menungso tanpo tenger

Membeli Suara, Membeli Martabat Bangsa

Alvin Nur Muhammad Azyz

3 min read

Kemerdekaan dan demokrasi adalah warisan berharga yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Melalui pemilu, kita diberi hak untuk memilih pemimpin dan menentukan arah perjalanan negeri ini. Namun, di balik hiruk-pikuk pesta demokrasi, tersimpan ancaman yang menggerogoti sendi-sendi moral bangsa: politik uang.

Prof. Burhanuddin Muhtadi, Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam pidato pengukuhannya “Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi”, memaparkan fakta yang mencengangkan. Survei yang beliau lakukan menunjukkan bahwa sebanyak 33,1% pemilih di Indonesia telah terpapar praktik jual beli suara pada Pemilu 2014. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia yang memiliki hak pilih pernah terpapar politik uang. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dalam hal prevalensi jual beli suara mengalahkan banyak negara di Amerika Latin dan Afrika. Ia juga menjelaskan bahwa politik uang bukan hanya dilakukan oleh partai-partai politik, tetapi juga oleh individu-individu yang berusaha untuk memenangkan pemilu. Menurut data yang dikumpulkan oleh Muhtadi, sebanyak 62% caleg di Indonesia telah melakukan praktik jual beli suara pada Pemilu 2014. Data ini menunjukkan bahwa praktik jual beli suara telah menjadi semakin masif dan sistematis di Indonesia.

Tak hanya itu, politik uang juga semakin vulgar dan brutal. Istilah-istilah plesetan seperti “NPWP” (Nomer piro, wani piro) dan “Golput” (Golongan penerima uang tunai) menjadi bukti nyata bagaimana praktik ini dianggap lumrah di mata sebagian masyarakat. Pemilu seakan menjadi “musim panen” bagi pemilih yang pragmatis, sementara caleg berlomba-lomba menebar amplop demi mengamankan suara. Praktik haram ini bukan hanya mencederai nilai-nilai luhur demokrasi, tapi juga merendahkan martabat bangsa.

Bayangkan, puluhan juta rakyat Indonesia terbiasa “menjual” hak suaranya demi amplop berisi uang tunai atau sembako. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program, bergeser menjadi arena transaksi pragmatis. Pemilih tak lagi menilai calon pemimpin berdasarkan kapabilitas dan integritas, melainkan seberapa besar “harga” yang ditawarkan.

Akar permasalahan ini kompleks. Melemahnya ideologi dan platform partai politik, sistem pemilu proporsional terbuka yang mendorong persaingan internal yang ketat, hingga rendahnya kesadaran politik masyarakat menciptakan lahan subur bagi praktik politik uang.

Pemilih Loyal vs Mengambang 

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Prof. Muhtadi, sebanyak 85% pemilih di Indonesia tidak memiliki afiliasi partai yang kuat. Hal ini membuat pemilih lebih mudah untuk diarahkan oleh politisi yang melakukan praktik jual beli suara. Namun, Muhtadi juga menjelaskan bahwa kelompok partisan yang kuat tidak menutup kemungkinan juga dapat menjadi target bagi politisi yang melakukan praktik jual beli suara.

Dari data tersebut juga menunjukkan sebanyak 60% swing voter di Indonesia telah terpapar praktik jual beli suara pada Pemilu 2014. Angka ini meningkat menjadi 70% pada Pemilu 2019. Swing voter telah menjadi target yang efektif bagi politisi yang melakukan praktik jual beli suara.

Baca juga:

Salah satu pertanyaan besar dalam studi politik uang adalah siapa yang menjadi sasaran empuk praktik haram ini? Apakah caleg lebih suka menebar uang kepada pemilih loyal yang sudah pasti memilih mereka, ataukah mereka lebih memilih “memburu” pemilih mengambang (swing voter) yang belum menentukan pilihan?

Temuan Prof. Muhtadi menunjukkan bahwa di Indonesia, kedua teori ini tidak sepenuhnya tepat. Meskipun secara persentase, pemilih loyal memang lebih banyak menerima politik uang, jumlah pemilih mengambang yang terpapar praktik ini secara absolut jauh lebih besar. Hal ini terjadi karena “strategi loyalis personal”, di mana caleg dan timsesnya fokus menyasar jaringan personal berdasarkan kekerabatan, agama, etnis, dan relasi patronase, yang kerap disalahartikan sebagai indikasi loyalitas partai.

