Bali, Pertarungan Kepentingan dalam Bungkus Industri Pariwisata

Beni Bayu Sanjaya

2 min read

Pasca membaca buku Berebut Bali yang ditulis oleh Agung Wardana, saya menyadari bahwa pandangan personal saya tentang Bali merupakan wujud keberhasilan bagaimana Bali dikemas dari sisi pariwisata dan kebudayaan, mengesampingkan pergolakan kepentingan di dalamnya.

Awalnya, saya memandang Bali sebatas pulau yang eksotis. Terlebih pemandangan pantai yang indah dan budayanya yang menjadi daya tarik tersendiri. Oleh karena itu, “pihak luar” tidak akan mengetahui sisi lain di luar pariwisata dan kebudayaan yang dimiliki oleh Bali. Hal tersebut sejatinya menjadi alasan mendasar mengapa kita perlu mengetahui sisi lain yang ada di Bali, yang tidak banyak tersebar di media-media mainstream. Dan buku ini dirasa sangat tepat untuk menggali informasi tersebut. Buku ini mengajak pembaca memasuki arena pertarungan kepentingan yang ada di Pulau Dewata, yang barangkali belum banyak kita ketahui.

Pariwisata Bali sebagai Bentukan Kolonial

Dalam buku ini terdapat satu bab yang menjelaskan pariwisata Bali dari kacamata sejarah, bahwa pariwisata Bali yang saat ini menjadi salah satu ujung tombak sumber pemasukan negara merupakan bentukan atau peninggalan dari masa penjajahan Belanda, meskipun awalnya Bali sangatlah tidak menarik dalam kacamata kolonial Belanda. Pada masa itu, Bali dianggap tidak menarik karena tidak menghasilkan komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar Eropa seperti halnya Maluku yang sudah populer di seluruh penjuru dunia dengan rempah-rempahnya.

Baca juga:

Singkatnya, pasca penaklukkan Bali oleh Belanda melalui perang memalukan yang juga ditandai dengan ritual bunuh diri massal atau terkenal dengan Puputan, Belanda menjalankan proyek Baliniseering (Balisisasi). Proyek tersebut memadukan dua tujuan, yakni tujuan politik dan juga terkait ekonomi kolonial yang merupakan cikal bakal industri pariwisata Bali.

Secara politis, proyek ini merupakan aksi tandingan terhadap citra buruk di tingkat internasional setelah penaklukan yang memalukan (Vickers 2012) dan juga berfungsi sebagai upaya untuk mencegah meluasnya nasionalisme dan islamisasi dari Jawa, serta misionaris Kristen ke Bali, dengan menjadikan masyarakat Bali bangga akan identitas Hindu yang unik “di tengah lautan Islam” (Hitchcock dan Darma Putra 2007; Picard 2011) Hal. 42.

Citra Bali sebagai “surga” mengalami titik berangkat dari proyek atau peristiwa tersebut, lalu diciptakan untuk mendongkrak industri pariwisata Pulau Dewata, yang dikutip dari Vickers sebagai sebuah citra kolonial yang telah bercokol sebagai narasi dominan sepanjang sejarah modern Bali.

Pembahasan menarik lainnya justru bertolak dari pembahasan sejarah dan pembentukan industri pariwisata Bali ke pembahasan dalam bingkai pertarungan kepentingan berbagai pihak. Mulai dari pihak negara, yakni pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, serta pihak swasta maupun lembaga adat yang turut bersaing menegaskan kepentingannya.

Dikendalikan oleh Industri Pariwisata

Dalam buku ini diuraikan secara mendalam bagaimana Bali menjadi arena pertarungan berbagai macam kepentingan dari aktor yang berbeda. Di antaranya ada yang bertujuan sebagai jenama lanskap warisan dunia oleh lembaga negara, penguasaan ruang sebagai pembenaran dalil neoliberal oleh swasta, serta bagaimana masyarakat lokal melalui lembaga adat berupaya mempertahankan ruang mereka untuk hidup.

Baca juga:

Pertarungan atas ruang Bali yang sebagian besar telah beralih menjadi industri pariwisata berdampak terhadap kehidupan masyarakat lokal beserta kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Tak jarang, wacana industri pariwisata memiliki kendali terhadap berlangsungnya suatu ritual atau kebudayaan berjalan. Selain itu, dampak lainnya yang dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya biaya hidup dan pajak tanah yang mereka miliki.

Berdirinya industri pariwisata beserta akomodasi seperti villa, hotel, dan bentuk penginapan lainnya membuat nilai pajak tanah dan biaya hidup masyarakat meningkat. Hal ini membuat kebanyakan masyarakat lokal, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, mulai terpinggirkan. Tidak sedikit yang kalah dalam persaingan dan merelakan tanah mereka dijual kepada swasta baik dalam negeri maupun luar negri.

Bahwa ruang di Bali, sebagai sumber daya terbatas dan sangat penting, dipertarungkan oleh berbagai pelaku berbeda. Pertarungan ini terjadi karena para pelaku sosial itu memiliki pemaknaan berbeda tentang lembaga apa dan pada tingkat mana yang harus diutamakan untuk mengelola unit tertentu. (hal. 302)

Pertarungan tersebut tidak hanya pada ruang-ruang terbuka, tetapi juga pada ruang-ruang sakral di mana kebudayaan dan peribadatan keagamaan masyarakat lokal Bali diadakan. Seperti halnya pertarungan di medan Pura Uluwatu, berbagai macam lembaga memiliki klaim atas kewenangan untuk mengelola baik lingkungan pura maupun sekitarnya. Klaim kewenangan yang tumpang tindih tersebut membuat persoalan ruang dan tata kelola di Bali menjadi kompleks dibandingkan wilayah lainnya.

Pada akhirnya, masyarakat lokal pun mengalami ambivalensi dan ketaksaan dalam bertindak mempertahankan ruang mereka. Di satu sisi, industri wisata sudah melekat dalam kebutuhan sumber penghidupan mereka, tetapi di sisi lainnya mereka memiliki kekhawatiran bahwa ruang yang ada saat ini pada akhirnya akan membuat mereka tersingkir.

Editor: Prihandini N

Beni Bayu Sanjaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email