“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara” ucap John F. Kennedy dalam pidato pengukuhannya sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-35. Pidato tersebut adalah seruan kepada seluruh warga Amerika untuk berkomitmen dalam pengabdian dan pengorbanannya kepada negara.
Pidato yang disampaikan Kennedy pada tanggal 20 Januari 1961 tersebut konon dianggap sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme yang berdedikasi tinggi. Kalimat tersebut kemudian menginspirasi dan dikutip banyak orang terutama oleh penyelenggara negara atau pemerintah dan pendengungnya (buzzer) di berbagai negara guna memotivasi masyarakat untuk melakukan tindakan nyata yang bermanfaat bagi negara.
Kendati demikian, kutipan pidato tersebut nyatanya problematik dan telah mendapat kritik dari banyak pihak. Salah satu kritiknya adalah bahwa seruan Kennedy tersebut dianggap sebagai pernyataan retoris belaka yang mengaburkan peran negara dalam memenuhi hak dan kewajibannya terhadap hak-hak dasar warga negara. Penekanan terhadap partisipasi aktif warga negara dalam pembangunan yang tersirat dalam pidato tersebut dianggap abai terhadap kesenjangan struktural dan masalah sistemik yang mungkin menghalangi atau membatasi individu untuk berkontribusi secara efektif kepada negaranya.
Retorika patriotik semacam ini sering kali digunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah dengan menganggap pengkritik kurang atau tidak patriotisme dan nasionalisme. Ketika masyarakat didorong untuk menanyakan apa kontribusi yang mereka berikan kepada negara, hal ini berpotensi menciptakan situasi di mana individu atau kelompok yang mengkritik dapat dianggap tidak memenuhi standar patriotisme yang ditetapkan negara.
Penekanan pada kontribusi individual terhadap negara dapat memunculkan norma sosial yang mengecilkan nilai kritik terhadap pemerintah atau kebijakan, dengan memposisikan kritik sebagai tindakan yang tidak setia atau tidak mendukung kepentingan nasional.
Apa yang belum diambil negara darimu?
Kutipan pidato Kennedy tersebut semakin tidak relevan dan kontradiktif ketika dihadapkan pada situasi di Indonesia. Negara atau pemerintah Indonesia tidak “lagi” memiliki legitimasi untuk mengatakan atau mengutip perkataan presiden Amerika Serikat tersebut kepada masyarakat.
Pasalnya, hampir seluruh kepemilikan masyarakat atas harta-benda, ruang hidup, kebebasan dan segala bentuk kepemilikan material dan nonmaterial lainnya telah direnggut oleh negara lewat berbagai cara dan skema. Baik secara legal melalui berbagai regulasi dan kebijakan, maupun secara ilegal dan melanggar hukum seperti korupsi dan sebagainya.
Selama satu dekade berkuasa, pemerintahan Jokowi telah melahirkan sejumlah kebijakan kontroversial yang cenderung merugikan rakyat. Baru-baru ini misalnya, Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) perguruan tinggi dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Tapera mengharuskan semua pekerja baik di sektor formal dan informal untuk membayar iuran 2,5% dari gaji per bulan untuk dana cicilan rumah yang tidak nampak wujudnya. Kemudian kenaikan UKT melambung hingga mencapai 300% – 500%. Sementara kenaikan PPN 12% direncanakan mulai efektif berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Padahal sejak tahun 1983 hingga tahun 2021, tarif PPN konsisten berada di angka 10% hingga kemudian pada 2022 naik menjadi 11% dan dan kini akan dinaikkan menjadi 12%.
Ketiga kebijakan tersebut menuai kontroversi dan penolakan dari banyak kalangan masyarakat. Tapera dinilai semakin membebani pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah di tengah daya beli yang rendah dan biaya hidup yang tinggi. Kenaikan UKT dianggap memberatkan mahasiswa dan tidak sebanding dengan kualitas pendidikan yang diterima serta tidak berdampak pada kesejahteraan dosen, tenaga pendidik dan buruh kampus lainnya. Sementara kenaikan PPN dipandang menguras daya beli masyarakat dan berpotensi mendorong inflasi, terutama bagi kalangan berpenghasilan rendah.
