Henri Giroux, seorang ahli teori pendidikan radikal dan penulis buku Teacher As Intellectuals, pernah berkata, “The new illiteracy is about more than not knowing how to read the book or the word; it is about not knowing how to read the world.” Buta huruf yang baru, bukan sekedar tidak mengetahui cara membaca buku atau kata; buta huruf yang baru adalah ketidaktahuan mengenai cara membaca dunia.
Perkataan itu sungguh menggema di telinga, di tengah lantunan orasi dan puisi yang dibaca oleh massa Aksi Kamisan Malang kala itu, saat meminta pertanggungjawaban negara yang telah membunuh 135+ nyawa di Kanjuruhan. Gema kata-kata itu sungguh diiringi rasa ragu terhadap usaha yang mungkin sia-sia karena kami benar-benar tahu jika negara tak akan pernah mau mengaku, apalagi bertanggungjawab atas kesalahannya.
Lalu, bagaimana?
Baca juga:
Entah, tapi kita bisa mencoba belajar dari antropolog David Graeber yang mengorganisir puluhan ribu massa untuk menduduki Wall Street dengan jargon terkenalnya “We Are 99%”. Lalu, kita belajar juga bagaimana Aleksandr Solzhenitsyn melucuti kebengisan Stalin melalui novel legendarisnya Gulag Archipelago. Tidak lupa, tauladan insureksionis Ted Kaczynski, yang berhasil menerbitkan The Unabomber Manifesto di New York Times dan pamflet Industrial Society and Its Future di Washington Post, kedua karyanya yang menginspirasi aksi kontra-hegemoni di seluruh dunia. Di Indonesia, kita bisa simak kisah Filep Karma, sosok yang dijuluki Mahatma Gandhi-nya Papua, mengorganisir dan menginisiasi berbagai protes damai tentang hak asasi manusia Papua.
Apa yang dapat kita pelajari dari mereka semua adalah bukan meminta pertanggungjawaban negara, bukan juga melawan tanpa arah, tetapi bagaimana merebut narasi, mengorganisir aksi, dan membangun pengetahuan bersama melampaui narasi moral dan rasa iba.
Tanggung Jawab Negara Tidak (Akan) Pernah Ada
Impunitas pelanggaran HAM di era Jokowi, tidak tuntasnya masalah penculikan dan pembunuhan dari zaman Habibie sampai SBY, juga kemenangan Prabowo Subianto—suatu kemenangan yang membuat banyak pihak putus asa serta tidak terima—pada pemilihan presiden 2024 adalah rangkaian fenomena yang menampar tegas bahwa yang kita sebut sebagai pertanggungjawaban negara itu tidak ada. Iya, negara bukan tidak mau bertanggung jawab, tetapi memang sejak awal pertanggungjawaban itu tidak (mungkin) pernah ada. Sebab, ada paradoks internal di dalam kedaulatan negara—untuk memahami paradoks ini secara lebih komprehensif, silakan menuju karya Hizkia Yosie Polimpung, Asal-usul Kedaulatan.
Berbagai kekerasan negara pada berbagai rezim seperti peristiwa Malari, pembantaian simpatisan PKI pasca-65 yang menjadi salah satu genosida terbesar setelah perang dunia, penculikan Bima Petrus yang kemudian kisahnya difiksikan menjadi novel Laut Bercerita, pembantaian 135 lebih warga sipil di Kanjuruhan, dan masih banyak yang lainnya telah menjadi bukti empiris adanya kontradiksi internal itu. Di satu sisi, negara berdaulat untuk mewujudkan kesejahteraan. Di sisi lain, negara membunuh warganya sendiri untuk terus eksis dalam sejarah.
Kronik Dark Age dan Kontekstualisasinya di Indonesia
Hampir semua aktivis gerakan sosial pro-demokrasi di Indonesia menganggap bahwa kemenangan paslon Prabowo-Gibran menandai datangnya periode Dark Age karena ada indikasi repetisi Orde Baru dalam rezimnya nanti. Sebagian aktivis lain mengatakan bahwa anggapan itu hiperbolis, sebab konjungtur sosio-politik hari ini masih belum memenuhi prasyarat otoritarianisme ala Orba.
Melanjutkan klaim kedua, bukan sekedar hiperbolis, anggapan bahwa Indonesia memasuki fase Dark Age karena dalam tubuh Prabowo ada gen Orba dan dalam diri Gibran terkandung darah haram konstitusi adalah salah kaprah sejak awal. Namun, wajar saja, kesalahkaprahan ini muncul secara spontan karena upaya-upaya advokasi dan gerakan dalam membuka tabir bengis yang tertutup topeng gemoy Prabowo kepada masyarakat telah gagal.
