MANTRA
ucang-ucang angge. sebuah mantra diayun. di antara cahaya televisi. menonton lengang ruang tengah rumah. tubuhku di dua rapat tulang keringnya. sekering pipiku kini. basah kemudian.
mulung muncang ka parangge. mulut penuh seringai. terangkat ke langit tinggi. lalu kini hidup menghempas ke bawah. tidak ada dapur untuk mengambil kemiri. atau ibu untuk dipanggil.
digog-gog ku anjing gede. dekapan kuat oleh sepasang lengan kecil. yang kini tidak pernah pas untuk memeluk tubuh sendiri. sepi. hanya tertinggal lolong anjing kecil di tengah hutan.
anjing gede nu pa lebe. aku tidak berada di rumah. aku tidak berada di mana pun. kecuali di kota ini. dipisah oleh warung madura dan wadah jimpitan. aku tak pernah mendengar pa lebe lagi di sini.
ari gog, gog cungungungung. kulipat ingatan dengan saksama. meski banyak hal menggantung yang ingin kugunting. mungkin nanti kurekatkan pada dinding kamar sewa. menggunakan sebotol anggur merah. sebagai sepotong lagu yang tak kupahami.
–
TAKMIR
bahasa ibu adalah kumpulan kata-kata bapak yang cerai berai. menyendiri di salah satu sudut masjid. setiap hari mengumandangkan azan. dan ia merapalkan doa yang tidak pernah sampai sebelum iqamah tiba. serupa megafon tua. bertahan melalui gersang musim dan takdir.
–
ORANG TUA: LAKI-LAKI
aku sangat membenci bapak. seorang laki-laki yang dulu mengubur kekasihnya. dan ikut tertinggal di kedalaman liang. aku membayangkan ia tidak pernah percaya hidup setelah mati. dan malaikat penanya adalah kedua anaknya yang berubah wujud sebagai setan.
kupatahkan cangkul itu. kutinggalkan pemakaman. sebelum langkah ketujuh mendadak aku balik arah. taburan kembang dan tanah basah di hadapanku. bercokol nisan kayu. dengan keterangan tulisannya berganti jadi namaku. kubongkar dengan tangan kosong. namun cuma ketiadaan baring dibungkus kafan.
–
ORANG TUA: PEREMPUAN
aku sangat membenci ibu. sangat. ia tidak pernah membuatku bisa mencicipi masakan selain buatannya. hidupku sudah habis di semangkuk sayur asem dan ikan asin sepat. meski setiap suapan di mulutku rasanya cuma penantian seorang laki-laki lain pulang ke rumah dan ikut makan.
–
DARI THE NAUFALS UNTUK THE NURULS
kini aku di kota. bertahan dan melawan semua hal yang jelang dan jalang. kutemukan seorang perempuan. ia mungkin berbagai perkara yang nyaris. dan untuk mengalahkan sebuah kota memerlukan seorang teman. pada suatu waktu untuk kencan akan kukatakan kepadanya:
“aku ingin mengajakmu ke balirejo. memasuki tiap toko ikan hias di sana. membayangkan diri kita sekadar kayu dan batu dalam akuarium kecil yang tak laku. tapi nanti yang kita beli sepasang bayi kura-kura hijau brazil. agar irit, lirih, dan awet. punyamu kunamai satrio bagus prakoso hidayanto. punyaku kau namai dwiati indah winarni.
kalau lapar singgah kita ke warmindo gejos timoho. pesan magelangan saja tapi minta indomie gorengnya rasa ayam geprek. seporsi banyak dan enak. tambah jaminan mutu apik buatmu si fanatik pedas. sebagai pereda panas lidahmu minumlah es susu dancow putih. aman saja kalau piringmu bersisa. aku siap menerima semua kurang dan lebihmu.
tapi tubuh kita akhirnya penuh minyak dan lemak katamu. tidak sehat seperti kota ini. bagaimana seumpama kalorinya (kotanya menyusul kelak) dibakar di kotagede. ayo melewati purbayan, membeli kudapan pasar, menjajal susuran gang, memotret pantulan diri pada kaca cembung jalan, saling menertawakan aib atasan perusahaan masing-masing, mengintip rumah pocong, dan setelahnya beristirahat di makam raja-raja mataram”.
saat ini kita mungkin bagai sampah. terbuang lalu hanyut di kali gajah wong. tapi bayangkan nanti kita tersumbat. berdesakan dengan yang lain. hujan turun dengan curah paling tinggi dalam sejarah. saat itu tidak ada lagi yang kita bisa selain tumpah ke jalan. dan dengan air paling kotor dan tinggi, kita menerjang seantero kota.
*****
Editor: Moch Aldy MA