Atmosfer Panas Menyambut Datangnya Pilkada

A. Batara Gemilang

3 min read

Bagi masyarakat Indonesia, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi penentu baik tidaknya hubungan sosial. Bagaimana tidak? Hubungan antarwarga seringkali memanas menjelang hari pencoblosan. 

Panasnya hubungan antar warga menjelang Pilkada bukan lagi fenomena yang jarang terjadi. Ada banyak konflik yang terjadi menjelang Pilkada, terutama Pilkada 2024. Belum lama ini, di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, warga bahkan memindahkan rumahnya lantaran berbeda pilihan calon bupati. Para warga di daerah tersebut beramai-ramai menggotong dua rumah untuk dipindahkan lantaran diusir oleh pemilik lahan. Kejadian ini bermula karena pemilik lahan dan pemilik rumah beda pilihan calon bupati.

Kasus serupa juga dialami kepala desa di Boyolali, Jawa Tengah (29/8/2024). Sukimin menjadi korban penganiayaan oleh warganya sendiri bernama Eko Supriyanto yang tidak terima dengan pilihan calon bupati sang kepala desa. Insiden naas yang dialami oleh Sukimin membuatnya dilarikan ke rumah sakit setelah mendapatkan luka parah di pelipis sebelah kirinya. 

Tak hanya kedua kasus tersebut, menjelang debat kedua Pilgub Sulawesi Selatan, terjadi bentrokan antar pendukung paslon di luar arena debat. Bentrokan ini terjadi di Jl. AP Pettarani, Makassar pada Minggu (10/11/2024) di mana kedua massa saling melempar batu sehingga arus lalu lintas dialihkan. Insiden tersebut melibatkan massa pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 1 yakni Danny Pomanto-Azhar Arsyad (DIA) dan nomor urut 2, Andi Sudirman-Fatmawati Rusdi (Andalan Hati). 

Pertanyaannya, mengapa perbedaan dukungan sering kali membawa polarisasi dan berujung konflik? 

Baca juga:

Meskipun banyak imbauan dari pemangku kepentingan untuk menjaga atmosfer Pilkada, kejadian-kejadian destruktif tersebut tidak dapat dihindarkan. Padahal, hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 182A yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 24 juta dan dan paling banyak Rp 72 juta”. Namun, layaknya air di daun talas, peraturan tersebut sia-sia belaka mengingat banyaknya insiden yang terjadi pra-Pilkada.

Kelahiran Pilkada Langsung

Pilkada  langsung (sebelumnya disebut Pemilukada) pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2005. Sebelumnya, antara tahun 1966 hingga 1974, Presiden Soeharto secara langsung menunjuk para gubernur dan mengontrol pemilihan walikota serta bupati. Dari tahun 1974 hingga lengsernya Soeharto pada 1998, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten/kota melakukan pemungutan suara untuk memilih kepala daerah, namun hal ini hanya bersifat formal karena pada kenyataannya, mereka hanya berfungsi sebagai rubberstamp (stempel karet) pilihan Soeharto.

DPRD dapat mengajukan tiga hingga lima nama calon kepada Menteri Dalam Negeri, kemudian dua nama akan dikembalikan ke DPRD untuk dipilih, pastinya dengan pilihan Soeharto. Pada periode 1999 hingga 2004, partai-partai di DPRD dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, dan setiap anggota DPRD memiliki satu suara. Pemerintah pusat berperan dalam penyaringan calon gubernur, namun tidak ikut campur dalam pemilu tingkat kabupaten/kota.

Perubahan signifikan terjadi dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Undang-undang ini memperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin daerah mereka melalui Pilkada yang lebih demokratis.

Pada tahun 2005, Pilkada pertama kali dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menandai awal dari era baru politik Indonesia di mana rakyat berperan aktif dalam menentukan kepala daerah.

Perbedaan dan Terbukanya Ruang Konflik 

Ada harga yang harus dibayar demi melahirkan pemimpin dari rahim negara yang demokratis. Namun, pernahkah kita bertanya, mengapa pilkada rentan terhadap kekerasan dan perpecahan? Atau lebih jauh lagi, mengapa perbedaan menyebabkan polarisasi hingga berujung kepada konflik dan kerusuhan? Padahal hadirnya Pilkada adalah untuk menjamin terpilihnya pemimpin yang sesuai diinginkan oleh masyarakat di daerah tersebut, yang kelak akan mendengarkan aspirasi sekaligus membuat kebijakan yang notabenenya untuk kebaikan rakyat.  

Ironisnya, alih-alih menjadi arena mencari pemimpin yang ideal, Pilkada seringkali menjadi ‘ring tinju’ pemicu brutalitas di tubuh masyarakat. Fanatisme, polarisasi, hingga kepentingan politik praktis menumpulkan tujuan demokrasi itu sendiri, menjadikan Pilkada bukan sekadar proses pemilihan, tetapi ajang pertaruhan kekuasaan yang membahayakan persatuan masyarakat.

Baca juga:

Timbulnya konflik antar masyarakat menjelang Pilkada tidak lahir dari ruang hampa. Dalam banyak kasus, ketegangan ini dipicu oleh pola interaksi sosial yang didorong oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang saling bersaing. Setiap kelompok maupun individu cenderung merasa bahwa pilihan politik mereka adalah ‘paling tepat’ untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan hidup kelompok tersebut.

Dalam psikologi sosial, ingroup-outgroup bias yang dipopulerkan oleh Henri Tajfel menunjukkan bahwa ketika identitas kelompok melekat kuat pada individu (fanatik terhadap pilihan calon), mereka cenderung memperlakukan kelompok lain sebagai ancaman. Ini menjadi salah satu penyebab warga menjadi fanatik dalam mendukung calonnya, bahkan rela melakukan kekerasan terhadap sesama demi memperjuangkan simbol kelompok mereka. Semakin tinggi polarisasi, semakin kuat bias ini muncul, sehingga hubungan antar warga mudah pecah hanya karena perbedaan pilihan politik.

Adanya perbedaan kepentingan setiap kelompok membuat jurang polarisasi semakin tajam; terbentuklah kubu-kubu yang mendukung paslon tertentu. Mereka mulai mengampanyekan pilihan calonnya dengan narasi-narasi positif, menggunakan pakaian tertentu sebagai simbol pendukung, memasang spanduk di mana-mana. Implikasinya, ruang konflik antar kelompok terbuka lebar. Kampanye-kampanye tersebut juga cenderung menggunakan narasi provokatif yang memicu ketegangan, bahkan memicu bentrok fisik antar kelompok maupun individu. Lalu solusinya apa?

Mau sampai kapan Pilkada kita ‘Sesak’?

Sejatinya, Indonesia adalah milik kita. Bukankah mustahil bercerai-berai di tanah yang kita miliki sendiri? Maka yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan rasa memiliki di setiap jiwa kita. Inilah yang disebut dengan patriotisme. 

Selain itu, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi, rasa hormat terhadap perbedaan pendapat, dan nilai-nilai demokrasi juga penting untuk mengurangi ketegangan dan konflik. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui berbagai saluran, seperti media massa, media sosial, sekolah, dan forum diskusi yang melibatkan berbagai kalangan.

Di samping itu, pengawasan yang ketat dari pihak berwenang, baik polisi maupun lembaga terkait lainnya, dapat meminimalisir insiden kekerasan. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan politik harus dilakukan tanpa pandang bulu. Dengan begitu, masyarakat akan lebih takut untuk melakukan tindakan kekerasan karena mengetahui adanya sanksi yang jelas dan berat. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

A. Batara Gemilang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email