Bayangkan saja, kerja-kerja herois nan dramatis telah dilakukan, mulai dari terbitnya buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 karya Muhidin M. Dahlan yang melucuti sosok Prabowo sebagai penculik sejati sampai tayangnya film Dirty Vote produksi WatchDoc yang membongkar tuntas kecurangan-kecurangan menjelang Pemilu 2024. Sungguh sayang, kerja-kerja itu tidak membuahkan hasil politis yang signifikan di masyarakat. Keputusasaan para aktivis ini makin tampak dari banyak dikutipnya adagium popular dalam Novel Bumi Manusia karya Pram, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Kesalahkaprahan para aktivis bukan terletak pada predikat “anak haram konstitusi” serta “gen Orde Baru dan penculik sejati” yang disematkan pada Prabowo-Gibran, tetapi pada interpretasi Dark Age itu sendiri. Bukalah buku-buku sejarah populer, cari istilah Dark Age, lalu lihat situasi apa yang kerap diistilahkan demikian. Haqqul yaqin, yang banyak disebut sebagai Dark Age bukanlah suatu periode otoritarianisme politik an sich! Akan tetapi, situasi yang dalam Islam disebut sebagai Jahiliyah dan dalam sejarah Filsafat disebut sebagai Abad Pertengahan.
Sederhananya, Dark Age merupakan sebutan suatu periode waktu ketika nalar itu diremehkan! Seperti misalnya saat pikiran kritis ditundukkan oleh dogma agama di Abad Pertengahan. Dengan demikian, tidaklah hiperbolis ketika kita menyebut masa ketika pernyataan sikap ratusan akademisi di puluhan perguruan tinggi diremehkan sekaligus dituduh sebagai pernyataan partisan salah satu paslon sebagai Dark Age.
Ternyata ada, loh, pendukung paslon yang menangis saat paslon yang didukungnya terdesak ketika berdebat. Di situasi menggelikan lain, Fedi Nuril dikecam oleh khalayak pendukung paslon itu di TikTok. Kronologinya begini, Fedi Nuril adalah artis yang cukup sering mengkritik Prabowo. Lalu, saat kemenangan Prabowo mulai tampak, ia diejek oleh netizen, “Yah, Fedi Nuril habis ini jadi rakyatnya Pak Prabowo”. Lalu, Fedi Nuril menjawab, “Lebih tepatnya Pak Prabowolah yang menjadi pelayan saya.”
Bagaimana reaksi netizen? Iya, mereka merasa sedih dan menganggap bahwa diksi “pelayan” yang disematkan pada Prabowo adalah penghinaan. Hati kecil saya bertanya, bukankah Presiden itu memang pelayan rakyat? Dengan ini, maka sah sudah sebutan Dark Age pada bangsa Indonesia. Bersiaplah kita untuk Indonesia Cemas 2045!
Dalam berbagai kroniknya, Dark Age selalu ditandai oleh penghancuran ritus-ritus pengetahuan dan pengerdilan pengetahuan. Sebut saja, penghancuran Perpustakaan Alexandria oleh Julius Caesar yang menandai runtuhnya peradaban Yunani, lalu penghancuran Perpustakaan Baghdad oleh Bangsa Mongol yang menjadi penanda runtuhnya tradisi keilmuan di Timur Tengah hingga semenanjung Balkan. Lalu, ada pembunuhan Galileo Galilei oleh otoritas Gereja karena temuannya yang bertentangan dengan doktrin Gereja.
Dark Age Indonesia kali ini ditandai oleh penghancuran narasi-narasi akademis dengan video-video pendek di media sosial. Ini menyisakan pertanyaan tentang “apakah kebodohan adalah hak dalam demokrasi?” Ini bukan lagi matinya kepakaran seperti yang dikatakan Tom Nichols dalam The Dead of Expertise, lebih dari itu, ini adalah matinya penalaran.
Dark Age Aktivisme
Aksi Kamisan adalah secercah cahaya. Disiplin 17 tahun yang menyemai militansi, mengingat dan meminta pertanggung jawaban negara atas kekerasan yang dilakukannya. Bu Sumarsih (Ibu Iwan), Bu Suciwati (Istri Munir), dan keluarga korban lain telah menanam benih berupa nilai perjuangan. Benih itu bisa saja tumbuh menjadi tanaman yang indah, bisa juga layu, bahkan mati seiring zaman. Dibutuhkan air dan pupuk untuk menyemainya.
