Ajakan untuk Memaknai Pernikahan di Luar Ranjang

Dinar Maharani Hasnadi

3 min read

Dalam filosofi Jawa, seorang istri yang baik adalah istri yang memenuhi kriteria 3M: masak (memasak), macak (berdandan), dan manak (beranak). Filosofi ini mirip dengan ungkapan umum dalam bahasa Indonesia bahwa tugas istri adalah dapur, sumur, dan kasur. Artinya, ia harus bisa memasak, mencuci, dan memuaskan kebutuhan seksual suaminya.

Entah siapa yang pertama kali mencetuskan tiga serangkai peran gender ini. Yang jelas, seperti gerakan propaganda 3A pada zaman pendudukan Jepang, 3M jugalah ide yang berbahaya. Nahasnya, masih banyak orang yang meyakininya walaupun zaman telah menunjukkan bahwa peran perempuan tidak lagi terikat dalam pagar kawat berduri bernama tradisi.

Baca juga:

Ke mana pun perempuan pergi, ia selalu dililit oleh peran gender dalam pernikahannya.Ia diharuskan memenuhi kebutuhan seksual pasangannya. Sejak sebelum menikah, perempuan selalu ditempatkan dalam kotak yang membatasi eksplorasi seksualnya. Perempuan diharuskan tidak pernah berhubungan seksual hingga malam pernikahan, sedangkan laki-laki yang mampu meniduri perempuan—atau menggunakan jasa pekerja seks—diwajarkan, bahkan dipuja karena jantan dan mampu menaklukkan perempuan.

Ajaran seperti itu marak ditemukan di mana-mana. Mulai dari nasihat orangtua kepada anaknya, hingga ucapan guru kepada siswinya di bangku sekolah menengah. Bahkan, pada hari pernikahan, perempuan kerap diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan tidak menyenangkan dari penghulu. Ia ditanya apakah ia tahu tugasnya terhadap suaminya. Ia ditanya apakah ia tahu bahwa sekarang suaminya telah memperoleh SIM dan STNK (“Surat Izin Meniduri” dan “Surat Tanda Naik ke Kasur”). Ia dipaksa tersenyum ketika hadirin tamu tertawa, menormalisasi lelucon berisi seksualisasi institusi pernikahan.

Pernikahan awalnya merupakan crescive institution, sebuah lembaga sosial yang lahir karena adat istiadat masyarakat secara tidak disengaja. Pernikahan awalnya dilaksanakan untuk menyatukan dua keluarga untuk alasan politik dan menghasilkan anak sebanyak-banyaknya untuk dijadikan pewaris tanah pertanian atau usaha lainnya. Pada masa-masa awal ini, pernikahan bukanlah persatuan yang bersifat setara antara dua orang, melainkan upaya untuk membawa mempelai perempuan ke dalam kehidupan mempelai laki-laki agar ia dapat dieksploitasi secara legal.

Hakikat pernikahan pada masa kuno adalah untuk memiliki anak sesegera mungkin. Agar punya anak cepat tercapai, tingkah laku istri diatur agar senantiasa menuruti suaminya. Istri diwajibkan cantik, kalem, pemalu—-dan masih ada ratusan tuntutan lain yang dibebankan pada istri. Tuntutan-tuntutan ini ada agar suami tetap merasa terangsang secara seksual tiap memandang istrinya sehingga istri cepat mengandung anak.

Pengaturan perilaku perempuan dalam pernikahan tidak hanya terjadi di masyarakat Jawa, tetapi juga di banyak masyarakat lain di dunia. Di India Kuno, misalnya, istri diharuskan setia, sampai-sampai jika ia ditinggal mati suaminya, ia harus membakar diri dalam prosesi bernama sati.

