Saya baru saja selesai menonton film yang berjudul No More Bets yang tayang di Netflix pada bulan September 2024 yang lalu. Film yang berasal dari Negeri China ini mengungkap bahaya judi online dengan menghadirkan tokoh utama yaitu Pan Sheng (Lay Zhang) seorang programmer, Liang Anna (Gina Jin) seorang model, dan Gu Tianzhi (Darren Wang) seorang pria yang terjebak judi online berujung bunuh diri setelah kehilangan semua hartanya.
Film tersebut diawali dengan Pan Sheng yang memutuskan untuk mengambil tawaran kerja di salah satu negara Asia Tenggara setelah ia gagal promosi di tempat kerja sebelumnya. Harapannya pupus ketika tiba di sana. Ia dan pencari kerja lainnya malah diserang dan dibawa ke sebuah tempat. Mereka dipaksa menjadi budak operasi penipuan skala besar.
Begitupun dengan Liang Anna yang mengalami nasib serupa karena seseorang memalsukan fotonya. Baik Pan Sheng maupun Liang Anna terpaksa masuk ke dalam sistem operasi bandar judi online dan menjalankan peran untuk menipu orang lain. Gu Tianzhi, adalah sosok yang diceritakan sebagai seseorang yang kecanduan judi online hingga menjual harta benda yang ia miliki dan berujung bunuh diri karena frustasi.
Dalam film diceritakan dengan apik bagaimana bandar judi online ini beroperasi, membuat para korban terjerat, serta dampak yang dialami oleh para korban. Namun, saya tidak akan menceritakan keseluruhan isi film disini. Jika Anda tertarik bisa langsung saja menontonnya di Netflix.
Wajah Keserakahan di Era Digital
Setelah menonton film tersebut, saya merasa relate dengan fenomena judi online yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Jika melihat ke belakang, judi bukanlah hal baru. Sejak zaman dahulu, judi sudah eksis dengan segala jenisnya. Bedanya, metode judi yang dulunya konvensional kini jauh lebih modern dengan memanfaatkan teknologi.
Ternyata, hal ini menjadi sebuah malapetaka. Kemudahan dalam mengakses informasi hanya dalam satu ketukan membuat orang semakin tertarik untuk coba-coba. Ditambah, judi online dikemas dalam sebuah permainan yang membuat penggunanya penasaran hingga berujung kecanduan.
Baca juga:
- Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online
- Judi Online dan Desain Kebijakan Kriminal
- Ramai-Ramai Terjerat Judol
Tak hanya itu, sistem judi online yang sengaja memenangkan pemain baru di awal bergabung, membuat ego manusia semakin rakus. Awalnya hanya lima puluh ribu, ternyata menang dan mendapatkan uang berkali-kali lipat. Hingga akhirnya rela menggelontorkan seluruh uang yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Namun sayangnya, sistem judi online tidak dibuat untuk hal itu. Ketika harta benda sudah kadung habis, sistem menawarkan pinjaman online untuk menjerat lebih dalam para korban.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mencoba judi online. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, mengungkapkan bahwa 8,8 juta warga tercatat bermain judi Online di tahun 2024 ini. Berdasarkan data judi online dari intelijen ekonomi, pemain judi online 80 persen adalah masyarakat bawah dan menyasar ke anak muda.
Kekayaan instan yang ditawarkan menjadi daya tarik tersendiri. Tak puas dengan sekali mencoba, kemudian memutuskan untuk mengulangi dengan risiko yang lebih besar. Kerakusan manusia tergambar jelas dengan sifat yang tidak cepat puas dan ingin serba cepat. Padahal, tak ada kekayaan yang ditawarkan cuma-cuma. Termasuk pada judi online. Bukannya untung malah buntung.
Berlindung Kepada Siapa?
Sama seperti pada film No More Bets, polisi yang diharapkan menjadi pelindung justru bekerja sama dengan sang bandar. Terdengar familiar? Ya, inilah yang terjadi di Indonesia. Kementerian Komdigi yang diberikan amanah untuk memblokir situs judi online justru beberapa pegawainya menjadi pihak yang melindungi situs judi online agar tetap eksis. Tentunya, hal ini dikerjakan bukan dengan sukarela. Ada “tarif” yang dibayarkan kepada pegawai Komdigi sebagai imbal balik pelindungan situs judi online yang seharusnya diberantas. Lalu, kepada siapa masyarakat seharusnya berlindung?
Judi online bukanlah masalah satu-dua orang semata, namun hal ini sudah menjadi permasalahan global yang harus mendapat perhatian serius. Pemerintah harus bertindak tegas dan melakukan tindakan preventif agar judi online tidak menjerat lebih banyak korban. Bekukan akun para influencer yang terang-terangan mempromosikan judi online. Blokir seluruh situs hingga benar-benar bersih. Berikan hukuman tegas kepada semua pihak yang terlibat, baik di level bawah maupun di level atas. Edukasi dan sosialisasi secara lebih masif kepada masyarakat juga sangat penting dilakukan.
Tantangan dan Harapan
Para korban judi online bukan sekedar angka, melainkan nyawa yang begitu berarti bagi orang-orang di sekitarnya. Tak sedikit korban judi online yang bunuh diri karena depresi, perceraian rumah tangga, utang yang menggunung, dan masih banyak dampak buruk lainnya. Jika terus-terusan dibiarkan, judi online akan memberikan domino effect tak hanya pada internal keluarga tapi juga pada negara. Jangan kira daya beli masyarakat turun hanya karena soal besaran gaji. Bisa jadi, mereka tak bisa berbelanja karena salah satu keluarganya terjerat judi online. Siapa yang tahu?
Pemberantasan judi online adalah tanggung jawab bersama, baik masyarakat maupun pemerintah. Diperlukan kerja sama yang solid untuk menghilangkan sistem operasi judi online di Indonesia. Seperti sebuah bisnis, jika tidak ada pelanggan, maka bisnis itu akan mati dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita harus secara sadar menghentikan praktik judi online agar fenomena ini dapat lenyap dari kehidupan kita.
Langkah kecil bisa dimulai dengan melindungi orang-orang terdekat agar tidak tergoda mencoba judi online, sekalipun hanya iseng. Kendalikan diri dan pilihlah jalan yang lebih bermakna. Meski penuh proses dan tantangan, hasil yang didapatkan akan terasa lebih memuaskan karena diraih dengan jalan yang berkah, daripada ngoyo pada proses instan yang tidak jelas ujungnya dan membawa pada malapetaka. Menghilangkan praktek judi online memang tidak mudah, tapi memberantas secara perlahan praktek ini masih mungkin dilakukan selama seluruh pihak mengambil peran. (*)
Editor: Kukuh Basuki