Apakah berdiri di depan Istana setiap Kamis, dilakukan secara simbolik di puluhan kota di seluruh Indonesia, sudah cukup untuk menerangi Dark Age Indonesia yang kegelapannya sangat pekat? Apakah Aksi Kamisan sudah cukup untuk menjadi penerang bagi jutaan netizen yang gandrung akan kebodohan?
Jika menjawab “cukup”, berhentilah membaca tulisan ini. Para pendahulu telah menanam benih, telah membangun nilai, akankah kita biarkan nilai itu padam karena tidak sesuai dengan zaman? Atau kita upgrade nilai itu agar menjadi semangat juang baru?
Kita perlu sadari, aktivisme juga mengalami Dark Age saat orang-orang yang berada di dalamnya anti penalaran dan anti intelektual, alergi untuk memberi solusi dan inovasi, hanya bisa sinis dan mengkritik sembari mengatakan bahwa mencari solusi adalah tugas pemerintah. Lah, bukankah orang di pemerintahan itu sejak awal memang tidak bisa memberi solusi?
Kita perlu curiga, jangan-jangan narasi antisolusi ini hanyalah eufemisme para aktivis yang tidak mau belajar saja. Setiap dari kita memiliki utopia tentang tatanan atau kondisi sosial yang diidamkan. Seperti kata seorang filsuf realisme kritis, Margaret Archer, “A concrete utopia requires movement beyond critique for it to be realizable.” Kita butuh gerakan yang lebih dari sekedar kritik kebijakan atau meminta pertanggungjawaban negara.
Baca juga:
Urgensi Merebut Sarana Produksi Pengetahuan
Sebagaimana sabda Foucault, pengetahuan selalu diciptakan oleh instrumen politis yang berkepentingan. Dalam konteks Dark Age Indonesia, pengetahuan yang mendominasi masyarakat adalah wacana banal kekuasaan. Wacana banal tentang makan gratis, hilirisasi, sustainable development, dan semacamnya. Untuk melawan itu, diperlukan produksi pengetahuan alternatif yang berpihak pada rakyat tertindas. Inilah peran strategis aktivis, yakni memproduksi pengetahuan (meneliti), lalu menyebarkannya.
Kisah kontroversial antropolog Napoleon Chagnon saat meneliti masyarakat Yanomami di hutan Amazon adalah contoh paling pas yang menunjukkan bahwa penelitian selalu memiliki konsekuensi politis. Singkatnya, saat riset, Chagnon menunjukkan bahwa masyarakat Yanomami adalah orang-orang barbar yang suka berperang. Riset itu lantas menjadi justifikasi perusahaan untuk mengeksploitasi sumber daya Yanomami dengan narasi bahwa kebiadaban itu layak dibasmi. Akan lain konsekuensinya jika Chagnon menarasikan orang-orang Yanomami sebagai orang yang bijak dan penuh kasih sayang seperti yang dilakukan Helena Valero.
Penelitian selalu memiliki konsekuensi politis. Dalam konteks hari ini, dapatkah para aktivis memproduksi pengetahuan tandingan dari isu-isu mutakhir seperti kecerdasan buatan, sustainable development goals (SDGs), start-up, hilirisasi, dan semacamnya dengan menaruh konsekuensi politis berupa keberpihakan pada rakyat tertindas di dalamnya? Kemudian, misalnya, membuat sosialisme terlihat lebih meyakinkan dan konkret untuk kehidupan global daripada kapitalisme. Hasil riset dari produksi pengetahuan tersebut dapat menjadi landasan pengorganisasian masyarakat yang lebih konkret daripada sekadar kritik kebijakan tanpa solusi.
Sudah saatnya kita mengobati buta huruf baru dengan membangun narasi alternatif berupa inovasi untuk menyudahi krisis seperti yang diinisiasi di Chiapas, Rojava, dan Marinaleda. Dari situ, bersama-sama kita keluar dari Dark Age Indonesia dengan memberantas segala kebodohan yang ada.
Editor: Emma Amelia
Waw keren ya.. Serem tapi ada benarnya juga pemakaian kata ‘dark age’ dan ‘Kamisan’ seperti cahaya yang mencoba menerangi pekat nya kegelapan