Dulu sewaktu masih menganggur, saya terheran-heran mengapa orang-orang yang bekerja ketika libur justru kebanyakan tak melakukan apa-apa dan lebih memilih beristirahat di rumah. Ketika mereka luang dan libur, saya beberapa kali mengajak mereka untuk keluar sekadar ngopi atau main, namun beberapa memilih untuk tidur seharian. Dulu saya bingung, mengapa pekerjaan begitu menyedot energi dan semangat muda mereka – hingga akhirnya saya merasakannya sendiri.
Ketika pada akhirnya saya dapat pekerjaan, saya memahami bahwa waktu luang merupakan kemewahan yang sangat berarti untuk para pekerja. Apalagi mereka yang bekerja dengan jarak tempuh pulang-pergi jauh, ada yang sampai 4 jam di jalan total perjalanan pulang-pergi – waktu luang atau libur adalah waktunya mengecharge diri agar bisa bersantai.
Aristoteles mengatakan kita bekerja agar kita bisa memiliki waktu luang. Namun semakin hari saya merasa resah sebab, benarkah yang begini adalah waktu luang? Benarkah menjeda diri dengan berharap tubuh kembali “kuat” demi mampu bekerja di esok hari adalah definisi menggunakan waktu luang? Atau justru jangan-jangan waktu luang yang kita miliki ketika libur adalah perpanjangan dari sistem kerja yang selama ini kita jalani? Kita diberikan waktu luang agar mampu kembali dipecut dengan tugas dan pekerjaan yang lebih berat ketika kembali masuk kerja, toh kan sudah istirahat, begitu argumennya. Benarkah yang begitu bisa disebut waktu luang? Atau hanya sekadar “berjeda dari kerja”?
Baca juga:
Theodor Adorno mewanti-wanti untuk menggunakan waktu luang (leisure) dan jangan sampai terjebak dalam waktu luang yang sebetulnya adalah “perpanjangan dari pekerjaan”(mere appendage of work). Waktu luang adalah ketika kita menyatukan kembali antara “apa yang kita lakukan” dengan “apa yang kita ingin lakukan”. Adorno berpendapat seorang akademisi (filsuf/pemikir seperti dirinya) tidak memiliki hobi di waktu luang, kenapa? Sebab “apa yang dilakukan” dan “apa yang ingin dilakukan” sudah menyatu sehari-hari, tak ada batasan antara kerja dan menggunakan waktu luang untuk kesenangan pribadi.
Namun kita sebagai orang yang sering kali terjebak dalam pekerjaan yang kita sendiri sebetulnya tak inginkan – namun harus terus lakukan karena tuntutan dan penghasilan, butuh “hobi/waktu luang” sebab kita belum menyatukan kedua hal tadi. Antara perbuatan (act) dan diri (agency) masih terpisah tuntutan dari luar diri (pekerjaan). Inilah gunanya waktu luang menurut Adorno bagi para pekerja katakanlah, yaitu momen menyatukan act dam agency. Jadi hadirnya waktu luang adalah “ketidakhadiran kerja” terutama kerja yang kita tak inginkan.
Sekarang, jika kita beristirahat atau leha-leha saat libur, karena niatan ketika masuk kerja bisa kerja lebih lama dan lebih keras – bagi Adorno ini bukan waktu luang. Masih ada implikasi kehadiran “kerja” dalam lakon tersebut, dan kita belum merdeka melakukan sesuatu yang seharusnya berasal dari keinginan diri bukan karena tuntutan sistem pekerjaan. Hasilnya adalah kita mendapatkan waktu luang atau libur namun tidak betul-betul memilikinya.
Layaknya Sisifus yang dikutuk, kehadiran “kerja” begitu jadi fokus utama hidup dan pikiran, hingga tak membuka ruang bagi keinginan diri dan hal lain dalam kehidupan. Sebab, jika pekerjaan telah melekat terus menerus dalam pikiran tentu kita akan kehilangan batas antara urusan rumah dan urusan kerja. Jika batas ini hilang dan kita tidak betul-betul menghadirkan waktu luang saat memilikinya, maka pekerjaan akan merangsek alam bawah sadar dan mengambil alih apa-apa yang masuk dalam “urusan rumah”. Sebaliknya bukan tidak mungkin, fokus yang pecah ini akan membawa urusan rumah dan pribadi terbawa ke urusan kerja juga. Batas-batas hilang sebab waktu luang kita selama ini cuma ‘bayangan dari kerja’.
