita kaca pembesar lewat konsep simulacra dan hyperreality. Kita tak lagi hidup dalam kenyataan, tapi dalam tiruan dari kenyataan. Kita menonton berita yang sudah dimanipulasi narasinya, mempercayai konten yang didesain untuk menciptakan emosi tertentu. Hoaks adalah bentuk paling jujur dari simulacra zaman ini. Ia tak butuh basis realitas, karena yang penting adalah efeknya: apakah ia cukup membuat orang marah, takut, atau percaya.

Saat Manusia Berhenti Berpikir

Inilah titik di mana manusia berhenti berpikir dan mulai merasa sebagai jalan pintas untuk memahami dunia. Bukannya mencurigai apa yang mereka baca, orang lebih memilih untuk merasa cocok. Ketika emosi telah menjadi alat utama memahami realitas, kebohongan bisa lebih cepat dipercaya ketimbang kebenaran.

Baca juga:

Michel Foucault menegaskan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang netral, melainkan produk dari relasi kuasa. Kebenaran, dalam kerangka Foucaultian, dibentuk dan dikonstruksi oleh siapa yang memegang wacana dominan. Dalam konteks hari ini, wacana dominan tidak hanya dipegang oleh negara atau institusi formal, tetapi juga oleh influencer, algoritma, dan para pemilik modal digital.

Inilah mengapa kita menyaksikan betapa mudahnya sebuah kebohongan mendapatkan tempat. Ia tidak perlu melalui mekanisme verifikasi, cukup didorong oleh popularitas dan sentimen. Sementara itu, kebenaran yang lahir dari proses ilmiah, data, atau investigasi jurnalisme justru tenggelam karena tidak “menghibur”.

Noam Chomsky menyebut ini sebagai manufacturing consent. Opini publik dibentuk bukan dari nalar, tapi dari rekayasa komunikasi yang sistematis. Orang tidak lagi punya waktu untuk berpikir panjang. Mereka hanya ingin tahu: “saya harus percaya pada siapa?”. Dan di sinilah persoalannya. Ketika kebenaran tidak lagi dicari, tapi dipilih berdasarkan siapa yang menyampaikannya, maka yang dominan adalah figur, bukan substansi.

Fenomena post-truth tidak luput menjangkiti Indonesia. Dalam konteks pendidikan, kita melihat bagaimana informasi palsu atau setengah benar kerap dikonsumsi siswa dan mahasiswa tanpa penyaringan kritis. Literasi digital yang minim memperparah kondisi ini, sehingga institusi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng akal sehat justru kerap terperangkap dalam sirkulasi hoaks. Dalam kelas-kelas daring, dosen dan guru harus bersaing dengan algoritma TikTok dan YouTube yang menyajikan narasi instan, menghibur, dan sering kali menyesatkan.

Tidak sedikit pula guru atau dosen sendirilah yang turut menyebarkan informasi yang keliru, tanpa proses klarifikasi. Ketika ruang kelas menjadi ekstensi dari dunia maya yang gaduh dan serba cepat, pendidikan kehilangan kedalaman reflektifnya. Kurikulum yang seharusnya membentuk daya pikir kritis, justru sering terjebak dalam standar kompetensi teknokratis dan capaian administratif, bukan pembebasan kesadaran.

Ketika kebohongan menjadi konsumsi harian, yang lahir adalah generasi dengan fondasi epistemik yang rapuh. Mereka tahu banyak, tapi tidak memahami apa-apa. Pendidikan kehilangan fungsinya sebagai jalan pembebasan, dan berubah menjadi proses pencetakan manusia-manusia yang siap percaya asal sesuai dengan emosi atau ideologi pribadi.

Di ranah demokrasi, post-truth hadir dalam bentuk yang lebih mengkhawatirkan. Kontestasi politik bukan lagi soal adu gagasan, tapi adu narasi yang viral. Hoaks politik, fitnah terhadap lawan, dan manipulasi emosi pemilih menjadi senjata utama. Pemilu bukan lagi proses rasional, melainkan ajang pertunjukan besar yang dipenuhi suara-suara nyaring tapi kosong.

Pemilih diposisikan sebagai konsumen konten, bukan warga negara yang berpikir. Kita menyaksikan bagaimana media sosial menjadi ladang subur bagi polarisasi, menyuburkan fanatisme politik yang irasional. Dalam kondisi ini, demokrasi kehilangan esensinya sebagai ruang deliberasi. Yang tersisa hanyalah arena bising yang memperkuat kelompok sendiri dan membenci yang lain.