Namun, kebijakan-kebijakan tersebut hanyalah sebagian dari serangkaian situasi yang menimbulkan keresahan dan penderitaan rakyat selama satu dekade terakhir Jokowi berkuasa. Isu-isu lain seperti kesenjangan ekonomi yang tinggi, korupsi masif, kolusi, nepotisme, kriminalisasi aktivis, pembatasan kebebasan sipil, hingga kerusakan lingkungan turut memperparah akumulasi kesusahan masyarakat.
Jadi dengan adanya UU Cipta kerja dan Tapera yang menyasar kelas pekerja, UU Omnibus Law Kesehatan yang membuat kisruh layanan kesehatan, biaya UKT tinggi yang menyasar mahasiswa, upah rendah dan segudang tugas administratif yang membebani dosen, akrobat politik yang selama ini —terlebih dalam perhelatan pemilu–- mengangkangi keilmuan akademisi dan intelektual, RUU penyiaran yang berpotensi mengancam jurnalis dan konten kreator, UU ITE, RUU Polisi dan RUU TNI yang mengancam kebebasan sipil, kenaikan pajak, kenaikan tarif dasar listrik serta segudang regulasi dan kebijakan yang telah berdampak dan menyasar seluruh elemen masyarakat, maka jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang negara belum ambil darimu?
Hari Penghukuman
Akumulasi dari berbagai kebijakan dan situasi sosial, politik dan ekonomi tersebut memicu rasa frustrasi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap negara. Dengan masa jabatan yang sebentar lagi purna, alih-alih menanggapi atau memberikan maaf atas permintaan maaf yang ia sampaikan, Jokowi justru tidak boleh dibiarkan lolos, melanggeng dan melenggang begitu saja tanpa penghukuman atas apa yang telah ia lakukan selama berkuasa.
Berbagai regulasi, kebijakan dan akrobat politik yang telah merusak hampir seluruh sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus dibayar dengan perubahan sosial secara total.
Henry David Thoreau dalam esainya “Civil Disobedience” (1849), misalnya menegaskan bahwa warga negara memiliki hak moral untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan tidak adil. Thoreau menekankan bahwa ketika pemerintah tidak lagi mewakili kepentingan rakyat dan melanggar prinsip-prinsip keadilan, maka rakyat memiliki kewajiban untuk menentang dan tidak mematuhi hukum atau kebijakan yang tidak adil tersebut.
Baginya, setiap orang memiliki hak untuk menilai sendiri apakah tindakan pemerintah itu benar atau salah, dan bahwa kepatuhan buta terhadap hukum tidak dapat dibenarkan ketika hukum tersebut bertentangan dengan moralitas yang lebih tinggi.
Seruan Pembangkangan
Merujuk pada situasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang terus mencekik masyarakat, mestinya protes dan pembangkangan sipil secara besar-besaran telah dapat dan/atau wajib untuk dilakukan. Gerakan pembangkangan ini bertujuan untuk membangun kesadaran publik atas berbagai ketidakadilan, polarisasi kehidupan sosial yang menjebak dan mengarah pada konflik horizontal, serta menuntut perubahan dan penegakan keadilan bagi masyarakat yang selama ini dirugikan oleh kebijakan negara.
Pembangkangan dalam hal ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti melakukan aksi protes, demonstrasi, pemogokan umum, penarikan uang tunai di bank secara serentak dalam jumlah besar atau rush money hingga aksi-aksi non-kooperatif lainnya terhadap pemerintah.
Partisipasi masyarakat yang tinggi dalam gerakan resistensi seperti pembangkangan massal ini amat sangat menentukan keberhasilan tuntutan. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan, keragaman inovasi taktis serta tentu perubahan sosial yang utuh dan substansial.
Erica Chenoweth dan Maria Stephan (2011) dalam penelitiannya “Why Civil Resistance Works” misalnya menyebutkan bahwa jika 3,5% dari total populasi suatu negara aktif terlibat dan berpartisipasi dalam aksi protes, demonstrasi dan sebagainya, hal itu akan berpotensi besar dan membuka peluang dalam perubahan lanskap politik yang signifikan.
Jumlah 3,5% dalam skala populasi di Indonesia atau sekitar 10 juta populasi nasional adalah jumlah yang cukup untuk dapat memberikan tekanan kepada penguasa. Hal ini tentu akan menunjukkan bahwa pemerintah telah kehilangan legitimasinya di mata rakyat.
Jadi, untuk meraih kemerdekaan yang seutuhnya, mari persiapkan diri dan segera bentuk komite-komite pemogokan umum dan aksi protes lainnya menuju hari pembangkangan sipil berskala besar.