Tujuh tahun setelah disahkannya Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), muncul pertanyaan besar: Bagaimana kondisi organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia saat ini? Apakah regulasi ini menciptakan ekosistem yang sehat bagi OMS atau justru mempersempit ruang gerak mereka? Di tengah tantangan yang semakin kompleks, pertanyaan-pertanyaan ini semakin relevan untuk dibahas.
Penyempitan Ruang Sipil di Tengah Dominasi Negara dan Pasar
Indonesia tengah menghadapi krisis demokrasi yang ditandai dengan penyempitan ruang sipil dan merosotnya kualitas tata kelola demokrasi. Laporan dari Amnesty International dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) secara konsisten mengungkap bayang-bayang ancaman kriminalisasi terhadap kebebasan sipil. Ketidakpastian hukum yang mengemuka dari regulasi yang diproduksi pemerintah telah menciptakan atmosfer represif bagi masyarakat sipil.
Baca juga:
Di sisi lain, ambisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% serta swasembada pangan, energi, dan air melalui mega proyek seperti transisi energi, food estate, hingga produksi bioetanol telah memicu konflik sosial dan ekologis di berbagai wilayah. Proyek-proyek berskala besar ini, meskipun berorientasi pada pembangunan, kerap memperlihatkan bias kepentingan negara dan pasar yang mengabaikan dimensi keadilan sosial. Dalam konteks inilah keberadaan organisasi masyarakat sipil (OMS) sebagai penyeimbang menjadi kebutuhan yang mendesak.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi OMS yang semakin terdesak. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) sering kali ditafsirkan sebagai alat negara untuk mengontrol, bahkan membatasi, ruang gerak OMS. Narasi audit LSM, yang kembali muncul sejak pertama kali disuarakan pada masa Presiden SBY tahun 2007, hanya mempertegas persepsi domestifikasi OMS. Regulasi ini dinilai tidak hanya membatasi independensi OMS, tetapi juga menempatkan mereka dalam risiko menjadi alat birokrasi alih-alih aktor independen yang memperjuangkan kepentingan publik.
Dominasi negara dan pasar yang semakin menonjol menuntut keberadaan OMS yang tidak hanya kuat, tetapi juga berdaya tawar tinggi. Tanpa itu, masyarakat sipil kehilangan pelindung utamanya, dan demokrasi Indonesia terancam hanya menjadi formalitas tanpa substansi.
Rezim Regulasi OMS: Antara Stabilitas dan Kontrol
Menurut Dematte (2020), rezim regulasi OMS adalah kumpulan aturan, kebijakan, dan mekanisme hukum yang digunakan pemerintah untuk mengatur organisasi masyarakat sipil. Perubahan UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2017 adalah contoh nyata bagaimana regulasi digunakan untuk mendefinisikan ruang lingkup aktivitas OMS. Alasan yang sering dikemukakan pemerintah mencakup keamanan nasional, kedaulatan, dan nasionalisme.
Regulasi ini mencakup pembatasan administratif, pembatasan pendanaan, pengawasan, hingga hukuman. Dampaknya adalah penyempitan ruang advokasi, berkurangnya independensi, dan meningkatnya ketergantungan OMS pada pemerintah. Selain membatasi, regulasi ini menciptakan risiko domestifikasi OMS menjadi perpanjangan tangan pemerintah, alih-alih menjadi aktor independen yang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Regulasi ini juga mempertegas hubungan kekuasaan yang timpang antara negara dan masyarakat sipil. Dengan narasi yang semakin dikendalikan pemerintah, OMS berisiko kehilangan legitimasi sebagai penjaga demokrasi. Padahal, OMS seharusnya memiliki peran ganda: sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan sekaligus sebagai pengawas yang kritis.
Dalam situasi ini, dibutuhkan kebijakan yang mampu menciptakan keseimbangan antara negara dan OMS. Hubungan yang sehat harus mengedepankan komplementaritas, di mana pemerintah dan OMS saling melengkapi peran masing-masing. Kebijakan semacam ini harus disesuaikan dengan keragaman peran yang dijalankan oleh OMS, mulai dari advokasi, pendidikan, hingga pemberdayaan masyarakat.
Kemitraan Strategis untuk Mewujudkan Demokrasi yang Berkelanjutan
Tujuh tahun pasca berlakunya UU Ormas, perjalanan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia masih jauh dari selesai. Tantangan demi tantangan, mulai dari tekanan regulasi hingga penyempitan ruang sipil, terus menjadi ujian bagi keberlanjutan demokrasi. Namun, justru dalam tantangan inilah harapan menemukan pijakannya. OMS memiliki potensi untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi penggerak utama yang mengarahkan perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih adil dan demokratis.
Membangun ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan membutuhkan keberanian langkah konkret, baik dari pemerintah maupun OMS itu sendiri. Pemerintah harus mengubah paradigma regulasi dari yang berorientasi pada kontrol dan domestifikasi menjadi fasilitasi. Kunci keberhasilan juga terletak pada pengakuan atas keragaman peran CSO dan pentingnya pendekatan regulasi yang berbeda-beda sesuai tipologi masing-masing. Misalnya, CSO yang bergerak di bidang advokasi membutuhkan kebijakan yang berbeda dengan CSO yang fokus pada pemberdayaan ekonomi. Pendekatan pemerintah juga harus menghormati independensi OMS dan menguatkan kapasitas mereka akan membawa dampak positif yang meluas, tidak hanya bagi organisasi tersebut, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Baca juga:
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah pengesahan RUU Dana Abadi untuk memperkuat kemandirian CSO. Hal ini sejalan dengan program prioritas pemerintahan Prabowo yang mencantumkan perlunya dana abadi bagi lembaga swadaya masyarakat. Dana abadi ini dapat memberikan sumber pendanaan yang stabil, sehingga CSO tidak lagi terlalu bergantung pada pemerintah maupun donor internasional. Dengan demikian, CSO dapat menjalankan fungsi kritisnya tanpa tekanan politik atau ekonomi
Di sisi lain, OMS harus menunjukkan bahwa mereka mampu menjalankan peran kritisnya dengan profesionalisme dan integritas. Dalam iklim politik dan ekonomi yang sering kali penuh tekanan, OMS dituntut untuk menjadi mitra strategis sekaligus pengingat moral bagi pemerintah dan pasar. Mereka tidak boleh hanya berperan sebagai pelengkap pembangunan, tetapi sebagai aktor utama yang memastikan keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas tetap menjadi prioritas.
Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kolaborasi yang setara antara pemerintah dan OMS. Jika hubungan ini dibangun di atas rasa saling percaya dan penghormatan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan demokrasi yang tidak hanya kokoh secara institusi, tetapi juga hidup di tengah masyarakat. OMS harus diposisikan sebagai pilar utama demokrasi, bukan sekadar instrumen domestikasi yang menghilangkan daya kritis mereka.
Dengan refleksi yang jernih, kebijakan yang progresif, dan komitmen bersama untuk mendukung ruang sipil yang inklusif, perjalanan ini dapat membawa Indonesia pada puncak potensi demokrasinya. Inilah momen untuk memastikan bahwa OMS tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi penggerak utama dalam pembangunan bangsa. Bersama, kita dapat menapaki jalan menuju Indonesia yang lebih adil, berdaya, dan demokratis—sebuah visi yang hanya bisa terwujud dengan kolaborasi dan keberanian untuk berubah.
Editor: Prihandini N