“Beauty efforts benefit the status quo because they forestall other forms of agency, including social protest over class and gender inequality” (Miller, 2000:8).
Di ruang maya yang dipenuhi penilaian, istilah “aura Maghrib” kerap muncul, menggema di antara unggahan dan komentar. Istilah ini sering kali disematkan pada perempuan dengan kulit gelap. Meskipun terdengar sepele, ungkapan ini memuat warisan pandangan yang membatasi definisi kecantikan pada terang—seolah-olah kulit gelap adalah tanda kekurangan yang sulit diterima. Lebih dari sekadar kata-kata, istilah ini mencerminkan stigma yang telah mengakar dalam kesadaran kolektif, mengukuhkan norma usang yang terus membelenggu cara pandang terhadap nilai dan kemanusiaan perempuan.
Tak hanya di dunia maya, komentar serupa kerap dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari—baik di media sosial, di lingkungan keluarga, maupun saat bersama teman. Fisik sering menjadi topik utama, dengan pertanyaan seperti, “Kok sekarang gendutan?” atau, “Kok kamu item, ya?” Meski dianggap wajar atau sekadar basa-basi, komentar ini justru mempertegas budaya yang menjadikan warna kulit terang sebagai standar kecantikan ideal, seraya meminggirkan warna kulit lainnya sebagai sesuatu yang tidak memenuhi standar.
Simbolisme Warna Kulit dalam Ramayana
Dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, L. Ayu Saraswati membahas secara mendalam narasi kecantikan yang mengutamakan kulit putih. Narasi ini tidak hanya tersebar melalui media dan budaya populer, tetapi juga diperkuat dalam teks-teks klasik, seperti Ramayana. Dalam epos tersebut, kisah cinta antara Rama dan Sita berfokus pada kecantikan Sita yang “putih bercahaya”, yang diibaratkan dengan bulan purnama. Gambaran ini membangun citra kecantikan ideal yang selalu dikaitkan dengan cahaya, kesucian, dan kemurnian.
Namun, narasi ini lebih dari sekadar menggambarkan tubuh Sita sebagai simbol kecantikan. Ia juga menjadi instrumen yang menimbulkan konflik dan ketegangan kekuasaan. Dalam cerita Ramayana, perang antara Rama dan Prabu Rahwana menggambarkan pertarungan antara moralitas dan fisik: yang putih melawan yang gelap, yang suci melawan yang jahat. Ini menciptakan hierarki sosial yang tajam.
Baca juga:
Prabu Rahwana, sang antagonis, digambarkan dengan kulit gelap, yang secara simbolis diasosiasikan dengan kegelapan, penderitaan, dan kejahatan. Dalam beberapa adegan, Sita yang tengah dilanda kesedihan digambarkan “seperti bulan baru yang gelap”, mengaitkan kegelapan dengan penderitaan. Representasi ini tidak hanya menegaskan perbedaan fisik, tetapi juga membangun narasi moral yang mendalam, menggambarkan siapa yang dianggap baik atau buruk, layak atau tidak layak.
Pola simbolik ini, yang menghubungkan kiasan cahaya dan gelap dengan kualitas moral, menunjukkan bahwa teks-teks seperti Ramayana bukan hanya karya sastra, tetapi juga instrumen penyebaran ideologi sosial yang mendalam. Kecantikan yang digambarkan sebagai putih dan bercahaya menjadi standar ideal yang diidam-idamkan, sementara kegelapan—baik itu yang terwujud dalam kulit atau emosi—dijadikan simbol ketidaksempurnaan dan ancaman.
Dalam konteks ini, Ramayana tidak hanya menceritakan kisah cinta dan peperangan, tetapi juga membentuk kembali cara pandang masyarakat terhadap kecantikan, kekuasaan, dan moralitas. Nilai-nilai ini tetap relevan dalam pembentukan konstruksi sosial kita hingga saat ini.
Fantasi Putih: Tubuh sebagai Komoditas
Dalam masyarakat yang terus dipengaruhi oleh norma-norma visual dan budaya konsumerisme, kita sering kali terjebak dalam narasi tunggal dengan menganggap kulit putih sebagai simbol kesempurnaan dan keberhasilan. Standar ini tidak hanya dipertahankan dalam karya sastra dan mitos budaya, tetapi juga diperkuat dengan cerdik oleh industri periklanan, yang memanipulasi citra tubuh perempuan sebagai komoditas yang dapat dijual.
Industri periklanan memanfaatkan tubuh perempuan sebagai objek komodifikasi, memanipulasi emosi individu, menciptakan rasa ketidakamanan, dan membuat mereka merasa jauh dari apa yang dianggap ideal. Akibatnya, perempuan dengan warna kulit di luar standar dominan sering kali dipinggirkan dan dianggap tidak layak masuk dalam kategori sosial yang diinginkan.
Dengan demikian, kita sering merasa terdorong untuk mengikuti bujukan iklan, melihatnya sebagai jalan menuju kebahagiaan. Iklan produk kecantikan sering kali menyiratkan bahwa menjadi putih berarti menjadi bahagia, dan untuk menjadi bahagia seseorang harus menjadi putih. Iklan-iklan ini tidak hanya memengaruhi pilihan kita, tetapi juga membentuk pengalaman emosional dan persepsi kita terhadap diri sendiri.
