Hari ini, saya membayangkan kita menang, rakyat menang, tapi itu hanya ada dalam bayangan saja. RUU TNI sah jadi undang-undang. Ini nyatanya. Saya merasa kecil, kerdil, dan tak bisa berbuat apa-apa.
Semalam saya ketiduran lebih awal, jam 10 kurang. Jam 12 saya kebangun, melanjutkan kerja penerjemahan, mengetik berita, sambil sesekali melihat lini masa Twitter. Segelintir pejuang sudah menginap depan gerbang Gedung DPR, pasang tenda, mengajak yang lain ikut sahur bersama di sana. Saya hanya bisa mendoakan mereka. Saya harus menyiapkan sahur di rumah, selepas subuh harus mengantar istri kerja, lalu mengantar anak saya ke daycare. Demo kali ini terlalu pagi untuk saya, ayah anak satu, yang baru bisa memulai hari untuk diri sendiri sejak pukul 07.00.
Mereka tidak akan demo sedini hari itu seandainya Dewan Pengkhianat Rakyat tidak buru-buru mengesahkan RUU TNI pagi-pagi. Dan setiap anggota dewan licik itu melakukannya terburu-buru, hasilnya selalu mencemaskan seperti Omnibus Law. Kali ini bahkan ditambah pengawalan hiperbola dari tentara.
Saya tak habis pikir tipu muslihat sebesar apa yang mereka siapkan sehingga bisa kompak, dengan suara bulat, mengirim 5 ribu pasukan untuk menghadapi sejumlah orang yang datang berkemah depan gedung wakil rakyat?
Sayangnya, usaha teman-teman yang berjaga sejak tengah malam bagai menggarami lautan. Rapat tetap jalan. Suara-suara kita tak sampai melampaui gerbang.
Habis pulang mengantar anak tadi pagi, sialnya saya ketiduran. Dan belum berapa lama saya bangun, UU TNI sudah disahkan. Jarak antara harapan dan kekecewaan itu hanya sepejaman mata.
Mengapa harus resah? Coba buka media sosial dan lihat bagaimana respons pemerintah menghadapi tuntutan rakyat #TolakRUUTNI. Rapat dikebut dan dijaga sejumlah besar tentara dengan kendaraan taktisnya; draf RUU TNI disembunyikan; bayar massa tandingan dukung RUU TNI; para pengkritik yang mengkhawatirkan kembalinya dwi fungsi TNI dituding menyebarkan fitnah dan hoax. Kalau mengawal pengesahan undang-undang saja pemerintah berani mengerahkan angkatan perang untuk menggebuk mundur rakyat, bisa kita bayangkan apa jadinya nanti. Hari-hari esok, tampaknya, bukan milik kita.
Baca juga:
- RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI dalam Wajah Baru?
- Perkuat Supremasi Sipil, Tolak Revisi UU TNI!
Lucunya, di tengah pusaran penolakan RUU TNI, satu per satu kelakuan nir-kemanusiaan mereka menyebar, mulai dari tentara pura-pura beli mobil lalu tembak mati salesnya saat uji berkendara hingga tentara pemilik sabung ayam dor kepala tiga polisi waktu digerebek. Momentumnya terlalu pas, seolah-olah penolakan kita diberi afirmasi langsung oleh Yang Mahakuasa.
Tapi toh semua itu hanya remah-remah roti bagi penguasa. Hari ini, tentara dan polisi bahu-membahu mengawal bos mereka. Dan sungguh mengherankan melihat dua instansi yang kerap saling bunuh itu tiba-tiba akur untuk mematikan rakyat… Nyawa kita seperti nyamuk bagi mereka, hanya mengganggu tidur. Tinggal ditepuk lalu mati. Tamat.
Saya lelah membayangkan kita menang… Tahun ke tahun aksi massa terus tergerus. Kita pernah berada di masa ketika satu kawasan Monas penuh orang-orang berbaju putih hanya untuk memenjarakan seorang Kristen yang dituduh menistakan agama semasa kampanye. Sesudah itu, enam laskar FPI dibunuh polisi, Imam Besarnya terjegal kasus, lalu suara kelompok agamis ini pelan-pelan sirna.
Diakui atau tidak, di negeri ini memang lebih mudah mengumpulkan orang saat mendengar ada yang bilang “kita ditipu ayat suci” ketimbang saat melihat darah tumpah dan jiwa-jiwa tak bersalah mati. Sama halnya orang-orang lebih takut makan babi dibanding korupsi.
Saya pernah agak berharap waktu penahanan rumah Habib Rizieq rampung, lalu dia menyatakan perang dan bilang akan mengejar pelaku pembunuhan laskar FPI. Saya tunggu hingga hari ini, tak ada aksi signifikan yang saya saksikan dari Petamburan selain jingle “Ganyang-Ganyang Fufufafa”.
