Pilkada adalah momen yang selalu dinanti, bukan hanya karena menjadi ajang memilih pemimpin daerah, tetapi juga karena atmosfernya yang penuh warna dan hiruk-pikuk yang khas. Mulai dari baliho besar yang ‘menghiasi’ jalanan hingga konser gratis dan “amplop misterius”, Pilkada telah membangun kebiasaan unik, tradisi ini tidak hanya memeriahkan suasana, tetapi juga memunculkan berbagai ironi yang menjadi bahan obrolan masyarakat.
Baliho: Panggung Awal yang Menentukan
Baliho menjadi tanda pertama bahwa Pilkada telah dimulai. Sebelum janji-janji program kerja diumumkan, wajah para kandidat sudah terlebih dulu menyapa masyarakat melalui baliho besar di berbagai sudut jalan. Dengan slogan bombastis seperti “Bersama Menuju Perubahan” atau singkatan nama yang dibuat sekreatif mungkin, baliho mencoba mencuri perhatian. Namun, apakah pesan itu benar-benar sampai ke hati masyarakat? Itu soal lain.
Sayangnya, baliho hanya menimbulkan masalah daripada manfaat. Dari segi estetika, pemasangan baliho kerap mengorbankan pohon-pohon yang dipaku dan taman kota yang dirusak. Bahkan, di beberapa daerah, pemasangan baliho menjadi ajang konflik antar pendukung kandidat yang berebut lokasi strategis. Ironisnya, desain baliho lebih fokus pada foto dengan senyum maksimal ketimbang substansi yang ingin disampaikan.
Tak hanya itu, ada pula ancaman keselamatan. Ketika hujan deras disertai angin kencang, baliho raksasa ini sering kali tumbang, mengancam pengguna jalan. Di kota-kota besar, solusi sebenarnya sudah ada: baliho digital. Dengan layar LED, pesan kampanye bisa disampaikan tanpa merusak lingkungan atau tatanan kota. Sayangnya, penggunaan baliho konvensional masih menjadi pilihan utama, bukan karena efisiensi, tetapi karena tradisi dan biaya yang lebih murah.
Konser Gratis: Hiburan di Tengah Hiruk-Pikuk Politik
Siapa yang tidak suka konser gratis? Saat Pilkada berlangsung, panggung-panggung besar mendadak berdiri di lapangan kota, menghadirkan artis lokal hingga nasional untuk menghibur masyarakat. Musik dangdut menjadi menu wajib, dengan irama yang mampu membuat siapa saja bergoyang, dari ibu-ibu pengajian hingga remaja tanggung.
Baca juga:
Namun, di balik suasana meriah, konser ini tak luput dari berbagai dinamika yang kurang menyenangkan. Pertama, konser acap kali dimanfaatkan sebagai alat kampanye. Di sela-sela lagu, pembawa acara menyelipkan pesan, “Jangan lupa, pilih nomor sekian, ya!” Sementara itu, kandidat muncul dengan senyum lebar, melambaikan tangan kepada warga. Sayangnya, penonton lebih menantikan lagu berikutnya daripada pidato mereka.
Baca juga:
Masalahnya tidak berhenti di situ. Konser gratis kerap memicu kericuhan karena adanya provokator penyusup dari lawan politik. Insiden saling lempar botol plastik atau nyanyian ejekan terhadap kandidat tertentu bukan lagi pemandangan langka. Ditambah lagi, konser menjadi ajang sawer-menyawer di mana penonton berebut uang yang dilempar ke udara oleh tim kampanye.
Tak hanya itu, keramaian ini juga membuka celah bagi tindak kejahatan seperti pencurian dan pelecehan. Kasus copet yang berkeliaran di tengah kerumunan atau insiden tidak pantas yang terjadi di sekitar panggung menjadi ancaman nyata. Alih-alih menjadi hiburan yang mendekatkan kandidat dengan rakyat, konser seperti ini justru akan menciptakan konflik baru.
Amplop Misterius: Tradisi yang Tak Pernah Padam
Amplop misterius adalah tradisi Pilkada yang tak lekang oleh waktu, meski secara hukum sudah jelas melanggar aturan. Dibagikan secara diam-diam, amplop ini biasanya berisi uang pecahan kecil, brosur, atau stiker kandidat dengan pesan tak tertulis: “Ingat nama ini saat di TPS nanti.” Namun, kisah di balik amplop ini lebih seru daripada kampanye itu sendiri.
Dalam praktiknya, amplop ini kerap menimbulkan drama internal. Kandidat sudah memutuskan untuk membagikan Rp150 ribu per kepala, tapi di tangan tim sukses yang kurang bertanggung jawab, jumlahnya bisa menyusut menjadi Rp50 ribu saja.
Lebih parah lagi, ada yang membagikannya hanya kepada keluarga sendiri atau bahkan tidak dibagikan sama sekali. Ironisnya, kandidat yang sudah habis-habisan mengeluarkan dana ini terkejut ketika hasil Pilkada tidak berpihak kepada mereka. Akibatnya, tak sedikit yang akhirnya harus di rujuk ke rumah sakit jiwa akibat stres karena tak terpilih.
Dan cerita ini belum selesai. Di negara konoha, tepat H-1 pemilihan, ada fenomena yang lebih absurd. Aparat yang seharusnya mengawal Pilkada dari praktik politik uang justru terlihat ikut mengawasi oknum pembagi amplop dengan cara yang ambigu kadang malah terlihat seperti melindungi mereka. Tak heran, suasana Desa mendadak penuh ketegangan, bukan hanya karena kompetisi kandidat, tapi juga karena amplop yang berpindah tangan dengan kecepatan tinggi.
Masyarakat juga punya caranya sendiri dalam merespon fenomena ini. Ada yang dengan lihai mengambil amplop dari kandidat 1 dan 2, tapi akhirnya memilih untuk golput di bilik suara. Ada juga kandidat yang tidak bisa menerima kekalahan dan meminta kembali semua uang yang sudah dibagikan. Bahkan, cerita ekstrem seperti memecahkan aliran pipa air bantuan yang mereka salurkan menjadi kenyataan pahit yang pernah terjadi.
Pada akhirnya, Pilkada adalah potret demokrasi kita. Tradisi-tradisi ini, meski penuh ironi, adalah bagian dari perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih matang. Harapannya, Pilkada tidak hanya menjadi ajang kompetisi kandidat, tetapi juga momen mencerdaskan masyarakat untuk memilih berdasarkan visi dan misi, bukan sekadar amplop atau hiburan gratis. (*)
Editor: Kukuh Basuki