Tokoh Intelektual kiri, Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI dalam Wajah Baru?

Uray Andre Baharudin

2 min read

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali menuai polemik. Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR pada 11 Maret 2025, dan sejak itu gelombang kritik terus bermunculan. Pasalnya, revisi ini dinilai sebagai langkah mundur bagi reformasi militer yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi 1998. Bukan tanpa alasan, sejumlah pasal dalam RUU ini justru berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dalam kemasan yang lebih modern.

Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap demokrasi dan supremasi sipil, saya merasa revisi ini lebih banyak membawa kemunduran dibandingkan perbaikan. Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai bahwa UU TNI No. 34 Tahun 2004 masih relevan dan belum perlu diubah. Justru yang lebih mendesak adalah revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer agar prajurit yang melakukan tindak pidana umum bisa diadili di pengadilan sipil. Sayangnya, alih-alih memperkuat profesionalisme militer, revisi yang diajukan justru semakin membuka ruang bagi TNI untuk masuk ke dalam ranah sipil.

Kembalinya Militer ke Jabatan Sipil

Salah satu poin paling bermasalah dalam revisi ini adalah perluasan peran TNI dalam jabatan sipil. Dalam draf RUU TNI, personel aktif TNI diperbolehkan menduduki jabatan di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang menegaskan bahwa TNI harus kembali ke barak dan tidak mencampuri urusan sipil.

Baca juga:

Keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung sejak awal sudah menuai kritik. Seharusnya, mekanisme peradilan koneksitas yang melibatkan unsur militer dan sipil cukup bersifat ad hoc, bukan malah dijadikan jabatan permanen. Penempatan perwira aktif di Kejaksaan Agung justru berisiko menciptakan konflik kepentingan dan merusak independensi sistem hukum kita. Jika tujuannya untuk menangani kasus pidana militer yang berkaitan dengan sipil, seharusnya perwira TNI yang bertugas di sana mengundurkan diri terlebih dahulu, sebagaimana ketentuan dalam UU TNI.

Di sisi lain, penempatan prajurit aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan juga tidak masuk akal. KKP adalah lembaga sipil yang memiliki mekanisme sendiri dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Kehadiran militer dalam sektor ini justru menimbulkan pertanyaan: apakah ini bagian dari upaya militerisasi sektor perikanan?

Ironisnya, bukan hanya mempertahankan 10 jabatan sipil yang sudah diatur dalam UU TNI, revisi ini justru memperluasnya. Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah membatasi dan mengurangi keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Ini bukan sekadar soal aturan, tetapi juga prinsip demokrasi. Seperti yang pernah dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State (1957), “Militer yang profesional adalah militer yang fokus pada pertahanan negara dan tidak terlibat dalam politik maupun urusan sipil.”

Operasi Militer di Luar Perang: Militerisme dalam Balutan Baru?

Selain ekspansi ke jabatan sipil, revisi ini juga memperluas cakupan operasi militer selain perang (OMSP). Salah satu yang menjadi sorotan adalah keterlibatan TNI dalam penanganan narkotika. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah penanganan narkotika memang perlu dilakukan dengan pendekatan militer?

Selama ini, pemberantasan narkotika berada dalam ranah hukum dan kesehatan. Jika TNI dilibatkan, pendekatan yang digunakan bisa berubah menjadi pendekatan war model, yang lebih menekankan pada operasi militer dibandingkan penegakan hukum berbasis sistem peradilan pidana. Padahal, pendekatan seperti ini terbukti gagal di banyak negara, seperti Meksiko dan Filipina, yang justru mengalami peningkatan kekerasan akibat kebijakan war on drugs.

Lebih parahnya lagi, dalam draf revisi ini, keterlibatan TNI dalam OMSP tidak lagi memerlukan persetujuan DPR. Artinya, Presiden dapat secara sepihak mengerahkan militer dalam berbagai operasi tanpa mekanisme kontrol dari parlemen. Ini tentu berbahaya karena bisa membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan dan mengurangi akuntabilitas militer di hadapan publik.

Baca juga:

Revisi ini juga berpotensi memperburuk konflik kewenangan dengan aparat penegak hukum lainnya. Polisi adalah institusi yang bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri, termasuk pemberantasan narkotika. Jika TNI mulai mengambil alih tugas ini, maka akan terjadi tumpang-tindih kewenangan yang berujung pada ketidakjelasan garis komando. Dalam jangka panjang, ini justru bisa memperburuk koordinasi antar lembaga dan melemahkan supremasi sipil.

Langkah Mundur Reformasi Militer

RUU TNI ini bukan hanya soal perubahan aturan, tetapi juga soal arah demokrasi kita ke depan. Dengan adanya pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini, kita seperti kembali ke masa lalu di mana militer tidak hanya bertugas menjaga pertahanan negara, tetapi juga ikut campur dalam pemerintahan dan urusan sipil. Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang telah mengupayakan supremasi sipil atas militer.

Pemerintah seharusnya lebih fokus pada hal yang lebih esensial, seperti modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) tanpa korupsi dan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. Kedua hal ini jauh lebih mendesak dibandingkan memberikan lebih banyak ruang bagi TNI untuk terlibat dalam urusan sipil.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978), “Militer yang memiliki kekuatan politik yang besar akan selalu tergoda untuk menggunakannya, bahkan di luar kepentingan nasional.” Oleh karena itu, revisi UU TNI ini harus dikaji ulang secara kritis, agar tidak menjadi alat untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dalam wajah baru.

Jika kita tidak waspada, kita bukan hanya menghadapi ancaman kembalinya militerisme, tetapi juga mengorbankan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Uray Andre Baharudin
Uray Andre Baharudin Tokoh Intelektual kiri, Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email