Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.

18 Tahun Aksi Kamisan: Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!

Raihan Muhammad

2 min read

Hidup Korban!

Jangan Diam!

Lawan!

Januari 2025, Aksi Kamisan genap berusia 18 tahun. Aksi Kamisan lahir dari kegelisahan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menginginkan keadilan atas tragedi-tragedi masa lalu. Setiap Kamis sore sejak 18 Januari 2007, sekelompok orang dengan pakaian dan payung hitam berdiri di depan Istana Merdeka, Jakarta. Aksi damai ini, yang terinspirasi oleh gerakan ibu-ibu korban penghilangan paksa di Argentina, telah menjadi simbol perlawanan terhadap lupa kolektif dan pembiaran atas pelanggaran HAM.

Diprakarsai oleh Maria Katarina Sumarsih, Suciwati Munir, dan Bedjo Untung yang tergabung dalam presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Aksi Kamisan bertujuan untuk mengungkap kebenaran, mencari keadilan, dan mempertahankan memori kolektif. Pelbagai peristiwa, mulai dari Tragedi 1965–1966, Semanggi I dan II, Trisakti, hingga pembunuhan Munir—dan masih banyak kasus pelanggaran HAM lainnya—adalah sederet kasus yang hingga kini belum tuntas.

Di bawah payung hitam, mereka tidak hanya menuntut penyelesaian yudisial, tetapi juga melawan narasi bahwa pelanggaran HAM masa lalu bisa diabaikan. Meskipun pemerintahan dari era Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo telah memberikan respons, seperti pengakuan formal terhadap kasus pelanggaran HAM berat dan pembentukan tim penyelesaian non-yudisial, semua langkah itu belum memenuhi tuntutan korban yang berharap pada keadilan sejati. 

Kegagalan para pemimpin ini menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat membutuhkan keberanian politik yang nyata, bukan sekadar janji atau langkah-langkah simbolis. Tanpa upaya yang serius untuk mengusut tuntas dan memberikan keadilan, impunitas akan terus mengakar, merusak fondasi negara hukum, dan menodai penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Usut Tuntas, Lawan Impunitas!

Barangkali, di negeri ini, impunitas telah diubah dari sekadar kebiasaan menjadi sebuah seni yang dipertontonkan secara elegan. Ia dilestarikan melalui birokrasi yang dirancang dengan kerumitan memukau, dihiasi janji-janji manis yang tak pernah bermuara pada realisasi. Sementara keadilan dibiarkan menggantung, korban hanya diperkenankan menunggu dengan kesabaran yang perlahan aus, sementara pelaku pelanggaran HAM masa lalu dihadiahi penghormatan, bahkan posisi publik yang strategis. 

Banalitas kejahatan, sebagaimana diuraikan Arendt (1963), telah diterjemahkan di negeri ini menjadi banalitas impunitas. Kejahatan tidak hanya dilakukan dengan ketidakpedulian, tetapi dilestarikan dengan ketaatan sistemik pada ketidakadilan. Para pelaku tidak sekadar dibiarkan bebas; mereka justru diberi panggung untuk menyuarakan narasi “persatuan dan perdamaian.” Dengan retorika tersebut, impunitas dipasarkan sebagai solusi elegan, meski berisi rekonsiliasi kosong yang dibungkus dengan dalih harmoni semu.

Pendekatan non-yudisial, yang kerap dielu-elukan sebagai terobosan, tampaknya dirancang lebih untuk menutupi luka daripada menyembuhkannya. Luka-luka bangsa ini tidak dibersihkan, tetapi hanya ditutupi dengan “plester simbolik” yang diharapkan mampu melupakan perihnya. Pengabaian terhadap tuntutan keadilan korban telah dijadikan prosedur baku, di mana keadilan substantif digantikan oleh langkah pragmatis yang mencederai prinsip hukum dan kemanusiaan.

Seperti dalam pandangan Arendt (1973), kekuasaan totaliter sering mengandalkan pengabaian sistematis terhadap individu, di mana penderitaan manusia tidak hanya diabaikan, tetapi juga dilegitimasi sebagai bagian dari mekanisme kekuasaan yang lebih besar. Dalam hal ini, pelanggaran HAM berat dipelihara sebagai realitas yang diakui, tetapi dinormalisasi sehingga keberadaannya tidak memicu tindakan perbaikan. Diskusi tentang keadilan pun direduksi menjadi ritual retoris belaka, yang mana korban hanya dijadikan “alat” pembenaran bagi struktur kekuasaan yang berkuasa.

Dalam situasi ini, keadilan yang seharusnya ditegakkan justru disuburkan dengan impunitas yang semakin mengakar. 

Penyelesaian Pelanggaran HAM di Bawah Pemerintahan Baru

Pada Oktober lalu, ‘nakhoda’ telah berganti. Pertanyaan besar yang kini muncul adalah apakah era baru ini akan membawa oase bagi penuntasan pelanggaran HAM yang telah lama tertunda? Saya pesimis. Hal ini bisa dilihat dari track record dari orang-orang yang mengisi jabatan di kabinet kali ini. Dari mulai pucuk hingga para “pembantunya” agaknya sudah cukup terlihat bahwa impunitas akan terus berlanjut.

Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menunjukkan perhatian terhadap isu HAM, namun langkah ini terkesan hanya sebagai usaha kosmetik tanpa tindakan konkret.

Kita harus terus memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Viva Comrades! Hidup korban! Jangan diam! Lawan! ***

Raihan Muhammad
Raihan Muhammad Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email