KENANGAN YANG TERBELAH
malam setelah badai
kau duduk tenang
terbalut warna sepia
kau menunggu di ruang sinema
dan memunggungi poster horor
memastikan siapa yang masuk
pada pintu kaca
aku bayangkan kau gugup saat itu
bagiku hari itu terbelah
langkah kakiku membatu
sebab mengutuki aspal, juga hujan,
yang telah melumatkan sisa-sisa langkahku
—jejak-jejak yang telah kuhitung menuju tempatmu
seperti kelopak yang perlahan luruh
waktu tak pernah menetap untuk menengok
namun,
matamu masih kuingat dengan jelas
seperti kepak burung gereja pada pagi hari yang melepaskan putik-putik bunga
untuk merambat pelan menuju mataku
aku bayangkan kau gugup saat itu
gerimis mungkin mengendap
dan aku merasa segalanya tumpah
saat menemukanmu duduk tenang
dan mendengar suaramu yang berdesir
seperti bunyi pasir pada pantai saat
membicarakan film yang belum
kita tonton hari itu
–
KITA MASIH BERJARAK DI KOTA YANG MULAI BASAH
kota mulai basah saat itu
jam bergerak pelan,
tapi terasa nyaring
dalam degup yang deras
barangkali kita perlu bicara banyak
pada hal-hal yang kita inginkan
lambaian tanganmu belum juga turun
hingga aku bisa melihat telapak tanganmu
memiliki garis-garis seperti tanah kering
yang menghindari musim
bulan masih menisik saat itu
dan cahayanya berwarna pijar
begitu redup
perbincangan kita teredam, sebab
suara guntur itu pun memaksa kita
untuk menilik bayangan masing-masing
yang hilang dalam pesan singkat kita
yang sebentar
“adakah kita akan bertemu kembali?”
perjalanan pulang itu pun
layaknya gugur daun
lalu kita menyadari bahwa:
jarak masih jauh rupanya, tak tersentuh,
dan kita juga tidak membuatnya abadi
–
TENTANG PERTEMUAN ITU
aku hendak mengabarkanmu
bahwa kita akan bertemu setelah magrib
saat senja itu sudah mengerut, juga
ketika bayang-bayang makin memendek
baru awal bulan kala itu
awan ternyata berwajah kusam
mendinginkan aspal di kakilima
dan besi pada monorel
saat itu air memburu makin nyalang
sebab rintik-rintik yang jatuh
sekeras gada dan setajam pisau
menepikan kita perlahan
mestinya arah tak lagi jauh
karena angin telah menderu
untuk membantuku mendekat padamu
“di sini hujannya deras sekali,
tunggulah sebentar. aku kira
nggak lama lagi akan mereda.”
kita mungkin telah lama tak mengenal
masing-masing menambat layaknya mawar pada tembok yang telah retak, berlumut,
dan tumbuh terpisah, tetapi masih
mampu bertahan dari musim yang
berselang-seling
“aku baru saja beli jas hujan, dan sebentar lagi aku akan menuju tempatmu.”
–
MALAM ITU
rasanya telah lama
aku mengubur suaraku, dan
hari-hari tak lagi mengenal
satu sama lain
di bioskop,
bangku yang berderet-deret
jadi tempat menimbun kata-kata
yang lekas pergi dan tatapan kita
yang tak tuntas
layar putih itu bahkan
membuatku hanyut, dan
kau, mampu menjadikanku mahir
berkisah cerita-cerita yang sepele
aku masih ingat
—bagai rajutan yang dibuat
saat dinginnya musim—
tangan kita terpaut saat itu
dalam genggaman yang
tak mungkin terlepas
juga jari-jemarimu,
sentuhan itu telah membuatku
membayangkan bulu-bulu kucing
peliharaanmu yang kau sayangi betul
saat itu
tubuh kita pun erat
tetapi, apakah hati kita
juga tergerak?
–
BEGINILAH JADINYA
aku kira
aku telah menekuri kisah ini
setelah menurunkanmu
pada permulaan gang
ibarat perpisahan,
aku mengharapkan
desiran angin
menggeraikan
rambut merahmu
yang baru saja kau
warnai, dan juga mampu
menolehkan wajahmu
kepadaku di ujung jauh itu
malam itu
aku ingin lambaian
kita bersambut
dan,
kita akan tersenyum
di balik masker
masing-masing,
mengingat-ingat
obrolan yang kita
ucapkan dan
suara kita
yang pelan
aku bayangkan
dirimu seperti
peta tak terbaca
makin terbenam
melesap merupa
bayang-bayang
pertemuan tadi,
serta dirimu,
dalam bentuk
pantulan cahaya
pada kaca-kaca,
spion, dan juga
binar mataku
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA