Professional Google Map Reader

Asal Mula Kebencian

Agus Ghulam Ahmad

3 min read

Saya bukan muslim yang taat. Sesekali waktu saya beribadah sungguh-sungguh dan serasa bisa mati kapan saja. Namun, sering kali saya salat hanya menggugurkan kewajiban. Bila datang hari Jumat, saya enggan-engganan berangkat Jumatan jika belum masuk khutbah kedua. Iman dalam diri saya adalah sesuatu yang bertambah dan berkurang.

Sekali pun begitu, saya tetap merasa tidak nyaman saat ada yang merendahkan keyakinan saya. Dan meskipun saya tidak pernah berjumpa dengan lelaki yang pertama-tama mengajarkan agama ini, Muhammad, saya merasa terluka bila ada yang berbicara buruk tentangnya. Mungkin perasaan yang hampir serupa dengan pencinta klub bola yang mendengar klubnya diejek.

Perihal perasaan yang terluka ini, saya rasa Nabi Muhammad sangat menyadarinya, yang membuat saya yakin bahwa beliau adalah sosok yang begitu sensitif dan peka. Kalau tidak, manalah mungkin beliau mengingatkan para sahabat, “Dilaknatlah seseorang yang mencaci maki orang tuanya.” Namun, bagaimana mungkin seorang anak mencaci orang tuanya sendiri? Begitu kiranya sahabat bertanya-tanya. Nabi Muhammad menjawab, “Dengan mencaci ayah orang lain, maka ia akan balas mencaci.”

Baca juga:

Dalam pemahaman lebih jauh, mencaci Tuhan atau agama lain, sama dengan mencaci apa yang kita percayai. Allah juga menegaskan, “Janganlah kamu memaki sesuatu yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan balik memaki Allah secara berlebihan.” (Al-An’am: 108)

Karena itu, meski saya bukan muslim yang taat, saya tetap memegang prinsip “jangan mengajak ribut lebih dulu”. Jangan menertawakan kepercayaan orang lain, sekali pun ia menyembah layangan putus. Lalu bagaimana jika sebaliknya? Jika agama yang saya peluk dimaki duluan? Bagaimana seandainya Islam dibilang sebagai agama yang bodoh, dan muslim mengikuti seorang nabi yang bodoh, pedofil, dan penuh nafsu?

Bohong kalau saya bilang tidak marah. Saya merasa akan memukuli siapa saja yang bilang begitu. Hati saya terluka, dan seseorang dengan hati terluka hanya punya dua kemungkinan: menjadi bijak atau menjadi pembenci. Dan kenyataannya, memilih yang kedua selalu lebih mudah.

Namun, justru saat marah itulah saya kembali diingatkan oleh sosok yang ingin saya bela. Beliau melarang memutuskan perkara saat marah. Katanya, “Hakim dilarang mengadili antara dua orang saat marah.” Kalau marah ambil wudhu, sebab air bisa memadamkan api yang menyala. Saat marah, tunggu sampai tidak marah. Begitulah saya sadar, saat ingin membela kemuliaannya, saya tidak boleh marah. Saat marah, yang saya bela hanyalah ego saya yang terluka.

Kemarahan seperti halnya kelaparan, sama-sama menutup akal sehat seseorang dan membangunkan hewan liar yang tertidur di jiwanya. Kemarahan yang tak terkendali adalah bibit-bibit kebencian. Dan saya yakin, Nabi Muhammad tak ingin umatnya menghabiskan umur dengan membenci. Bukankah ia diutus sebagai rahmat, kasih sayang?

Kebencian yang Diwariskan

Seiring saya dewasa, saya menyadari kebencian tak hanya bermula dari kemarahan, ada pula kebencian yang diwariskan. Kebencian seperti ini kita tidak tahu alasannya mengapa, kita hanya membenci karena orang-orang mendikte kita untuk itu. Saya misalnya pernah membenci Malaysia tanpa benar-benar tahu mengapa saya harus membencinya. Saya tidak tahu apa sebenarnya salah saudara-saudara serumpun saya itu.

Di kemudian hari saya sadar, saya tak pernah disakiti oleh mereka. Saat kuliah, saya bertemu dengan orang-orang Malaysia, mereka meminjamkan saya catatan kelas, mengundang saya makan di rumah mereka, dan belajar bersama. Ada sebagian orang Malaysia yang menjengkelkan, tapi itu juga berlaku untuk Indonesia. Rasanya waktu yang saya habiskan untuk membenci hanya buang-buang tenaga.

Warisan kebencian ini sudah jadi penyakit akut di seluruh dunia dan banyak orang lebih senang membiarkannya begitu saja. Saya pernah tinggal lama di Malang, dan pendukung klub bola Arema banyak sekali yang benci dengan Bonek (pendukung Persebaya Surabaya). Sebaliknya juga begitu.

Saat ditanya mengapa benci satu sama lain? Aremania bilang karena Bonek itu jancuk. Bonek juga bilang begitu. Saya heran, betapa jancuk—sebuah kata umpatan—bisa jadi sebuah alasan. Ini kan sudah di luar akal sehat. Hal yang sama terjadi pada umat beragama. Muslim digebuki umat Hindu di India, di Rakhine Myanmar, umat Buddha menindas muslim Rohingya. Islamophobia merebak di Eropa.

Baca juga:

Bukan tanpa alasan jika sebagian orang takut dengan Islam. Pada tahun keempat saya kuliah di Maroko (2018), dua perempuan asal Denmark dan Swedia yang sedang berkemah digorok di kaki Gunung Toubkal. Setelah kejadian itu orang dilarang berkemah di sana. Pelakunya muslim. Dan bukan hanya dua perempuan itu yang pernah tewas di tangan muslim.

Di zaman ketika membunuh dengan peluru lebih mudah dan cepat ketimbang pisau, betapa mendengar berita seseorang tewas digorok adalah kebiadaban luar biasa. Namun ada saja yang memakluminya, dengan alasan, toh banyak muslim juga dibantai oleh mereka. Mereka siapa? Pokoknya mereka itulah, kafir.

Saya pernah membaca sebaran di grup Whatsapp alumni pelajar Indonesia di Maroko, ada yang membandingkan pembunuhan Samuel Patty di Prancis dengan penembakan jamaah masjid Christchurch di Selandia Baru. Memaklumi hal-hal seperti inilah yang kemudian berujung kepada pembunuhan tiga jemaat di Gereja Nice pada 2020 silam. Harus saya bilang, kebencian jika diteruskan takkan pernah ada ujungnya.

Betapapun saya mengutuk penghinaan terhadap agama apa pun, saya tetap lebih mengutuk pembunuhan. Islam yang dibilang Macron sebagai agama dalam krisis ini juga mengutuknya. Cukuplah dengan satu ayat ini, “Siapa yang membunuh satu jiwa tak bersalah atau berbuat kerusakan di bumi seakan-akan membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32)

Marah sangat wajar, marah sampai ingin membunuh juga bisa saja terjadi. Namun, ada jarak yang sangat lebar antara ingin membunuh dan benar-benar membunuh. Jarak yang hanya mampu dilewati seorang pembunuh. Kalau sampai membunuh karena marah, itu yang tidak wajar.

Semenjak saya hanya manusia dan bukan tentara, saya tidak dilatih berperang. Setiap nyawa manusia adalah berharga, setidaknya itu yang ingin saya percayai. Meski dunia ini penuh orang busuk, kita hanya perlu bertemu dengan satu orang baik untuk mengubah pandangan kita tentangnya.

 

Editor: Prihandini N

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email