Gagasan bahwa apa pun yang dilakukan oleh perempuan adalah demi suaminya tertanam kuat dalam pola pikir patriarkis. Bahkan, setelah maraknya gerakan emansipasi perempuan pada awal abad ke-20, pola pikir kuno yang mengisyaratkan seksualisasi pernikahan secara berlebihan masih awet hingga kini. Masih banyak orang yang menganggap bahwa tujuan utama pernikahan adalah menghasilkan keturunan, bukan membangun hubungan baik, komunikatif, dan jangka panjang bersama pasangan. Alhasil, ketika seorang suami berpoligami, berselingkuh, atau memutuskan untuk menalak istrinya, orang menuduh istrinya tak mampu “melayani” suami dengan baik. Lagipula, mengapa hubungan seks dibahasakan dengan kata “melayani” yang menandai suatu kegiatan hierarkis dan satu arah?

Bagi beberapa pasangan, seks memang merupakan hal penting yang tidak dapat ditiadakan dari kehidupan pernikahan. Namun, adanya false consensus sebagian besar orang, keyakinan palsu bahwa hal ini berlaku bagi semua pasangan, menciptakan tekanan psikologis bagi banyak perempuan dan calon istri. Perempuan yang tidak dapat mengandung dan melahirkan dianggap kurang. Bahkan, perempuan yang mengalami trauma karena kekerasan seksual bisa saja disarankan untuk menuntaskan luka psikologisnya dengan segera agar ia bisa melakukan hubungan seks dengan suaminya, seolah ada tenggat yang harus dikejar.

Baca juga:

Seksualisasi pernikahan ini membahayakan perempuan dan merusak ekspektasi mereka terhadap suatu hubungan yang sehat. Masyarakat pun kian menormalisasi hal ini. Di film dan media populer, adegan seks pada malam pertama menanamkan pemikiran bawah sadar bahwa hal tersebut wajar atau bahkan wajib. Di media sosial, kita menjumpai unggahan meme yang menciptakan stereotip patriarkis bahwa perempuan sibuk memikirkan dekorasi, musik, dan tata rias selama pernikahan, sementara laki-laki sibuk memikirkan posisi seks apa yang akan ia jajal nanti malam. Hadiah pernikahan kepada sahabat berupa lingerie dianggap normal, bahkan humoris.

Seksualisasi pernikahan bahkan hadir dalam praktik medis dan gaya hidup yang menekankan pentingnya perempuan untuk menjaga bentuk tubuhnya agar tetap merangsang nafsu seksual suami. Banyak perempuan yang baru melahirkan disarankan meminum jamu sari rapet atau berolahraga agar cepat kurus kembali. Perineum bisa dijahit tanpa izin (husband stitch) agar suami merasakan kenikmatan saat berhubungan seks walaupun istri sudah “kendor” setelah melahirkan.

Seksualisasi pernikahan menyebabkan seks tidak lagi dilihat sebagai bentuk komunikasi insani antara dua pribadi yang harus dipersiapkan secara matang. Rasa sakit yang berlebihan pada seks pertama dianggap wajar dan perempuan harus bisa menahannya sebagai bentuk bakti terhadap suami.

Hal-hal yang kecil ini bisa luput dari pemahaman masyarakat umum, tetapi menyimpan dampak besar. Seperti kelapa gading di atas pohon, lelucon dan ujaran yang seolah tidak berdampak apa-apa menyimpan energi potensial yang dapat menyebabkan perempuan merasa rendah diri atau tidak cukup sebagai istri hanya karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual suaminya.

Baca juga:

Bukan lagi faktor ekonomi, mungkin saja patriarki adalah alasan utama perempuan malas menikah. Tak ayal, fenomena yang sudah terjadi di negara-negara Asia Timur ini ternyata juga merambat sampai Indonesia. Bahkan, menurut data Laporan Statistik Indonesia 2024, angka pernikahan dalam tiga tahun terakhir menyusut sebanyak tiga juta. Angka yang cukup besar ini mungkin perlu kita renungi kembali.

Apakah betul bahwa perempuan kita malas menikah karena egois dan hanya mau mengurus diri sendiri? Atau, karena ia tahu terlibat pernikahan hanya akan membuatnya ditekan oleh ekspektasi yang terlampau bengis mengenai seksualitas dan otonomi tubuhnya?

 

Editor: Emma Amelia

Dinar Maharani Hasnadi

One Reply to “Ajakan untuk Memaknai Pernikahan di Luar Ranjang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email