Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

No Exit: Neraka Imajiner Sartre

Rizki Muhammad Iqbal

3 min read

No Exit atau “tidak ada jalan keluar” dalam konteks ini bukanlah film thriller yang dirilis baru-baru ini. No Exit yang dimaksud di sini adalah judul drama eksistensialis karya Jean-Paul Sartre yang dipentaskan pertama kali pada 1944 di salah satu panggung teater di Prancis. Saya membaca naskah ini pada buku yang berjudul Neraka adalah Orang Lain yang diterbitkan oleh Odise Publishing pada September 2021.

Sebenarnya buku ini berisi dua naskah drama yang pernah ditulis oleh Sartre, yakni “Pelacur yang Terhormat” dan “Tidak Ada Jalan Keluar”. Masing-masing  berisi ide-ide filosofis dari Sartre. Namun, saya akan mengulas satu drama yang melahirkan ungkapannya yang paling terkenal: hell is other people!

Drama ini hanya berisi satu latar tempat dengan tiga tokoh utama. Selain itu, drama ini hanya berisi percakapan-percakapan saja. Meski begitu, kita sebagai pembaca awam tetap dapat menikmati karya eksistensialis ini.

Latar tempat dalam drama ini adalah konsep neraka dari Sartre yang ateistik. Selama ini kita meyakini konsep neraka dari agama konvensional—yang berisi api panas, cambuk, tombak, dan berbagai alat siksaan lain sebagai balasan dari apa yang telah kita perbuat selama hidup di bumi.

Namun, bagaimana jika konsep neraka ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita yakini? Dalam drama ini, Sartre memberikan gambaran bahwa neraka bukanlah tempat menyeramkan dengan alat-alat cambuk yang sering direpresentasikan melalui narasi-narasi keagamaan maupun gambar visual yang tertera pada buku Siksa Neraka yang beredar secara bebas di depan sekolah dasar. Neraka ini berbentuk ruangan kamar yang terkunci selama-lamanya.

Narasi awal menunjukkan Joseph Garcin yang masuk ke dalam kamar dengan ditemani oleh pelayan yang aneh. Kamar hotel ini bergaya Kekaisaran Kedua dengan dihiasi ornamen perunggu yang berada di atas perapian. Hal ini tidak sesuai dengan gambaran Garcin sepanjang perjalanan.

Sebelumnya Garcin membayangkan bahwa akan ada alat-alat penyiksaan, seperti batang besi bergerigi, penjepit panas, atau teriakan dari orang-orang yang terkutuk—bahkan tidak ada kaca jendela yang dapat ia pecahkan.

Selain Garcin, Inez adalah salah satu tokoh yang datang setelahnya, kemudian disusul oleh Estelle. Sebagian besar dari cerita ini diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, kemudian dijejali dengan percakapan-percakapan yang aneh—terkadang kejam dan tidak selalu serius. Mereka bertiga dikurung di dalam kamar—dalam keabadian.

Gambaran konvensional mengenai aktivitas neraka yang kejam, ganas, dan menyakitkan, ternyata tidak dialami oleh ketiga tokoh ini. Mereka dihadapkan pada persoalan yang paling inti: permainan peran.

Ketiganya saling membual mengenai latar belakangnya masing-masing. Barangkali mereka menanggung suatu beban obsesi: keinginan untuk membuat citra diri yang “baik”. Padahal Garcin adalah laki-laki peselingkuh dan pengecut yang sok prinsipil; Estelle adalah perempuan penggoda yang membunuh anak hasil dari perselingkuhannya; dan Inez adalah perempuan yang merebut istri orang—tepatnya seorang lesbian.

Mereka bertiga saling melucuti masa lalunya masing-masing dengan alibi berupa pertanyaan-dugaan mengenai alasan mengapa mereka bertiga ditempatkan dalam satu kamar bersama-sama.

Inez adalah satu dari tiga orang tersebut yang paling realistis. Ketika Garcin dan Estelle saling melontarkan pertanyaan eksistensial dan bualan tentang masa lalunya, Inez mengatakan:

“…kita sedang ada di neraka, kawan-kawan; mereka tidak pernah membuat kesalahan, dan orang-orang tidak dikutuk tanpa alasan.”

