Dalam dunia seni, kritik sosial bukanlah hal baru. Musik, film, dan sastra sering menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan kegelisahan mereka. Salah satu contohnya adalah lagu Bayar Bayar Bayar dari band post-punk asal Purbalingga, Sukatani, yang dirilis dalam album Gelap Gempita pada tahun 2023 yang lalu. Lagu ini dengan lugas mengkritik praktik korupsi di kalangan oknum kepolisian, menggambarkan bagaimana masyarakat sering kali merasa dipaksa untuk membayar demi mendapatkan layanan atau menghindari sanksi.
Namun, yang mengejutkan adalah bagaimana lagu ini berakhir. Pada 20 Februari 2025, Sukatani mengumumkan penarikan lagu tersebut dari semua platform streaming dan menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri serta institusi Polri. Keputusan ini tentu saja mengundang berbagai reaksi. Mengapa sebuah kritik melalui musik harus sampai ditarik? Apakah kritik sudah tidak boleh lagi disuarakan? Atau justru reaksi polisi terhadap lagu ini menjadi bukti dari apa yang dikritik dalam liriknya?
Musik sebagai Kritik dan Cermin Realitas
Musik bukan sekadar hiburan; ia juga merupakan cerminan dari realitas sosial. Dalam sejarahnya, banyak lagu yang diciptakan untuk menyoroti ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat. Bob Marley, Iwan Fals, hingga Efek Rumah Kaca adalah contoh musisi yang kerap menggunakan lagu sebagai alat kritik. Lagu Bayar Bayar Bayar bukanlah sekadar lirik tanpa makna, melainkan sebuah refleksi atas keresahan publik terhadap maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum aparat.
Baca juga:
Reaksi berlebihan terhadap lagu ini justru memperkuat kesan bahwa kritik yang disampaikan relevan. Jika memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mengapa harus merasa tersindir? Seperti yang dikatakan filsuf Voltaire, “Jika Anda ingin mengetahui siapa yang berkuasa atas Anda, lihatlah siapa yang tidak dapat Anda kritik”. Kritik seharusnya diterima sebagai bentuk evaluasi, bukan dianggap sebagai ancaman.
Fenomena “Kepanasan” dan Sensitivitas Berlebihan
Kasus ini bukan pertama kalinya kritik terhadap institusi negara berujung pada tekanan. Kita sering melihat bagaimana kritik dalam bentuk seni atau opini kerap mendapatkan respons berlebihan. Padahal, di negara demokrasi, kritik adalah bagian dari mekanisme kontrol sosial. Reaksi yang berlebihan terhadap kritik malah bisa menjadi bumerang. Masyarakat bisa semakin mempertanyakan integritas institusi yang terlalu defensif ketika disorot.
Menariknya, respons polisi terhadap lagu ini justru seperti membuktikan isi liriknya. Ada kesan bahwa bukan hanya lagu yang ditarik, tetapi juga kebebasan berekspresi. Bukankah ini menjadi ironi? Jika memang tidak ada yang salah, mengapa harus buru-buru meredam suara kritik? Bukannya lebih baik jika institusi terkait justru membuktikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar melalui tindakan nyata, bukan dengan membungkam kritik?
Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa lagu ini dapat mencoreng nama baik institusi. Namun, kritik tidak selalu berarti serangan. Justru, kritik yang muncul dari masyarakat bisa menjadi bahan refleksi bagi institusi agar lebih baik. Seorang sosiolog, Pierre Bourdieu, pernah mengatakan bahwa “kepercayaan terhadap institusi tidak dibangun melalui pembungkaman kritik, melainkan dengan memperbaiki masalah yang ada“. Dengan kata lain, ketimbang berusaha membungkam kritik, lebih baik fokus pada perbaikan sistem yang menjadi sorotan.
Baca juga:
Apa yang terjadi pada lagu Bayar Bayar Bayar adalah cerminan dari betapa sulitnya mengutarakan kritik di negeri ini. Alih-alih merespons kritik dengan introspeksi, justru muncul tekanan yang membuat suara itu dipadamkan. Padahal, kritik bukan musuh. Kritik adalah alarm sosial yang, jika direspons dengan bijak, bisa menjadi titik awal perubahan.
Meskipun lagu ini telah ditarik, pesannya tidak akan hilang begitu saja. Justru, peristiwa ini semakin memperjelas realitas yang sedang terjadi. Jika sebuah lagu saja bisa membuat institusi begitu defensif, lalu bagaimana dengan kritik yang lebih besar? Apakah semua harus bungkam? Ataukah ini saatnya bagi kita untuk lebih kritis terhadap kebebasan berekspresi yang kian terancam?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita renungkan bersama. Sebab, pada akhirnya, kebebasan berpendapat bukan sekadar hak individu, tetapi juga fondasi dari demokrasi yang sehat. (*)
Editor: Kukuh Basuki