Mengenal identitas diri yang sejati bukanlah pekerjaan yang mudah. Setidaknya itulah yang digambarkan oleh Agustinus Wibowo. Setelah perjalanannya berkeliling dunia sejak tahun 2000-an, menulis buku-buku tebal perjalanan, akhirnya ia baru menelisik jalan sunyi untuk berjalan ke dalam diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait identitasnya.
Buku berjudul Kita dan Mereka ini adalah sebuah mahakarya yang sangat berharga dan juga langka. Bagaimana tidak, buku setebal 667 halaman ini disusun Agustinus setelah ia membaca sekitar 350 buku rujukan! Belum lagi, buku ini dilengkapi dengan foto-foto original dan catatan perjalanan bertahun-tahun menelusuri belahan dunia dari kota metropolitan sampai pedalaman terpencil di pinggiran negara-negara yang mungkin tidak akan pernah kita datangi dalam hidup kita.
Baca juga:
Informasi dan data yang melimpah ini disusun Agustinus dalam waktu enam tahun. Tak sekadar menempel-nempel data seperti kliping, Agustinus justru berkontemplasi dan memberikan ulasan mendalam dan merangkainya dengan runtut dan holistik. Penggunaan gaya bahasa yang renyah membuat pembaca semakin hanyut mengikuti perjalanan panjangnya mencari identitas dan mengenali jati diri.
Tembok Pemisah
Identitas sering kali menjadi biang permasalahan dalam kehidupan manusia. Politik identitas di negara kita, misalnya, akan sangat merugikan dan mendiskriminasi minoritas. Ragam bahasa yang berbeda di New Guinea juga sering menjadi sumber perkelahian dan serangan fisik. Beberapa negara seperti Myanmar, Israel, dan Iraq juga melakukan pembersihan etnis dengan pembantaian dan pengusiran. Jerman juga pernah melakukannya dengan sangat ekstrem ketika membersihkan etnis Yahudi untuk menjaga kemurnian rasnya. Sepertinya, identitas adalah biang masalah.
Di sisi lain, identitas mempunyai banyak keuntungan. Dengan adanya identitas, manusia bisa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam jumlah yang masif. Identitas juga membuat dunia semakin berwarna dengan munculnya berbagai macam suku dengan adat istiadat dan produk-produk budayanya.
Antara satu identitas dengan identitas lainnya selalu terhalang tembok yang membatasi teritorial masing-masing. Kecenderungan manusia untuk melindungi teritorialnya sudah terbangun ribuan tahun sejak manusia meninggalkan gaya hidup berburu dan meramu menuju bercocok tanam. Pada saat itu, manusia mulai mengenal garis teritorial untuk menandai batas hak milik. Untuk itulah dibangun sebuah tembok. Selain untuk pertahanan, tembok fisik diciptakan oleh penguasa suatu negara atau wilayah untuk membatasi perseberangan penduduk ke wilayah lainnya. Penguasa ingin menjaga kemurnian identitas masyarakatnya secara fisik maupun psikologis.
Perang
Perbedaan identitas juga sering berujung dari peperangan baik skala besar maupun kecil. Bangsa Mongol terkenal sebagai bangsa nomaden yang suka menyerang dan berperang. Dengan kemampuannya menjinakkan kuda, mereka bisa bergerak leluasa di padang rumput Asia Tengah. Serangan mereka mampu meruntuhkan Kerajaan China dan Imperium Arab. Di satu sisi, perang itu membawa kematian dan juga kehancuran. Di sisi lain, serangan Mongol membuat roda peradaban berjalan.
Perang berbuntut pada pendudukan. Dengan adanya pendudukan, maka terbentuklah suatu imperium yang menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dalam satu pemerintahan dan mengurangi jumlah perang di antara kerajaan-kerajaan kecil itu. Dengan berkurangnya perang, maka masyarakat di dalamnya akan lebih aman dan meningkat kemakmurannya karena punya banyak waktu untuk bertani. Ketersediaan bahan makanan adalah faktor fundamental dalam membangun peradaban.
Kerajaan-kerajaan kecil yang ditaklukkan dipersatukan dalam satu imperium dan disebut sebagai sebuah bangsa. Ide bangsa ini sesungguhnya merupakan warisan tradisi kesukuan dari nenek moyang pemburu pengumpul manusia yang menganggap orang yang berbicara dengan bahasa yang sama dianggap lahir dari satu leluhur yang sama, mempunyai darah yang sama, dan mempraktikkan budaya yang sama. Bedanya, jika suku hanya berisi puluhan hingga ratusan orang, bangsa bisa berjumlah jutaan hingga milyaran orang (hal. 175).
Dengan munculnya peradaban, maka muncullah teknologi komunikasi, transportasi, militer, dan percetakan yang semakin mempermudah perpindahan ide-ide peradaban dari satu daerah ke daerah lainnya. Oleh sebab itu, imperium juga sering bergeser dari satu belahan bumi menuju belahan bumi lainnya. Setelah imperium China dan Arab runtuh, muncullah imperium negara-negara Eropa. Belanda, Inggris, Portugis, Prancis, dan Spanyol berlomba-lomba untuk menaklukkan dan saling berebut belahan bumi lainnya hingga era modern tiba.
Baca juga:
Pertanyaan Besar
Satu hal yang unik, buku ini juga membahas pertanyaan-pertanyaan besar yang ada di era modern ini seperti apakah warna kulit itu menunjukkan superioritas suatu suku bangsa? Apakah agama menjadi pendorong terjadinya perang? Mengapa manusia menciptakan mitos dan suka bercerita? Ke arah mana nanti peradaban modern ini akan berlabuh?
Tentunya, tak ada jawaban yang mutlak benar dan menjawab semua pertanyaan, tapi di sini Agustinus mencoba dengan sekuat tenaga berdasarkan pengalamannya berkeliling dunia, bacaannya terhadap buku-buku rujukan, pengalamannya menjadi minoritas di negara ini, dan juga laku kontemplasinya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan objektif dan bijaksana.
Agama yang sering kali disalahkan menjadi penyebab perang nyatanya tidak seperti kelihatannya. Perang suci antaragama sering kali digerakkan oleh tujuan politik. Agama hanya digunakan sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat ikut berperang. Begitu juga warna kulit, tidak ada hubungannya dengan superioritas suatu bangsa.
Membaca buku ini sampai akhir seperti melakukan perjalanan panjang sekaligus mempertanyakan lagi prasangka-prasangka yang sering kali kita anggap mutlak benar dan tidak bisa berubah. Dengan mengenal identitas-identitas manusia di seluruh dunia, kita akan melihat dunia dengan lebih apa adanya. Suatu kondisi tercerahkan ini yang pada akhirnya mengantarkan kita berkontemplasi melihat ke dalam diri yang lebih jernih untuk menemukan siapa jati diri kita sesungguhnya.
Editor: Emma Amelia