Bahkan institusi demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, atau KPU pun tidak luput dari krisis kepercayaan. Ketika opini publik dibentuk oleh media yang berpihak atau buzzer politik, hukum dan etika bernegara pun mudah dibengkokkan. Jika post-truth terus merasuki sistem demokrasi, Indonesia sedang menuju demokrasi ilusi: prosedurnya tetap ada, tetapi akal sehatnya sudah lama mati.

Hannah Arendt, dalam The Life of the Mind, menyebut bahwa berpikir adalah dialog batin yang memerlukan kesunyian, waktu, dan kedewasaan untuk bertanya pada diri sendiri. Tapi bagaimana mungkin berpikir jika setiap lima detik kita tergoda membuka notifikasi? Kita hidup dalam budaya instan, di mana merenung dianggap membosankan, dan kecepatan lebih penting dari kedalaman.

Manusia post-truth adalah manusia yang kelelahan berpikir. Ia dijejali terlalu banyak informasi, tapi tidak punya cukup tenaga untuk menyaringnya. Maka muncullah mentalitas copy-paste: mengutip tanpa mengerti dan membagikan tanpa membaca. Krisis ini bukan krisis pengetahuan, tapi krisis kehendak untuk mengetahui.

Baca juga:

Socrates pernah mengatakan bahwa kebajikan dimulai dari pengakuan bahwa kita tidak tahu. Tapi hari ini, orang justru merasa tahu hanya karena membaca satu utas di media sosial X atau menonton satu video TikTok. Maka lengkaplah penderitaan kebenaran.  ia tidak hanya dikalahkan oleh kebohongan, tetapi juga oleh kesombongan intelektual yang lahir dari kebodohan yang percaya diri.

Dikendalikan Algoritma

Era ini juga tidak bisa dilepaskan dari peran algoritma. Setiap klik, like, dan share adalah bagian dari ekonomi atensi. Algoritma bekerja bukan untuk menyampaikan yang benar, melainkan yang bisa membuatmu tinggal lebih lama di layar. Maka informasi yang muncul di layar kita bukanlah yang kita butuhkan, tapi yang membuat kita kecanduan.

Kapitalisme telah bertransformasi menjadi kapitalisme kognitif, di mana pikiran kita adalah pasar baru. Dalam logika ini, kebenaran menjadi tidak penting. Yang penting adalah engagement. Dunia digital menjadi arena di mana kebenaran harus bersaing dengan meme, clickbait, dan teori konspirasi yang lebih menarik.

Franco “Bifo” Berardi dalam The Uprising mengatakan bahwa kita sedang mengalami “keletihan afektif”, kelelahan untuk merasa dan berpikir di tengah gempuran informasi yang brutal dan terus-menerus. Akibatnya, masyarakat lebih mudah frustrasi, apatis, atau terjebak dalam narasi ekstrem yang menawarkan kepastian palsu.

Lantas, haruskah kita menyerah? Tentu tidak. Justru saat inilah kita harus kembali belajar untuk berpikir. Kebenaran tidak akan kembali hanya dengan harapan, tapi dengan upaya kolektif membangun budaya skeptis dan literasi.

Kita bisa mulai dari hal-hal kecil seperti berhenti membagikan informasi yang belum diverifikasi, membaca pelan-pelan, meragukan sesuatu yang terlalu cocok dengan prasangka kita, dan terutama, berani berkata: “Saya belum tahu.”

Di tengah bisingnya dunia, kita butuh ruang-ruang senyap untuk berpikir. Bukan sekadar mengonsumsi informasi, tapi mengunyahnya dengan perlahan. Pendidikan harus kembali pada akarnya: membebaskan pikiran. Bukan sekadar memproduksi tenaga kerja, tetapi melahirkan manusia yang berani berpikir dan bersikap.

Era post-truth tidaklah akhir dari kebenaran, melainkan panggilan untuk kembali mencari kebenaran dengan cara yang lebih radikal dan jujur. Ini adalah era ketika kita dituntut untuk menjadi filsuf di tengah pasar malam informasi. Di sinilah pentingnya kesadaran kritis dan keberanian eksistensial.

Jika benar kata Heidegger bahwa manusia adalah makhluk yang “ditakdirkan untuk menyingkap kebenaran”, tugas kita hari ini adalah menolak menjadi pasif dalam keramaian palsu. Kita harus menjadi gangguan kecil yang mengingatkan dunia bahwa berpikir masih penting. Bahwa kebenaran, betapa pun kaburnya, tetap layak diperjuangkan.

Karena kalau bukan kita yang berpikir, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?

 

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Zahrudin Afnan

2 Replies to “Era Post-Truth dan Krisis Berpikir Manusia”

  1. No matter if some one searches for his required thing, thus he/she wants to be available that in detail, thus that thing is maintained over here.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email