Pengerdilan Individu

Eksistensialisme bagi Sartre mengacu pada visi ontologis manusia tentang mengada. Dalam prosesnya, manusia “ada” terlebih dulu sebelum merumuskan nilai kehidupannya sendiri. Namun, ternyata manusia dihadapkan pada keharusan yang memaksanya untuk terintegrasi secara otomatis dengan masyarakat untuk mengamini nilai dan norma yang sudah ada—jauh sebelum individu ini “ada”.

Ada dua konsep penting di sini. Etre pour soi (berada bagi dirinya), bahwa individu yang berkesadaran dan mampu mengonstruksi diri sesuai dengan apa yang dikehendakinya; dan etre en soi (berada dalam dirinya), yakni individu tak berkesadaran yang menemui dirinya “telah menjadi” sebagaimana adanya.

Dalam konteks ini, individu justru ada ketika terikat dengan kerangka penilaian dari orang lain yang mengerdilkan kompleksitasnya sebagai manusia. Individu cenderung mendefinisikan diri dari kerangka penilaian tersebut, bukan upaya mengada—merumuskan nilai-nilainya secara personal. Satu “kesalahan” dapat dianggap mewakili keseluruhannya sebagai identitas yang baku.

Dalam teori labelling, seseorang melakukan penyimpangan secara berkelanjutan sebagai akibat yang determinan dari pelabelan—seperti mantan narapidana perampok yang justru kembali merampok di kemudian hari akibat label “perampok” yang disematkan oleh masyarakat kepadanya.

Teori ini mengindikasikan bahwa manusia akan bertindak sesuai dengan penilaian moral yang mereka terima dari luar dirinya ketika dia tidak cukup mampu melakukan resistensi atas label yang disematkan tersebut. Selain itu, pelabelan melahirkan stigma dan citra yang ditetapkan secara objektif.

Pengobjekan individu inilah yang menjadikannya etre en soi (berada dalam dirinya), yang secara kompleks melahirkan tekanan-tekanan eksternal. Obsesi untuk membuat citra diri yang baik oleh ketiga tokoh dalam drama No Exit menunjukkan tekanan sebagai akibat dari keterkungkungan individu pada kerangka penilaian orang lain.

Mereka mampu membual sedemikian rupa, namun berbagai lontaran pertanyaan yang berkelindan memaksa mereka untuk saling melucuti masa lalu masing-masing, sampai mereka tidak mampu membual apa-apa lagi selain percakapan ke arah yang menyangkut kebenaran tentang masa lalu dari masing-masing tokoh.

Dialog dalam plot menunjukkan bahwa manusia adalah “hakim” atas orang lain. Mereka bertiga saling mencaci, menghakimi satu sama lain, dan berusaha untuk membuat gagasan yang membenarkan tindakan mereka masing-masing. Dialog berupa truth claim dan penghakiman semacam ini menjadi alegori satiris yang diusung Sartre dalam menggambarkan penyakit dasar manusia.

Upaya mengada melalui persepsi atas diri ini dihancurkan oleh kerangka penilaian dari orang lain. Prinsip mengada sendiri sebenarnya memiliki semangat kebebasan eksistensial yang bertanggung jawab.

Neraka adalah tempat bagi mereka yang menggunakan kebebasannya dengan tidak bertanggung jawab—seperti yang dilakukan oleh ketiga tokoh tersebut. Bentuk penyiksaan dalam neraka imajiner Sartre tidak membutuhkan alat-alat penyiksaan, seperti cambuk, palu, ataupun bara api.

Penyiksaan yang terjadi hanya membutuhkan satu ruangan kosong di mana terdapat orang lain di dalamnya untuk saling mencerca, menghakimi, dan membunuh karakter satu sama lain selama-lamanya—tanpa darah, kematian, ataupun luka fisik.

Garcin adalah tokoh pertama yang menyadari keberadaan orang lain sebagai neraka:

“…mereka tahu bahwa aku akan berdiri di depan perapian sambil membelai benda perunggu ini, dengan semua mata tertuju padaku—melahapku. Tapi apa? Hanya ada kalian berdua? Aku pikir akan ada lebih banyak orang lagi. Jadi, inilah neraka… Sulit dipercaya. Kalian ingat, kita selalu diberitahu soal ruang-ruang penyiksaan, api yang melahap, belerang! Nyatanya, poker merah-membara pun tidak diperlukan. Neraka adalah orang lain!”

***

Editor: Ghufroni An’ars

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email