Okelah kelompok agamis militan tampaknya sudah tak bisa diharapkan lagi (apalagi ormas keagamaan moderat yang asyik berlindung di bawah ketek penguasa), tetapi untungnya masih ada gerakan mahasiswa yang meramaikan demo-demo besar sesudah 212 dan 411. Meskipun berkali-kali juga tetap kalah.
Masalahnya dari mengandalkan gerakan mahasiswa ini adalah mereka punya pentolan-pentolan seperti ketua-ketua BEM. Figur ini bisa dengan mudah dipolitisasi karena tinggal pegang kepalanya, nanti yang bawah akan mengikuti. Walhasil, meskipun gerakan mahasiswa bisa jadi punya massa paling besar, tetapi sangat mudah digembosi. Ini terbukti dari menurunnya jumlah massa aksi #IndonesiaGelap Februari silam. Bagaimana saya tahu? Karena kebetulan saya ikut turun dalam beberapa episode demo belakangan, dari demo Tolak Omnibus Law hingga #IndonesiaDarurat.
Sebagai saksi di lapangan, saya bisa mengatakan bahwa demo #IndonesiaDarurat lebih kecil massanya ketimbang Tolak Omnibus Law, meskipun jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Dan bila dibandingkan keduanya, massa aksi #IndonesiaGelap tampak seperti jamaah taraweh di 10 hari terakhir: SEPI. Ya, sesepi itu. Dalam foto-foto yang beredar mungkin tampak berjumlah besar, tapi menurut perhitungan kasar saya hanya berkisar ratusan orang.
Waktu itu, saya sudah memantau pergerakan aksi sejak malam. Dari informasi yang beredar, titik aksi di Jakarta keesokan hari akan dibagi ke dua lokasi: Bundaran Patung Kuda dan depan Istana. Saya izin ke istri bakal pulang malam untuk meliput aksi. Sehabis Jumatan saya naik LRT, turun di Dukuh Atas, lalu pesan Gojek ke arah Istana. Saya dibawa memutar melewati Patung Kuda, terlihat sejumlah massa aksi sudah ramai berkumpul di sana, dan motor yang membawa saya terus melaju ke Istana.
Sesampainya di titik lokasi, saya tak menemukan siapa-siapa. Itu tempat yang biasanya dipakai Aksi Kamisan. Banyak polisi berjaga, tapi tak menjaga siapa pun. Saya ke toilet dalam kawasan Monas. Keluar dari sana, seorang perempuan berbusana hitam-hitam memanggil saya, “Mas, Mas, mau ikut aksi ya?” Saya mengiyakan. Ia bernasib sama. Celingak-celinguk kebingungan mencari teman. Akhirnya saya mengajaknya berjalan kaki ke Patung Kuda. Di sepanjang taman kami melewati sederetan polisi sedang meneduh dan menganggur.
Di Patung Kuda, massa aksi terhenti di bundaran. Pagar beton menghalangi langkah mereka maju lebih jauh. Hanya ada satu mobil komando. Rata-rata berbusana hitam. Setidaknya saya cuman melihat dua kelompok massa aksi yang mengenakan almamater kampus.
Hingga langit gelap, tak ada perkembangan signifikan selain pergantian orator yang sesekali kecolongan dengan orasi rasis. Saya tinggal salat magrib, dan begitu kembali, terjadi sedikit kericuhan di depan barikade pagar beton. Api tampak menyala. Letupan terdengar beberapa kali. Massa mundur teratur ke arah Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah membacakan tuntutan aksi.
Malam itu saya pulang dengan perasaan kalah. Sejujurnya, saya merasa dibanding aksi #IndonesiaDarurat tahun lalu, aksi #IndonesiaGelap kemarin takkan menghasilkan apa pun, setidaknya sangat sulit. Terbukti UU TNI jadi direvisi, padahal itu masuk salah satu fokus tuntutan. Polisi masih bunuh warga sipil lagi. Tunjangan kinerja (tukin) dosen gagal cair.
Baca juga:
Saya ingat, sepulangnya aksi terakhir, saya menelepon seorang teman dan bilang kalau tanpa strategi matang, kita hanya akan bolak-balik kalah. Dan semakin sering kita kalah, semakin semena-mena penguasa. Mereka akan selalu merasa di atas angin. Kalau demo kita tak bisa menghentikan RUU bermasalah, orang-orang keparat itu takkan segan-segan mengulanginya lagi.
Belakangan saya membaca informasi yang beredar kalau sebelum aksi #IndonesiaGelap, para koordinator lapangan (korlap) di kampus-kampus sudah “dikondisikan” biar tidak turun. Hipotesa itu terdengar meyakinkan saat melihat kondisi di lapangan. Maka bisa kita asumsikan bahwa aksi-aksi belakangan, termasuk #TolakRUUTNI merupakan gerakan sporadis yang organik. Masing-masing memimpin dirinya sendiri. Tanpa tokoh. Tanpa figur.
