Saatnya Membangun Kembali Institusi yang Inklusif

Mario Angkawidjaja

2 min read

Dalam beberapa kesempatan, mendiang Faisal Basri kerap mengungkapkan dengan lantang bahwa dosa terbesar Jokowi sebagai presiden ialah merusak institusi dan tatanan bernegara. Kiranya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan, karena memang pada faktanya, dua periode kepemimpinannya diwarnai oleh perusakan institusi politik, hukum, maupun ekonomi demi ambisi dan kepentingan pribadi serta keluarganya. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh Jokowi bukanlah perkara yang enteng, ia telah merusak fondasi yang sangat menentukan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.

Betapa signifikannya peran institusi dalam kesejahteraan merupakan konklusi dari penelitian selama puluhan tahun yang dilakukan oleh Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson – AJR, yang baru saja menerima anugerah nobel ekonomi tahun 2024. Temuan mereka berhasil memberikan penjelasan yang meyakinkan mengapa sebagian negara tetap miskin dan sebagian negara berhasil bertransformasi menjadi negara yang sejahtera.

Dalam buku Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson menunjukkan bahwa kesejahteraan suatu negara tidak ditentukan secara signifikan oleh seberapa banyak sumber daya alam yang dimiliki, seberapa strategis letak geografis, seberapa cerdas pemimpin negaranya maupun karakter kultural bangsanya, melainkan sangat ditentukan oleh seberapa berkualitas institusi politik dan ekonomi yang ada di negara tersebut. Karena faktor-faktor di atas tidak mungkin dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera apabila institusi politik dan ekonomi yang ada didesain untuk mengeruk kekayaan negara dan jerih payah warganya demi keuntungan sekelompok kecil elit semata. Acemoglu dan Robinson menyebutnya sebagai institusi yang ekstraktif.

Sebaliknya, betapapun minimnya sumber daya alam yang dimiliki atau tidak strategisnya letak geografis suatu negara, kesejahteraan akan lebih mudah tercipta apabila ditopang oleh pemerintahan yang demokratis, birokrasi yang efektif dan efisien, kepastian hukum yang tinggi, dan sistem ekonomi yang kompetitif dan inovatif. Dengan kata lain institusi yang inklusif.

Nestapa Rakyat Kecil

Tesis peraih nobel di atas nampaknya kian relevan bagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang sedang tidak baik-baik saja: mandegnya pertumbuhan ekonomi; menipisnya lapisan kelas menengah; meningginya angka pengangguran; melemahnya industrialisasi; dan semakin lebarnya kesenjangan kemakmuran.

Alih-alih mengantisipasi berbagai persoalan riil yang tengah mengancam kehidupan rakyat kecil di depan mata, pemerintah justru memilih menggelontorkan dana besar-besaran untuk proyek-proyek ambisius pribadi Jokowi, seperti pembangunan IKN. Kekayaan alam yang melimpah dari mulai nikel sampai pasir laut dieksploitasi begitu rakusnya untuk mengisi kantong-kantong oligarki dan elit politik, bahkan rela diberi ke negeri lain. Sementara rakyat kecil yang dibuat semakin kerdil dan tak berdaya menanti diberi remah-remah berlabel bansos.

Wajah suram perekonomian sepanjang periode Jokowi nampak selaras dengan tindakannya merusak insitusi politik dan hukum yang telah susah payah dibangun sejak reformasi. Desain pemisahan dan distribusi kekuasaan dengan mudah ia lucuti. Eksekutif bukan hanya mampu mengontrol legislatif–dengan koalisi yang gemuk–melainkan juga mendikte ketukan palu hakim. KPK diperlemah sedemikian rupa. Otonomi daerah direnggut untuk memaksimalkan penghisapan sumber daya alam di daerah. Hukum dijadikan alat untuk membungkam yang kritis dan memuluskan barter politik. Media massa maupun media sosial direkayasa sebagai alat propaganda sekaligus medan perang cybertroops dan buzzer.

Baca juga:

Sungguh ironis ketika institusi politik inklusif yang membukakan jalan bagi Jokowi–yang notabene bukan elit politik dan oligarki – untuk terpilih sebagai presiden, justru dirusaknya secara sempurna in optima forma dan digantikannya oleh institusi politik yang ekstraktif. Inilah titik awal dari kemerosotan ekonomi yang kita alami. Karena, institusi ekonomi inklusif hanya bisa dibangun di atas fondasi yang terlebih dahulu diletakkan oleh institusi politik inklusif. Kalaupun terdapat pertumbuhan ekonomi, AJR menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan bertahan lama jika berada di bawah bayang-bayang institusi politik yang ekstraktif.

Pada akhirnya, Jokowi sendiri terkena imbasnya. IKN yang ia bayangkan akan menjadi legacy terbesarnya, justru dihadapkan pada ancaman kegagalan yang begitu dekat. Terlepas dari segala upayanya untuk menarik investasi, pada akhirnya berbuah nihil. Para investor tak juga berdatangan. Karena mana mungkin investor yang waras sudi menanamkan modalnya di suatu negara yang kepastian hukumnya sangat tidak bisa diandalkan?

Penguatan Masyarakat Sipil

Anugerah nobel ekonomi tahun ini sepatutnya menyadarkan kita semua bahwa penguatan institusi yang inklusif merupakan prasyarat utama dalam menciptakan kehidupan rakyat yang sejahtera dan merata dalam jangka panjang. Apalagi mengingat pemerintahan mendatang yang berambisi mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Sebaliknya, jika lanskap institusi hari ini dilanjutkan oleh pemerintah selanjutnya, jangan berharap target ambisius 8% akan tercapai, justru akan terperosok semakin dalam lagi.

Kiranya bukan suatu pilihan yang bijak untuk berharap pada pemerintah yang baru. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah berharap pada diri kita sendiri, masyarakat sipil. Perlu diingat bahwa pemegang kekuasaan bukanlah juru selamat berhati mulia atau sebuah yayasan yang dengan sukarela melayani publik. Mereka adalah leviathan – raksasa superkuat – yang perlu dikerangkeng, dan masyarakat sipil adalah kerangkengnya.

Ketika masyarakat sipil dapat terkonsolidasi dengan solid dan cukup kuat untuk mengimbangi kekuatan pemegang kuasa, disitulah kita mampu memaksa pemegang kuasa untuk membangun institusi inklusif dan mencegah mereka untuk merusaknya kembali. Peristiwa “Peringatan Darurat” adalah contoh nyata dari betapa berpengaruhnya kekuatan masyarakat. Kita harus meneruskannya sebagai agenda penguatan gerakan masyarakat sipil dalam skala yang panjang, agar tercipta keseimbangan yang berkelanjutan antara kekuatan pemegang kuasa dan masyarakat sipil, seperti apa yang Acemoglu & Robinson sebut sebagai Narrow Corrdidor. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Mario Angkawidjaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email