Seorang mahasiswa biasa yang sesekali menyempatkan waktu untuk membaca dan menulis puisi ditengah sesaknya dunia formalitas.

Jangan Dulu Mati dan Puisi Lainnya

Wina Septianasari

1 min read

Aku

Di dalam diriku
tersimpan mimpi-mimpi yang terbangun
sebelum aku mengeja doa
dan memejam kedua mata

Di dalam diriku
tersimpan takut-takut yang belum
sebelum aku mencoba
dan hanya meduga-duga

Di dalam diriku
tersimpan resah-gelisah yang mungkin
setelah aku melangit mantra
dan membaca harap;

hilang bersama segala mimpi yang
dibungkus takut
dan diretas cemas.

Jangan Dulu Mati

Jangan dulu redup;
kita belum sempat
pergi ke pasar malam
dan naik bianglala
atau duduk di tepi jalan
bicara apa saja selain kehilangan

Jangan dulu padam;
kita belum sempat
melihat lampu kota
di atas jembatan
sambil meraba-raba
gigil takdir dan angan-angan

Jangan dulu mati;
kita belum sempat
memberi makan kucing di jalan
menyelami buku-buku Pram
memaknai ulang Sapardi
menulis untuk abadi
atau yang paling sederhana;
mencintai diri sendiri

: kita belum sempat apa-apa.

Mari Hidup dan Menulis Puisi

Kuberi makan kepalaku
dengan puisi-puisimu
yang kelam dan berbau suram
semasih lihatmu sedang
mengarang ditemani Izrail itu

“tapi aku sedang amorfati
sekaligus memento mori!”
katamu.

Pada bait kedua;
aku temukan diksi-diksi
paling anjing dan bajingan
seperti aku sedang lihatmu
diberi wahyu oleh sesuatu
yang kau sebut sebagai tuhan
“aku sedang bertualang
dalam pencarian apa-apa yang pernah hilang!”
katamu (lagi).

Pada bait ketiga;
aku temukan kau mati
dan hidup kembali
dalam kepala orang-orang
yang sedang mencari-cari
yang mereka sebut sebagai arti

: kau, kekal jadi kata sifat puisi.

Mendamba Utopia

1-2 cha cha aku ingin meluruh
tenggelam dan hanyut
di lekak-lekuk tubuhmu
mendamba utopia
dunia tanpa duka lara
kita berdua menari-nari
di lantai dansa penuh tawa

tapi, Sayangku,
bukankah dunia kita bukan
dunia Cinderella—
yang rekamannya hanya
diputar sampai bahagia saja?

kita berdua—yang tak bersama
duduk dengan rokok di tangan
kanan dan angst di tangan kiri
serta dread di kepala menatap
—kebabian realitas di atas meja;

semu, semu, semu
kita nyata dalam dunia semu,
o Sayangku.

Merapal Mantra

Sambil dengar Banda Neira
kita coba beri makna;

“yang patah tumbuh,
yang hilang berganti!”

tapi tak selamat
mantranya tersesat
kita telah tamat

pada akhirnya

yang patah tetap patah
yang hilang belum ditemukan
yang hancur lebur tetap berserakan
yang bermakna pun menjadi sia-sia
dan tuhan masih ngakak-tertawa
melihat kita yang saling menerka

*****

Editor: Moch Aldy MA

Wina Septianasari
Wina Septianasari Seorang mahasiswa biasa yang sesekali menyempatkan waktu untuk membaca dan menulis puisi ditengah sesaknya dunia formalitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email