Seberapa pun gerakan sporadis ini tampak baik, saya merasa itu saja belum cukup. Setidaknya ada dua problem yang saya pelajari dari kegagalan-kegagalan aksi kita sebelumnya, yaitu “kekurangan massa” dan “distraksi”.
Suka tidak suka, harus diakui gerakan sporadis belum bisa mengumpulkan massa lebih banyak dari gerakan terorganisir seperti mahasiswa atau ormas keagamaan. Aktivis-aktivis media sosial dengan ribuan, puluhan ribu, hingga ratusan ribu pengikut terbukti belum cukup ampuh mendatangkan para pengikut online-nya turun aksi. Terlepas dari kita berutang banyak kepada mereka atas upayanya membangun kesadaran publik terhadap kebijakan ngawur pemerintah.
Untuk menciptakan aksi yang berdampak, kita masih butuh teman-teman mahasiswa, lebih luas lagi: civitas academica. Sebenarnya, kelas pekerja atau buruh juga punya potensi massa yang sama besar, tetapi masalahnya kebanyakan mereka sudah berkeluarga dan harus berkompromi. Halangan mereka untuk turun ke jalan lebih banyak ketimbang teman-teman mahasiswa. Saya merasakan itu setelah punya anak.
Mengonsolidasikan kekuatan buruh juga lebih sulit daripada mahasiswa, selain karena kesadaran kelas belum sepenuhnya tumbuh, kelompok buruh juga lebih sporadis dan punya orientasi masing-masing. Karena itulah, kita masih butuh bantuan dari civitas academica yang peran vitalnya memang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alasan kedua mengapa aksi kita sering gagal, menurut saya, adalah terlalu banyak distraksi. Sering kali kita menetapkan suatu tujuan, tetapi di tengah jalan kita teralihkan dengan konflik horizontal atau bahkan tergoda mengubah tujuan awal itu sendiri.
Saya ambil contoh kasus #IndonesiaGelap kemarin. Coba tebak berapa banyak tuntutan aksi yang dibacakan di Patung Kuda? Ada 18! Butuh waktu seperempat jam sendiri untuk membacakan seluruh poinnya. Tujuan yang terlalu banyak bukan hanya membuatnya kehilangan daya tawar, tapi juga menghilangkan fokus peserta aksi atau malah memecah belah kita. Bisa jadi lebih banyak yang kita sendiri selisihkan daripada sepakati, meskipun maksudnya sama-sama baik.
Bahkan aksi massa sebesar Reformasi 1998 saja hanya punya 6 tuntutan! Itu dengan jumlah massa yang bisa menduduki Gedung DPR.
Padahal, aksi #IndonesiaGelap kemarin momentumnya pas dengan kecaman publik terhadap impunitas dan kesewenangan polisi gara-gara kasus Sukatani. Saya yakin kita semua berbagi keresahan yang sama dan tidak ada yang berdiri di pihak polisi selain golongan mereka. Kita sudah dapat satu “musuh bersama”, tapi sayangnya tidak dimanfaatkan dengan baik.
Selain itu, poin yang seharusnya ditekankan adalah soal pendidikan, di mana waktu itu berbarengan dengan kegagalan bayar tukin dosen. Taruhlah kesejahteraan dosen sebagai salah satu tuntutan utama, kita bisa berkata bahwa masyarakat berdiri bersama dosen sehingga mereka seharusnya juga mendukung penuh aksi massa. Universitas-universitas bisa dengan bangga mengeluarkan sikap dan membiarkan mahasiswa mereka berdemo menuntut keadilan.
Sebaliknya, ada alasan mengapa aksi #IndonesiaDarurat tahun lalu berhasil. Dan bagi saya, salah satu yang terpenting adalah fokus tuntutan yang tak melebar ke mana-mana. Semua mata tertuju ke keluarga Jokowi. Semua mulut mengecam Mulyono. Membahasakan tuntutan itu ke masyarakat jadi lebih mudah. Semua bisa menelannya dengan baik seperti makan bubur.
Hari ini, saya kira distraksi itu sudah agak terangkat dengan memfokuskan diri ke UU TNI yang baru. Pertanyaannya, bisakah kita mengulang kembali kemenangan #IndonesiaDarurat? Bisakah kita mengajak artis-artis dan pesohor ibu kota ikut turun ke jalan menyertai massa aksi? Bisakah kita membuat orang-orang yang biasanya apatis ikut bersuara?
Saya lelah membayangkan kita menang… Semoga saja kali ini teman-teman mahasiswa dan civitas academica lain bisa kembali menunjukkan taring mereka dan tak hanya bersembunyi di balik kebesaran almamater. Karena kalau lama-lama ini dibiarkan, bukan tidak mungkin tentara kembali masuk ke kampus dan nyawa kita yang jadi taruhannya.
Jakarta, 20 Maret 2025 (*)
Editor: Kukuh Basuki