JALANAN BERGERAK KE BELAKANG
jalanan bergerak ke belakang bersama hujan dan pohon-pohon, kitab suci hingga matahari, memancarkan warna biru ke dalam hatiku, kukenali detik dari garis yang menyilaukan basah mimpiku, tergenang dalam bahasa nada yang rapuh dan sayu
“dan mungkin di sini atau di situ, dapat kau kenali lagi mesti kau melihat diriku di dalam mata yang hijau”
lampu-lampu menjatuhkan dirinya kepada trotoar dan kereta di jalanan, sayup peluk menempeli dirimu di puncak waktu, kau akan kenali, kau akan segera pergi ke sana, dari penantian yang kau temui dari puisi bermata sepi di sebalik jendela itu
(Tasikmalaya – Ngawi, 2022)
–
TUBUHKU MENGURAI PERTEMUAN
pelan-pelan langit menyeduh sore jadi malam, maut menyelubungi lembab udara, kau sekelubungi tubuhku jadi biru dengan suara dan pikiran yang membelokan cahaya dan bayang-bayang
lalu puisi kau tulisi dengan ngengat yang ada di dalam cahaya mataku, bayang awan, liur ginjal, memecahkan air seperti daun yang gatal
sebuah lonceng senyap, di antara embusan di dalam tubuhku yang mengurai pertemuan dan pertempuran, kesedihan dan kebahagiaan yang bernyanyi ke dalam bahasa puisi
“kau akan datang ke sana, mengenali lumpur dan bising suara knalpot”
(Madiun, 2022)
–
MENGENALI PERISTIWA DAN PERJALANAN
kausembunyikan hujan, suara mesin mendengungi telinga kami, trotoar atau terompet tahun baru, masing-masingnya mengenali kesendirianku
kucuci mataku pada lemparan pertama, kursi dipan, lemari makanan, bayi mengenali dirinya sebagai dewa pembunuh perampas seluruh yang tumbuh
“malam hanya sebatas malam, puisi mengenali dirinya sendiri sebagai kami”
di wajahmu, kekuatan melipat segalanya menuju ke belakang, malam buruk, waffel busuk, memotongi sepatu basah ke dalam selembar plastik hitam yang menggantung sampai dasar jantungku
(Madiun, 2022)
–
PERTANYAAN UNTUK MENGENALI PERISTIWA DAN PERJALANAN
sebagai lelaki atau perempuan, jendela tetaplah laci kaca yang akan merasuki tubuh dan meminjamnya dalam waktu yang lama, kengerian melolong ke puncak waktu di sebatas tahun, siapapun akan lapar, siapapun melolong kelaparan
kami tak punya apa-apa, jam dinding, ponsel pintar, jenjang kaki saling membodohi dirinya sendiri, sebelum angin bersigerak melambat, muncul pertanyaan kedua ratus kuping kanan dan kiri
“jadi, atau, mungkin, begitu, dapat, kita, kenali, melalui, ataupun, bahasa”
di sebaris kecil kursi, kami dapat melihat masing-masing kami asing, customer service, merasakan tubuhnya lebih ringan mengantarkan kebutuhan untuk menelan bulan dari mata kami
(Caruban, 2022)
–
GERBONG YANG MEMBANGUN MIMPI
orang-orang melayang seperti asap yang diterbangkan kepak sayap menuju angin dan awan seperti perjalanan, rumah-rumah menariki tubuhku, kata-kata diam, meninggalkan kutukan-kutukan yang mendesis seperti mahkluk lain di dalam puisi
kautempuhi perjalanan, di mana suara yang menggema telah memantulkan hujan dan derit rel menuju bajumu, di mana lagi kau susuri batu-batu karang, pegunungan, atau bangunan-bangunan tinggi, seperti surau yang membangun kesepian membawa hati menuju waktu dan akhir pertemuan
sepasang mata, lalu sepasang kaki, menjejaki perjalanan dengan saling tertidur dalam kantong plastik, di sela rimbun kabut, dan sekelumit ingatan yang rabun menemboki dirinya dengan bergerak ke belakang dan ke depan
bahasa adalah mimpi yang terbangun dari sisa dan peristiwa yang tertempel dalam waktu lalu menenun pertemuan dari kelahiran dan kematian
(Jombang – Surabaya, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA