Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Kata-kata Tan Malaka tersebut mungkin tidak selalu diingat oleh mahasiswa, tetapi tercermin dalam aksi demonstrasi yang berlangsung pada tanggal 21 Februari 2025.
Untuk kesekian kalinya sejak masa pemerintahan Prabowo Subianto, mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan kritik dan tuntutan mereka. Demonstrasi ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, tetapi cerminan dari kegelisahan mereka terhadap arah kebijakan pemerintahan yang dinilai semakin menyimpang dari harapan rakyat. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan Mahkamah Konstitusi (MK), kebijakan distribusi gas LPG yang merenggut nyawa, hingga efisiensi anggaran yang tidak jelas peruntukannya—ke mana sebenarnya dana publik dialokasikan jika berbagai kebutuhan dasar rakyat masih diabaikan?
Alih-alih berbenah dan membuat program yang progresif, pemerintah justru sibuk memperluas lingkaran kekuasaan dengan melantik orang-orang yang tidak kompeten ke dalam posisi-posisi strategis baru. Contohnya pelantikan Deddy Corbuzier sebagai staf khusus menteri pertahanan bidang komunikasi sosial dan publik. Rekam jejak Deddy di media sosial cukup kontroversial. Ia juga tidak menunjukkan etika dan sensitivitas yang baik kepada publik. Fenomena ini tentu merupakan ironi. Ketika dana pendidikan dipotong atas dasar efisiensi, pemerintah justru menambah pos-pos jabatan baru yang tidak memiliki urgensi.
Baca juga:
Tidak hanya itu, pemerintah juga semakin menunjukan gelagat yang sewenang-wenang. Mengindikasikan gejala pemerintahan yang otoriter dan jauh dari semangat reformasi. Dalam merespons aksi Indonesia Gelap yang merupakan wujud keresahan rakyat, Luhut Binsar Pandjaitan justru meresponsnya dengan mengatakan “Kau yang gelap, bukan Indonesia.” Seakan-akan pemerintah dan rakyat berada di dua kubu terpisah dan tidak berjalan untuk tujuan yang sama.
Presiden Prabowo Subianto sendiri merespons kritik masyarakat terhadap kabinetnya yang dinilai boros dengan kata-kata, “Ndasmu!”. Pemimpin yang menganggap kritik sebagai musuh tentu menjadi tanda bahaya yang akan menuntun pada totalitarianisme dan kemunduran.
Banalitas Otoritarianisme
Tidakkah kita menyadari bahwa pemerintah semakin menunjukan banalitasnya? Jeritan rakyat hanya dianggap riuh angin berlalu. Dengan leluasa kebijakan dibuat hanya untuk keuntungan segelintir elite, sementara rakyat ditelantarkan dalam posisi sulit. Kritik tidak direspons dengan refleksi, tetapi arogansi. Janji manis kampanye kini hanyalah ilusi, kekuasaan dijalankan tanpa empati, dan kesewenang-wenangan justru dianggap prestasi.
Fenomena ini disebut juga sebagai banalitas otoritarianisme, konsep yang diperkenalkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam karyanya yang berjudul Tyranny of the Minority. Keduanya mengemukakan fakta bahwa kematian demokrasi sering kali bukan karena kudeta militer atau revolusi besar, melainkan penyimpangan-penyimpangan bertahap yang dilakukan oleh para pemimpin terpilih.
Baca juga:
Levitsky dan Ziblatt menekankan bahwa proses ini sering kali tidak disadari oleh masyarakat karena sifatnya yang bertahap dan tampak legal. Strategi yang dilakukan biasanya dimulai dengan melemahkan oposisi, membatasi kebebasan pers, mengendalikan sistem peradilan, dan mengubah aturan pemilu untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Perubahan-perubahan dilakukan dengan dalih modernisasi dan efisiensi hingga rakyat tidak menyadari kekuasaan semakin terkonsolidasi di tangan segelintir elite, sementara mekanisme check and balance semakin dilemahkan.
Jika banalitas kejahatan lahir dari ketaatan buta terhadap sistem, banalitas kekuasaan tumbuh dari kebiasaan menormalisasi kesewenang-wenangan. Sedikit demi sedikit, ketidakadilan semakin tak terlihat, bukan karena ia tidak ada, melainkan karena kita telah dibiasakan untuk hidup tanpanya. Oleh karena itu, sampai kapan kita akan terus membiarkan kebobrokan ini menjadi keseharian? Sampai kapan kita hanya menjadi penonton dari drama kekuasaan yang semakin kehilangan makna keberpihakannya?
Masyarakat Indonesia perlu bangkit, mengambil peran aktif, dan berhenti sekadar menjadi penonton. Demokrasi bukan sekedar kata, ia adalah sistem yang hidup dan bergantung pada partisipasi aktif rakyatnya. Apabila sikap apatisme terus merajalela, bersiaplah atas hilangnya cita-cita serta harapan untuk masa depan yang lebih merdeka.
Editor: Prihandini N