Perkembangan zaman tentu membawa perubahan dalam segala hal. Baik pendidikan, politik, ekonomi, maupun seni budaya. Begitu pula dalam dunia musik yang dalam hal ini termasuk kategori seni. Musik menjadi salah satu entitas seni yang menghadapi gelombang perubahan yang cukup kentara. Baik dari segi substansi musiknya sendiri maupun industri dan gaya pasar baru.
Agar mudah, biasanya para pengamat ketika mengulas karakteristik musik selalu menggunakan pembagian kurun waktu. Dekade 70’an, 80’an, 90’an, dst. Hal ini dikarenakan karakteristik musik relatif sama tiap satu dasawarsa. Era 70’an kiblat musik dunia mengarah ke Briitish Style. Di mana sedang merebaknya band-band Rock ‘n Roll semacam The Beatles, The Rolling Stones, Queen. Grup-grup band yang lahir di Inggris tersebut kemudian menjadi kiblat musik di era itu, bahkan juga era setelahnya sampai sekarang.
Baca tentang Beatles: Yoko Effect
Apa yang terjadi di dunia musik Indonesia di dekade 70’an? Musik Indonesia di dekade ini sedikit banyak juga terpengaruh warna musik dunia saat itu, yaitu Rock ‘n Roll Briitish Style. Sebut saja grup musik legendaris Indonesia Koes Plus. Jika kita sedikit “serius” mendengar musiknya, akan terdengar sentuhan Rock ‘n Roll dalam beat-beatnya. Tentu kita tidak sedang membicarakan secara detail komposisinya karena memang bukan tempat yang tepat untuk membahas komposisi musik. Intinya apa yang terjadi di dunia Barat sana memengaruhi gaya musik di sini.
Begitu seterusnya dalam setiap dekade, akan muncul karakteristik sendiri dalam musik. Kiblat musik juga berganti seiring pergantian waktu. Tren musik dalam dunia industrinya juga ikut berubah.
Industri musik yang dulu didominasi oleh label-label besar sekarang berganti menjadi label independen atau indie. Para musisi memproduksi karya dan mendistribusikannya sendiri. Hal ini bisa dilakukan karena teknologi terus berkembang dan saat ini relatif terjangkau. Terjangkau baik dari segi skill maupun ekonominya.
Dulu sepertinya kita jarang menemukan peralatan rekaman di toko musik. Kalaupun ada, mungkin hanya di toko-toko musik besar. Sekarang bejibun peralatan rekaman musik, baik di toko kecil maupun toko-toko online. Hal ini tentu memudahkan musisi untuk memproduksi musiknya sendiri. Bahkan di dalam kamar, seseorang bisa membuat musik dengan mudah. Dari sesi tracking, mixing, hingga mastering bisa dilakukan cukup dengan duduk di depan komputer kamar.
Selain teknologi rekaman yang lebih mudah, munculnya media baru juga menjadi faktor penting dalam industri musik saat ini. Media baru memberi ruang yang luas bagi karya kerja kreatif, salah satunya musik. Media baru ini menawarkan dunia digital yang sangat luas dan bebas. Pelaku industri musik bisa memublikasikan karyanya dengan gampang dan murah.
Publikasi musik pada awal mula harus melewati seleksi ketat dari produser. Untuk diterima label rekaman, musisi terlebih dahulu harus berjuang keras. Mulai dari mengirimkan materi musik dalam wujud demo, hingga rilis video klip yang prosesnya sangat panjang.
Saat ini cukup dengan produksi di dalam kamar, kirim ke publisher untuk pengurusan hak cipta, hingga rilis di digital platform nyaris tanpa harus lewat proses seleksi. Bahkan pembuatan video musik bisa dikerjakan sendiri cukup berbekal kamera telepon genggam.
Media baru dalam bentuk video seperti YouTube dan juga audio seperti Spotify punya andil besar dalam publikasi musik saat ini.
Seorang musisi “kemarin sore” yang punya karya musik dalam waktu relatif singkat bisa memublikasikan karyanya di media digital semacam Spotify. Pun juga video klipnya dengan sangat mudah dipublikasikan di media digital semacam Youtube.
Sosial media juga turut membantu dalam menyebarkan karya musik. Instagram dengan fitur rell dan juga IG TV menjadi andalan penggunanya dalam menitipkan musik. Aplikasi TikTok juga berperan penting dalam publikasi musik saat ini.
