Orde yang Tak Pernah Purna
Dengar, tanah ini bergemuruh lagi,
senapan tak lagi meledak di medan perang,
tapi di atas kertas, di bawah tanda tangan,
peluru berubah menjadi pasal dan ayat,
siap menembak hak yang dulu diperjuangkan.
Lihatlah, sejarah seperti pita kaset kusut,
diputar ulang dengan lagu yang sama,
kita menari dalam nada Orde yang Baru-Lagi,
saat tangan besi kembali menggenggam negara.
Dua fungsi, dua wajah, dua seragam,
hari ini berteriak “demokrasi!”,
besok pagi berkidung “patriotisme!”
tapi siapa yang berani bertanya: untuk siapa?
Rakyat belajar menunduk,
seperti rumput di hadapan badai,
sedang angin bertiup dari arah yang sama,
dari barak menuju Senayan.
Maka, silakan duduk,
tuan-tuan berseragam di meja rakyat,
hidangkan aturan dengan bumbu kuasa,
dan kami, lagi-lagi,
dihidangkan sebagai lauknya.
–
Epos Kepahlawanan Palsu
Ia datang, berdiri di atas mimbar,
mengangkat tangan seolah dewa penolong,
“Rakyatku, aku bersama kalian!”
Padahal, tangannya yang menyalakan api.
Harga melonjak, tanah dirampas,
suara-suara serak di jalanan,
namun ia tetap duduk tenang,
menunggu babak baru dimulai.
Saat amarah membuncah,
ia berlagak mendengar,
mata berkaca-kaca, suara bergetar,
“Kami akan mengevaluasi.”
Lalu, keputusan dibatalkan,
sebuah kepalsuan disulap menjadi kemenangan.
Ia tersenyum, dielu-elukan,
seakan penyembuh, padahal penyebab luka.
Begitulah caranya menjadi pahlawan,
membakar rumah, lalu memadamkannya,
menyiksa rakyat, lalu membebaskannya,
menjadi ancaman, lalu penyelamat.
Kini, kita masih berdiri di tepian sejarah,
menonton kisah yang sama,
dengan wajah berbeda.
–
Merah yang Haus, Putih yang Terkubur
Bendera itu masih berkibar,
tapi kini tak lagi utuh.
Merahnya semakin rakus,
menyerap darah dari tanah yang menangis,
melahap luka tanpa ampun.
Putihnya? Sudah lama hilang.
Tak tersisa di halaman hukum,
tak ditemukan di ruang-ruang sidang,
tak lagi berbisik di lidah mereka yang berjanji.
Merah menjelma api,
membakar nurani hingga abu,
menerkam suara-suara yang tak tunduk,
memaksa tunduk di bawah kaki para tuan.
Putih tenggelam tanpa pusara,
ditindih berlembar-lembar kebohongan,
dijual murah di pasar politik,
dicuci bersih dari ingatan rakyat.
Bendera itu masih berkibar,
tapi kini hanya peringatan,
bahwa negeri ini tak lagi mengenal suci,
hanya kerakusan yang berkuasa.
–
Sejarah Hanya Berganti Wajah
Langit tak lagi berwarna biru,
melainkan kain kusam yang dijahit dari sisa-sisa janji.
Angin membawa bisik-bisik dari masa lalu,
berbunyi seperti derap sepatu lars yang tak pernah benar-benar pergi.
Lihatlah, kursi-kursi di dalam gedung itu,
masih hangat oleh duduk mereka yang dulu,
dulu menatap dari balik moncong senapan,
kini berbicara dengan tinta dan tanda tangan.
Buku undang-undang mereka sulap jadi selimut,
menutupi tubuh demokrasi yang mulai menggigil.
Seorang ibu menggenggam tangan anaknya,
seperti menggenggam ketakutan yang tak pernah mati.
Ia ingat malam-malam ketika suara-suara lenyap,
ditembus bayangan yang tak pernah mencatat namanya sendiri.
Sekarang, bayangan itu kembali berdiri di persimpangan jalan,
bukan dengan todongan,
tapi dengan pasal-pasal yang siap menebas kepala siapa pun yang menunduk.
Dunia terus berputar, tapi porosnya sama,
yang berubah hanya seragam dan caranya berbicara.
Dulu mereka datang dengan tank,
kini mereka mengetuk pintu dengan senyum berlapis ancaman.
Dulu mereka menyeret manusia ke dalam senyap,
kini mereka menulis ulang arti kebebasan.
Dan rakyat?
Ah, rakyat sudah pandai membaca teka-teki sejarah.
Mereka tahu, tirani tak pernah mati,
hanya berganti nama, berganti warna,
dan selalu, selalu, menemukan cara untuk kembali.
–
Bara di Depan Istana
Mereka berdiri, seakan bumi mendengarkan,
di depan gedung yang bercakap hanya dengan angka,
memanggil suara-suara yang tenggelam dalam senyap,
berteriak seperti suara-suara yang tak pernah diundang.
Dari mulut yang masih muda,
terpancar semangat yang tak bisa dibungkam,
sebuah pertanyaan yang teruntai dari bibir mereka:
“Untuk siapa negara ini berdiri?”
Di bawah langkah kaki yang berdebum,
sejarah menulis ulang dirinya,
tapi mereka, anak-anak jalanan,
tidak lagi ingin hanya menjadi kaki tangan.
Palu diketuk di belakang pintu besar,
bukan untuk mengubah dunia,
tapi untuk menyadarkan mereka yang lupa—
bahwa kekuasaan itu bukan milik para penguasa,
tapi milik mereka yang berani menuntut.
Dan meskipun polisi datang dengan peluru,
mereka tetap berdiri, teguh,
seperti bara yang tak mati meski dibasuh air.
Mereka tahu,
demokrasi bukanlah hadiah,
tapi perjuangan yang tak pernah selesai.
Di atas jalanan itu, mereka berteriak,
bukan hanya untuk hari ini,
tapi untuk masa depan yang akan terus menggali
tulang-tulang kebebasan yang seharusnya tidak terkubur.
*****
Editor: Moch Aldy MA