Byung Chul-Han, filsuf Jerman kelahiran Korea Selatan, mengatakan bahwa masyarakat kita telah terjebak dalam masyarakat capaian (achievement society). Mungkin terdengar bagus sebab ada sebuah unsur membangun di sana, namun sayangnya ternyata capain di sini adalah unsur yang destruktif. Chul-Han berpendapat dalam masyarakat capaian, mereka berlomba-lomba melawan diri mereka yang kemarin. Dalam masyarakat seperti ini, mereka tak perlu diatur-atur lagi atau disuruh untuk menjadi seorang pekerja terbaik, sebab dengan sendirinya mereka akan terus menerus menuntut dirinya untuk fokus pada pekerjaan dan menjadi lebih baik dari dirinya yang lalu. Namun sayangnya walaupun datang dari diri sendiri dan tidak perlu diancam, tuntutan yang kita bicarakan ini justru dibentuk oleh yang ada di luar dirinya – perusahaan yang merekrut mereka kerja.
Baca juga:
Hal seperti ini bukan tanpa konsekuensi, justru di sinilah letak apa yang disebut sebagai eksploitasi-diri sukarela (voluntary self-exploitation). Kebebasan diri dipertaruhkan oleh bayang-bayang sistem yang menuntut ke dalam dirinya tanpa sadar untuk terus memaksa diri menjadi mesin penghasil. Chul-Han berpendapat eksploitasi-diri sukarela lebih efektif dibandingkan dominasi langsung. Sebab yang melakukan tanpa sadar merasa itu tuntutan dalam dirinya padahal tuntutan tersebut berasal dari luar dirinya. Apa hasil buruk semua ini? terjadilah apa yang Chul-Han sebut “masyarakat kelelahan” (burnout society). Di sini juga masyarakat kehilangan keberanian untuk merenung dan menjalani apa yang mereka mau, waktu luang lagi-lagi menjadi korban dari tuntutan luar dirinya.
Maka di sinilah penting untuk kita kembali memetakan waktu luang yang kita miliki. Sebab bisa jadi betul, bahwa ini adalah momen kemewahan kita sebagai pekerja, lebih dari itu bisa jadi waktu luang adalah momen yang esensial. Jika waktu luang tidak digunakan dengan semestinya, memang tak heran hidup kita akan selalu dibayangi tuntutan dan kecemasan. Seakan-akan waktu luang sendiri tak pernah hadir dan benar-benar kita miliki. Bertrand Russell bahkan menganggap ada kalanya waktu luang justru adalah kesempatan membangun peradaban. Dari waktu luang ada karya-karya yang mengubah dunia atau bahkan sistem tua. Dengan begitu waktu luang adalah momen yang pas sebetulnya untuk menemukan kembali makna.
Josef Pieper, seorang filsuf Jerman lainnya, menyatakan bahwa kita bisa memanfaatkan waktu luang setidaknya dalam tiga hal, yaitu:
- Meditasi religius: menyadari bahwa kita adalah mahluk spiritual dan transenden. Bahwa kita kecil di hadapan-Nya dan segalanya di dunia adalah bekal untuk menghadap-Nya.
- Refleksi Filosofis: tentu hal ini tak dibatasi dalam permenungan ilmiah, siapapun yang ingin menemukan makna sesuatu maka sedang berfilsafat. Coba temukan makna dari kehidupan sehari-hari.
- Seni: seni adalah pintu gerbang bagi kita memahami hidup seperti hidup itu sendiri dengan bentuk, rupa, suara, atau sudut yang berbeda. Kebudayaan termasuk di dalamnya, ini juga yang disarankan Adorno untuk kita lakukan dalam waktu luang.
Saya akan menambahkan satu hal lagi, sekaligus menutup tulisan ini, yaitu cobalah gunakan waktu luang untuk “Realiasi Diri pada Keseharian yang Biasa” (Realization of Ordinary Life). Coba sadari dengan mengadirkan diri sepenuhnya pada apa-apa yang ada di sekitar kita ketika memiliki waktu luang. Menikmati keindahan dari yang biasa-biasa saja. Sesuatu yang ordinary namun luput kita sadari artinya sebab tak menghadirkan diri sepenuhnya. Saya merasakannya sendiri, ketika waktu luang datang dan tidak bekerja – saat sedang makan malam bersama keluarga di teras rumah, saya merasa sangat bersyukur ada momen tersebut. Sebab momen-momen sederhana itu tak saya dapatkan dari pekerjaan – dan hanya karena ada waktu luang momen itu ada. Bisa dengan contoh lainnya yang umum, saat ngobrol dengan teman, saat membaca buku, saat menyiram tanaman, saat mencuci motor, itu semua ada karena kita diberikan waktu luang. Dan kita mesti mengisinya dengan kesadaran dan kehadiran yang utuh, barulah yang sederhana terasa indah.
Itulah mengapa waktu luang itu penting, kita harus merebutnya kembali dalam genggaman diri sendiri – yang merdeka. Sebab ia mengingatkan kita akan keberadaan manusia yang transenden dan jauh di atas materil semata. Jika kita kehilangannya, atau menyamakannya dengan kegabutan dan leha-leha saja, tentu kita kehilangan kesempatan untuk merenungi hidup, keberadaan, bahkan pekerjaan.