Baca juga: Musik Indie: Gerakan atau Genre?
Berkembangnya zaman juga mengubah pola industri musik. Dulu ketika musisi ingin “menjual” karya harus dalam satu paket yang dinamakan album. Merupakan sebuah keharusan musisi untuk membuat album. Hal ini memang menjadi tren publikasi musik saat itu, tentu ini juga tuntutan dari label rekaman tempat bernaungnya.
Satu album musik bisa berisi 10 sampai 15 lagu. Tentu jumlah ini cukup merepotkan dan butuh waktu penggarapan yang panjan
Seiring berjalannya waktu, album musik dengan jumlah lagu yang bejibun mulai ditinggalkan. Paket karya lagu diringkas menjadi Extended Player (EP) atau biasa disebut mini album. Format ini sepertinya menjadi alternatif dalam koleksi karya. Hal ini dipilih tentu karena EP bisa memberi wadah dalam skala kecil. Yang awalnya harus 10 lagu dalam satu album, EP menawarkan setengah jumlahnya dalam satu album, yaitu 5 lagu. Makanya mini album menjadi pilihan yang tepat bagi musisi yang belum punya banyak materi lagu.
Mini album juga diakomodir oleh rilisan digital. Hal ini berdampak pada peningkatan pesat penggunaan media digital dalam memutar musik. Selain karena lebih ringkas, media digital merupakan media baru yang dikonsumsi manusia saat ini.
Memutar musik lewat telepon genggam maupun laptop menjadi hal lumrah saat ini. Maka dari itu aplikasi semacam Spotify, JOOX, dan Apple Music merupakan aplikasi wajib yang harus ada di hape maupun laptop.
Streaming musik menjadi kebiasaan baru di tengah masyarakat. Di rumah, mobil, maupun kafe, semuanya memutar musik via streaming. Salah satu penyebab tren tersebut adalah fakta bahwa streaming memudahkan orang untuk memutar musik. Selain itu juga lebih hemat secara ekonomi. Kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli CD. Cukup modal kuota dan sinyal internet saja, kita sudah bisa menikmati musik tanpa batas.
Apakah rilisan fisik masih relevan di zaman sekarang? Jawabannya adalah masih. Tentu tingkat relevansi saat ini berbeda dengan 10 atau 20 tahun yang lalu. Di mana saat itu memutar musik dengan rilisan fisik masih marak. Penggunaan pemutar musik semacam tape deck, DVD player, maupun turn table masih sering digunakan. Saat ini rilisan fisik sifatnya lebih ke barang koleksian. Membeli rilisan fisik tujuan utamanya bukan untuk diputar dan dinikmati, tapi lebih ke arah koleksi barang.
Beberapa musisi masih dan terus memproduksi karya dalam bentuk rilisan fisik. Perusahaan pengganda rilisan fisik semacam Demajors masih ada dan terus berproduksi. Bahkan beberapa rilisan musik tidak hanya sebatas kaset atau CD tetapi berwujud boxset. Salah satu perusahaan yang memproduksinya yaitu Beli Album Fisik. Paket rilisan ini menawarkan tidak hanya karya musiknya, tetapi juga merchandise-nya. Kaset, CD, lirik, kaus, bahkan hoodie juga ada di dalamnya. Akan tetapi, penikmatnya harus merogoh kocek agak lebih dalam agar bisa memiliki boxset dari musisi idolanya.
Di sisi lain, rilisan fisik yang hanya dibeli oleh kolektor tentu berdampak pada jumlah produksinya. Dahulu penjualan rilisan fisik bisa mencapai jutaan copy. Namun, saat ini tidak bisa ke arah sana lagi. Tentu ini menjadi konsekuensi logis di zaman serba digital seperti sekarang.
Zaman terus berubah, musik berkembang dari berbagai sisi. Namun, satu hal yang tampaknya konstan adalah fakta bahwa manusia selalu membutuhkan seni, terutama musik. Barangkali musik adalah hiburan penyeimbang hidup, sekaligus refleksi atas realitas yang kita hadapi setiap waktu. Seperti yang dikatakan Horace, seorang penyair dari zaman kekaisaran Romawi, bahwa seni selalu berdiri di atas dua kriteria, dulce et utile, menghibur dan bermanfaat. Dua hal yang mungkin juga merupakan refleksi dari peran kita sebagai manusia, dan oleh karenanya, musik selalu terasa dekat bagi manusia, sampai kapan pun juga.