Faktor Sistemik 

Normalisasi politik uang dan rapuhnya moral politik menjadi faktor utama mengapa praktik ini sulit diberantas. Banyak caleg yang berdalih bahwa mereka “terpaksa” melakukan politik uang karena lawan politik juga melakukannya. Mereka terjebak dalam “dilema tahanan”, di mana caleg yang menolak membeli suara justru berisiko besar untuk kalah. Ketidakpastian hasil pemilu, persaingan ketat di internal partai, dan tekanan psikologis menjelang hari pencoblosan semakin memperkuat dorongan untuk menebar uang berapapun harganya.

Sistem pemilu dan kelembagaan partai politik di Indonesia juga turut andil menyuburkan politik uang. Sistem proporsional terbuka yang diadopsi sejak 2009 menciptakan persaingan zero-sum di internal partai. Caleg berlomba-lomba mencari suara pribadi dan mengabaikan visi partai. Akibatnya, politik uang menjadi senjata andalan untuk mengalahkan rival separtai. Terlebih ketika selisih suara untuk memenangkan kursi sangat tipis.

Di sisi lain, partai politik di Indonesia juga didera masalah internal. Partai politik gagal melakukan pendidikan politik yang memadai, sehingga pemilih sulit membedakan partai berdasarkan ideologi dan program. Akibatnya, identitas kepartaian (party ID) semakin melemah. Pemilih menjadi pragmatis dan mudah tergoda iming-iming materi, sementara caleg memanfaatkan situasi ini demi ambisi pribadi.

Jerat Dilema “Membeli Suara = Membeli Martabat”

Profesor Muhtadi mengungkap fenomena menarik yang disebut “dilema tahanan” dalam konteks politik uang. Para caleg menyadari bahwa praktik ini tidak efisien dan tak menjamin kemenangan. Namun, ketika melihat lawan melakukan hal yang sama, mereka merasa tertekan untuk ikut bermain. Menjelang hari pencoblosan, kecemasan dan ketidakpastian semakin memuncak, mendorong para caleg terjebak dalam lingkaran setan politik uang.

Ironisnya praktik ini tak hanya merugikan caleg yang terjebak dalam dilema, tapi juga merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Caleg yang terpilih melalui politik uang cenderung fokus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, alih-alih mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, korupsi merajalela, pembangunan tersendat, dan kesejahteraan masyarakat terabaikan.

Menuju Demokrasi Bermartabat

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, kita harus menyadari bahwa masa depan bangsa ada di tangan kita. Membangun demokrasi yang bermartabat bukan hanya tugas para elite politik, tapi tanggung jawab seluruh anak bangsa.

Pertama, perlu ada penguatan ideologi dan platform partai politik. Partai harus menjadi wadah perjuangan ide dan gagasan, bukan sekadar kendaraan politik pragmatis. Masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang memadai agar mampu menilai partai dan caleg berdasarkan program dan visi misi, bukan semata-mata figur dan iming-iming materi.

Kedua, evaluasi sistem pemilu proporsional terbuka perlu dilakukan secara serius. Sistem ini, meskipun memberikan kebebasan bagi pemilih untuk memilih caleg secara langsung, ternyata memiliki efek samping yang merugikan, salah satunya meningkatkan intensitas politik uang.

Ketiga, penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku politik uang harus ditegakkan. Hukuman yang berat dan efek jera akan membuat para caleg berpikir dua kali sebelum melakukan praktik haram ini.

Keempat, peran media massa dan organisasi masyarakat sipil sangat vital dalam mengawal proses demokrasi. Media harus proaktif memberitakan praktik politik uang dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya jual beli suara. Organisasi masyarakat sipil dapat berperan aktif melakukan pengawasan dan melaporkan pelanggaran yang terjadi.

Kelima, kita perlu membangun budaya politik yang sehat dan bermartabat. Kita harus mengembangkan kesadaran bahwa politik bukan hanya tentang kekuasaan, tapi tentang pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Kita harus menghargai dan menghormati perbedaan pendapat dan pilihan politik, bukan menghakimi atau mengintimidasi orang lain.

Dengan demikian, kita dapat membangun demokrasi yang bermartabat, yang berpihak pada kepentingan rakyat, dan yang memajukan bangsa Indonesia. Kita harus ingat bahwa demokrasi bukan hanya tentang proses pemilu, tapi tentang proses pembangunan bangsa yang berkelanjutan dan berkeadilan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Alvin Nur Muhammad Azyz
Alvin Nur Muhammad Azyz menungso tanpo tenger

2 Replies to “Membeli Suara, Membeli Martabat Bangsa”

  1. ya begitulah politikus di negeri fufufafa ini, berdemokrasi tidak dengan cara bermartabat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email