Selain melawan hawa nafsu, perjuangan berat dalam hidup saya adalah melawan
oligarki dan patriarkialergi.
Sejak kecil, badan saya memang sangat tidak toleran terhadap udang, kepiting, cumi, dan ikan-ikan laut yang sudah tidak segar. Lucunya, sudah bertahun-tahun lamanya alergi itu tidak pernah kambuh lagi meskipun saya membandel makan sembarangan. Namun sialnya, beberapa bulan belakangan ini ia sering kambuh lagi. Badan saya gatal dan dipenuhi bentol serta ruam di sana-sini. Kalau saya membuka pakaian dan menghadap cermin, saya tampak seperti mutan yang gagal berevolusi.
Kata dokter, alergi tidak bisa sembuh. Jadi ia memang serupa kutukan. Maka, cara terbaik yang dapat saya lakukan adalah senantiasa menghindari paparan alergen. Seumpama ada yang tidak mengerti, alergen adalah istilah medis untuk menyebut senyawa yang dapat memicu alergi dan/atau intoleransi dalam tubuh manusia. Dokter pun hanya memberi saya Loratadine—obat pereda gejala alergi—untuk saya telan secara rutin dua kali sehari.
Saya menduga kuat kalau alergi yang saya idap ini diturunkan dari ibu saya. Ya, ibu saya punya alergi yang alergen dan gejalanya hampir sama seperti saya. Ia pun kerap mewanti-wanti saya agar selalu menjaga makan.
“Abang harus hati-hati kalau makan. Jangan makan ikan yang sudah tidak segar,” katanya. Masalahnya, saya ini hidup di kota dan lebih banyak membeli makanan daripada memasak sendiri. Saya nyaris tidak bisa membedakan apakah ikan yang sudah dimasak itu masih segar atau tidak. Berbeda dengannya yang hidup di kampung, yang dapat langsung membeli ikan dari nelayan yang baru pulang melaut, alerginya pun tidak pernah kambuh lagi.
Mengidap alergi membuat saya banyak membaca tentang penyakit ini di berbagai situs kesehatan. Hampir semua sumber mendefinisikan alergi sebagai reaksi sistem imun tubuh terhadap zat atau senyawa yang disebut alergen. Oleh tubuh, zat tersebut dianggap berbahaya meski sebenarnya tidak.
Saya pun tercenung. Dianggap berbahaya meski sebenarnya tidak. Inilah sumber masalahnya. Inilah sebab orang punya alergi yang bermacam-macam hingga akhirnya membuat penyakit ini kadang tidak tampak biasa saja karena pada beberapa kasus ia terlihat konyol. Ada orang yang alergi terhadap telur, susu, kacang, es krim, mentega, bawang, micin, cokelat, alpukat, stroberi, pisang, jambu biji, sampai daun singkong. Ada pula yang alergi terhadap debu, matahari, hujan, udara dingin, parfum, deodoran, uang koin, obat nyamuk, pengering rambut, sampai lampu neon.
Waktu SMA, saya punya teman yang punya alergi terhadap orang miskin. Apakah saya sedang bercanda? Sama sekali tidak.
Maksud saya, teman saya ini sangat tidak senang jika harus berada di dekat-dekat orang miskin, atau di lingkungan yang identik dengan orang miskin. Ia akan menderita jika saya ajak ke rumah teman lain yang rumahnya sangat sempit, berada di gang kecil, dan lingkungannya kumuh. Ia juga meradang jika saya ajak makan di warung kaki lima atau saya ajak membeli sesuatu di pasar tradisional. Pernah suatu ketika saya mengajaknya makan di tengah-tengah pasar yang jalanannya becek dan dipenuhi pedagang, kuli, serta tukang becak. Sepulangnya dari situ, ia protes keras kepada saya.
“Jangan pernah ajak aku ke situ lagi, Anggit!” katanya, “di situ bau orang miskin, kepalaku langsung pusing.”
Baru orang miskin? Seperti apa baunya? Saya tidak tahu. Saya tidak pernah menanyakannya.
Pertanyaannya sekarang, apakah orang miskin berbahaya? Tentu tidak. Yang berbahaya adalah miskin itu sendiri. Dan, sepertinya, di dunia ini cukup banyak orang yang alergi terhadap miskin atau segala sesuatu yang berbau miskin. Pejabat-pejabat di NKRI banyak yang mengidap alergi jenis ini.
Coba perhatikan mantan menteri yang jadi tersangka korupsi dan ramai diberitakan media belakangan ini. Kementeriannya harus mengeluarkan uang 3 juta rupiah hanya untuk makan si pejabat setiap harinya. Setoran bulanan ke istri, biaya renovasi rumah anak, biaya sunatan dan ulang tahun cucu, semuanya juga ditanggung kementerian. Jumlah rupiah yang dikeluarkan tentu tidak sedikit.
Belum lagi, kementerian ternyata juga harus mengeluarkan uang untuk skincare anak perempuan menteri yang bersangkutan, yang menurut fakta persidangan nilainya sebesar 50 juta rupiah setiap bulan. Kacaunya lagi, uang rakyat sebesar 100 juta rupiah lagi-lagi harus digelontorkan karena si menteri diketahui menyawer seorang biduan dangdut. Apa yang diperbuat kepada biduan dangdut tersebut saya tidak mau tahu dan tidak terlalu punya kepentingan untuk mencari tahu.
Yang dapat kita pahami dari kasus itu adalah bahwa bagi beberapa orang—termasuk si mantan pejabat yang kini jadi tersangka korupsi—segala yang identik dengan miskin harus dihindari. Mereka akan menderita jika terpapar segala sesuatu yang berbau miskin. Mulai dari perkara makan, tempat tinggal, penampilan, kendaraan, hiburan, dan perkara-perkara lainnya. Oleh sebab itu, mereka harus menghindari segala paparan-paparan kemiskinan di republik ini.
Barangkali alergi kemiskinan itu juga dialami oleh pejabat-pejabat lain. Katakanlah pejabat politik yang mati-matian mempertahankan kekuasaannya. Saking getolnya, sampai-sampai mereka harus menyeret sanak keluarga ke dunia politik; mengikuti kompetisi pemilihan, menguasai partai, sampai menduduki jabatan-jabatan strategis dan penting. Semua dilakukan karena dengan kekuasaan orang akan mudah menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan begitu, segala hal yang berbau miskin, yang jadi sumber penderitaan, akan dapat dihindari.
Akan tetapi, apakah mereka itu sungguh mengidap alergi? Atau itu hanya karena serakah semata? Saya tidak tahu. Saya tidak pernah menanyakannya.
Editor: Emma Amelia