Beberapa pakar feminis mengistilahkan diskriminasi terhadap perempuan “jelek” sebagai “tampilanisme” (“look-ism”) untuk menggambarkan bagaimana ekspektasi kecantikan ini bersifat sistematik (Chancer, 1998). Diskriminasi berdasarkan penampilan, menurut mereka, lebih berbahaya daripada rasisme dan seksisme, karena meskipun diskriminasi rasial dan gender telah lebih banyak disadari, diskriminasi berdasarkan tampang masih banyak dianggap remeh atau bahkan tidak disadari (Etcoff, 1999).
Ideologi kecantikan ini telah digunakan untuk mempertahankan posisi subordinat perempuan modern (Wolff, 1992), karena ritual-ritual kecantikan yang tak ada habisnya secara “disipliner” membentuk tubuh perempuan sebagai “tubuh yang patuh” (Bartky, 1990).
Setiap iklan berisi narasi budaya yang kuat tentang bagaimana kebahagiaan dicapai dengan mengonsumsi produk-produk tertentu. Sut Jhally, seorang peneliti media, menyatakan, “Secara mendasar, iklan bicara kepada kita sebagai individu dan menjawab bagaimana kita bisa menjadi bahagia. Jawaban yang disediakannya semua tertuju pada pasar, melalui pembelian barang atau jasa” (2003, 251).
Hermawan Kartajaya juga menekankan bahwa “feel benefit,” yakni manfaat yang menyentuh emosi konsumen dan menjanjikan kebahagiaan, memainkan peran penting dalam memengaruhi keputusan konsumen, alih-alih “think benefit,” yang lebih rasional (2004, 34).
Dalam melanggengkan narasi putih, industri iklan berhasil menciptakan ilusi, fantasi, dan identitas yang semu. Disiplin tubuh perempuan mencakup berbagai ritual perawatan, dari susu pembersih hingga krim pemutih, yang dilakukan setiap hari. Bahkan ini hanya mencakup bagian tubuh tertentu—wajah. Ada banyak produk lain untuk bagian tubuh perempuan seperti alis, kaki, rambut, dan dada, agar terlihat cantik feminin. Dengan mengikuti narasi kecantikan yang dipromosikan iklan, perempuan dipaksa untuk mengubah tubuh mereka menjadi “tubuh-tubuh patuh yang feminin”. Ini adalah akibat tak terhindarkan dari pembentukan identitas kecantikan yang dipengaruhi oleh iklan, media, dan majalah.
Menggugat Narasi Kecantikan: Membuka Ruang untuk Keberagaman
Standar kecantikan yang sering kali hanya mengacu pada satu tipe fisik yang dianggap ideal—biasanya kulit terang, tubuh ramping, dan fitur wajah yang simetris—akan menyingkirkan berbagai bentuk kecantikan lainnya yang lebih beragam. Narasi ini tidak hanya menciptakan ketidaksetaraan, tetapi juga mengekang kebebasan individu untuk mengekspresikan diri mereka dalam cara yang lebih autentik. Kecantikan, yang seharusnya merayakan perbedaan, justru dipersempit menjadi sebuah citra tunggal yang akhirnya membelenggu potensi diri dan nilai kemanusiaan.
Ketika standar kecantikan tunggal ini dijadikan patokan, banyak individu, terutama perempuan, merasa terasingkan dari citra ideal tersebut. Mereka yang tidak sesuai dengan gambaran ini sering kali dipandang sebagai “yang berbeda” atau bahkan “kurang”. Fenomena ini merasuk ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari media sosial hingga industri kecantikan, yang terus-menerus memperkuat gambaran tentang apa yang harus dianggap cantik.
Proses ini tidak hanya menciptakan rasa ketidakpuasan diri, tetapi juga membentuk persepsi yang menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik semata. Akibatnya, kecantikan yang seharusnya bersifat universal dan inklusif justru terperangkap dalam kerangka yang sempit, memperkuat stereotip yang diskriminatif dan mengabaikan keberagaman yang ada dalam masyarakat.
Baca juga:
Namun, di tengah arus narasi kecantikan tunggal ini, ada seruan untuk membuka ruang bagi keberagaman, untuk merayakan setiap individu dengan segala keunikan dan perbedaannya. Keberagaman kecantikan bukan hanya soal warna kulit, bentuk tubuh, atau fitur wajah, tetapi juga melibatkan pengalaman, ekspresi diri, dan identitas yang lebih kompleks.
Menerima keberagaman ini berarti menggugurkan beban standar yang kaku, dan memungkinkan masyarakat untuk melihat kecantikan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling tampak hingga yang paling tersembunyi, yang mencerminkan perjalanan hidup, kebudayaan, dan keberagaman kita sebagai manusia.
Dalam menggugat narasi kecantikan yang sempit, kita tidak hanya berbicara tentang penerimaan terhadap berbagai bentuk fisik, tetapi juga mengenai pembebasan diri dari belenggu definisi yang membatasi. Dengan merayakan keberagaman, kita membuka ruang untuk identitas yang lebih kompleks dan autentik, yang tidak diukur dari seberapa dekat seseorang dengan standar kecantikan dominan, tetapi dari sejauh mana ia dapat mencintai dirinya sendiri dalam segala bentuk dan keunikannya.
Perubahan narasi ini bukan hanya soal meruntuhkan citra fisik yang terlampau sempit, tetapi juga soal merangkul seluruh dimensi manusia yang penuh warna, dengan penuh penghargaan dan rasa hormat. Keberagaman dalam kecantikan adalah perayaan dari kemanusiaan kita, yang tak terbungkus dalam batasan-batasan sosial, melainkan ditentukan oleh kebebasan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Editor: Prihandini N