Alih-alih maju, reformasi justru melangkah mundur. Agenda-agenda reformasi seperti penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme tidak lagi berada di jalur semula. Narasi dan janji penegakan keadilan lebih banyak digunakan sebagai gincu politik elektoral. Mandeknya dua agenda tersebut dalam tubuh birokrasi pemerintahan memperparah kondisi sosial masyarakat di level akar rumput.
Mandeknya penegakan hukum di Indonesia tercermin dalam Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index-Rol Index) yang disusun oleh World Justice Project di tahun 2023. Dalam laporan tersebut, skor Indonesia di tahun 2023 sebesar 0,53 atau sama seperti tahun sebelumnya. Angka tersebut mengindikasikan bahwa terjadi stagnasi dalam perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia. Penyalahgunaan instrumen hukum jadi salah satu faktor mandeknya hukum di Indonesia.
Instrumen hukum yang seharusnya digunakan untuk memberi perlindungan dan menegakkan keadilan, nyatanya justru jauh panggang dari api. Hari ini instrumen hukum kerap digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi kelompok-kelompok yang berbeda pandangan. Lebih parahnya, kelompok penguasa juga turut menggunakan instrumen hukum tatkala berhadapan dengan kelompok masyarakat yang melayangkan kritik terhadap kebijakannya.
Baca juga:
Hukum menjadi salah satu instrumen yang menentukan seberapa baik kualitas demokrasi di sebuah negara. Penegakan hukum yang serampangan akan memberi efek domino pada kualitas demokrasi. Di tengah kualitas demokrasi yang semakin mengkhawatirkan, penguasa justru menunjukkan karakter antikritik, dan hukum dijadikan alat untuk mengkriminalisasi warganya sendiri.
Hal ini tidak berdasar pada kekhawatiran belaka. Kenyataannya kualitas demokrasi Indonesia memang berada di level mengkhawatirkan. Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Democracy Index yang disusun pada tahun 2021 menyebutkan bahwa Indonesia berada di dalam kategori “flawed democracy” (cacat demokrasi). Selanjutnya, Freedom House memasukkan Indonesia ke kategori “partly free” (semi bebas), di mana kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak berasosiasi dan berorganisasi, serta aturan hukum mendapatkan skor di bawah rata-rata global.
Kriminalisasi dan Pembungkaman
Semakin sempitnya ruang-ruang berekspresi dan berserikat tercermin melalui jamaknya kriminalisasi. Kriminalisasi terhadap individu yang berbeda pandangan atau sedang memperjuangkan hak hidupnya adalah preseden buruk bagi Indonesia.
Masih segar di ingatan banyak orang mengenai upaya-upaya pembungkaman dan kriminalisasi para aktivis. Misalnya kriminalisasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, dengan dakwaan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik.
Selain Haris-Fatia, tindak kriminalisasi juga dialami Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis yang memperjuangkan kelestarian lingkungan Karimunjawa. Daniel dijatuhi vonis 7 bulan penjara karena dianggap telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian ke ruang publik.
Terbaru, terjadi upaya pembungkaman dalam kegiatan People’s Water Forum 2024 di Bali. Upaya pembungkaman tersebut diwarnai tindakan represi oknum ormas. Hal ini menambah daftar panjang kekerasan negara terhadap upaya pencerdasan bangsa. Oknum ormas tersebut merasa tindakannya benar karena mengantongi pesan dari oknum pemimpin daerah.
Sikap antikritik yang mengarah kepada aksi-aksi kekerasan terhadap ruang berpikir jelas mengkhianati semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pikiran dan suara kritis sengaja dikandangkan oleh negara dengan dalih keamanan dan stabilitas. Alih-alih berupaya memperbaiki, deretan pejabat dan penyelenggara negara tampak duduk santai menikmati tampuk kekuasaan yang berhasil direngkuh selepas pesta politik elektoral lalu.
Baca juga:
Korupsi Menjamur
Korupsi di Indonesia dapat dikatakan bagai jamur di musim penghujan—merebak di mana-mana. Tidak ada ruang yang tidak dapat dimanfaatkan pejabat untuk menjambret uang negara. Bahkan, saat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD menyebut menengok ke arah mana saja terdapat tindak korupsi.
Sepanjang tahun 2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 791 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.695 orang. Jumlah tersebut meningkat signifikan tinimbang tahun sebelumnya. Di tahun 2022, ICW mencatat terdapat kasus korupsi sebanyak 579 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 1.396 orang. Tidak heran mengemuka anekdot yang dapat menggambarkan dengan baik situasi hari ini, yaitu “trias koruptika”.
Boleh jadi kasus korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL), eks Menteri Pertanian adalah wajah-wajah asli dari para pejabat bangsa. Hidup hedon mengantarkan mereka dengan sadar menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi. Ironisnya, di saat warga harus membeli beras yang dipajaki negara, oknum pejabat negeri ini justru memajaki negara untuk memberi makan diri dan keluarga.
Langgengnya tindak kriminalisasi dan pembungkaman melahirkan generasi yang enggan berpikir dan bersuara kritis. Mereka tidak berani menjadi berbeda dari kebijakan penguasa, cenderung cari aman dan siap meluncurkan puja dan puji ke hadapan penguasa. Suburnya korupsi memberi dampak pada sulitnya rakyat kelas bawah mengakses berbagai kebutuhan, seperti makanan hingga pendidikan. Lantas, benarkah Indonesia serius mewujudkan generasi emas dalam kurun waktu 21 tahun mendatang?
Berkaca dari sederet peristiwa, indikasi reformasi berganti wajah menjadi neo-orba banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme adalah hal penting yang harus digelorakan oleh seluruh lapisan. Kebutuhan untuk mewujudkan pelbagai agenda reformasi bisa dijawab, salah satunya dengan menghadirkan kembali prinsip meritokrasi dalam setiap rekrutmen penyelenggara negara.
Meminimalisasi celah lobi-lobi adalah upaya yang patut didukung dalam rangka melahirkan penyelenggara negara berintegritas. Prinsip tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas hukum dan demokrasi Indonesia. Apabila seluruh komponen sepakat atas hal tersebut, bukan hal yang mustahil Indonesia akan berdiri di puncak peradaban dunia di masa mendatang.
Editor: Prihandini N