Sudah jatuh tertimpa tangga. Nampaknya itulah peribahasa yang cocok untuk saya ungkapkan ketika melihat pemerintah Indonesia melakukan pemangkasan anggaran di bidang pendidikan dengan dalih efisiensi anggaran. Karena hal tersebut, banyak masyarakat akan terdampak, dan yang paling parah, mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan.
Ketika kebijakan efisiensi anggaran diterapkan, elompok yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kelas bawah. Alih-alih membawa efisiensi yang berkeadilan, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan sosial, membuat masyarakat miskin semakin terpuruk karena sulitnya akses untuk meraih masa depan yang lebih baik–Sudah miskin, terdampak efisiensi anggaran.
Pendidikan Sebagai Pilar Utama
Pendidikan merupakan pilar utama pembangunan suatu bangsa, pendidikan adalah peradaban. Tanpa pendidikan, tidak akan tercipta manusia yang dapat memotori perubahan dan kemajuan suatu bangsa. Layaknya sejarah bangsa ini, perubahan, pergerakan, hingga titik kemerdekaan tidak diraih begitu saja, melainkan melalui perjalanan panjang yang dipimpin oleh manusia-manusia terpelajar.
Pendidikan menjadi kunci utama dalam membangun suatu kesadaran kolektif akan pentingnya melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang ada, pentingnya merdeka sebagai suatu bangsa, pentingnya merdeka sebagai manusia.
Pendidikan menjadi salah satu indikator utama Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencerminkan kualitas manusia di suatu negara. IPM dapat dilihat dari bagaimana berkembangnya sektor-sektor utama di suatu negara, ekonominya, kesehatannya, infrastrukturnya, dan yang lainnya. Dalam kata lain, pendidikan secara langsung dan tidak langsung tentunya berpengaruh pada aspek-aspek lainnya dalam kehidupan.
Baca juga:
Pendidikan adalah gerbang menuju segalanya. Layaknya tangga menuju cakrawala, pendidikan adalah alat mobilitas vertikal, yang memungkinkan seseorang dari kelas mana pun untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mencapai kesejahteraan dalam hidupnya.
Pendidikan Yang Tidak Lagi Sebagai Alat Mobilitas Sosial
Pendidikan lahir sebagai struktur sosial yang punya fungsi manifes sebagai alat mobilitas sosial vertikal. Mobilitas tersebut memungkinkan berpindahnya status dan peran seseorang dalam hierarki sosial, yang dalam hal ini tentunya bersifat naik. Individu yang berpendidikan akan mengalami perubahan dalam kedudukan di masyarakat, paralel dan ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan.
Kini, semua itu kini terhalang oleh kebijakan efisiensi anggaran pendidikan. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah memangkas anggaran pendidikan secara signifikan. Pemangkasan tersebut punya potensi yang berdampak besar pada masyarakat: 600 ribu mahasiswa penerima beasiswa KIPK terancam putus kuliah, guru honorer dan dosen terancam terkena PHK massal, dan siswa-siswi dari kalangan tidak mampu yang terancam putus sekolah.
Pierre Bourdieu, dalam karyanya yang berjudul Reproduction in Education, Society and Culture (1977) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah arena di mana kapital bisa diperoleh, dipertahankan, atau ditransmisikan. Pendidikan merupakan ruang sosial yang memungkinkan individu untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai bentuk kapital yang ada. Oleh karena itu, tentunya seseorang dari kelas bawah mampu untuk bersaing dan memperoleh berbagai bentuk kapital yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal.
Namun, adanya kebijakan efisiensi anggaran membuat pendidikan sepertinya bukan lagi sebuah alat mobilitas sosial, melainkan sarana reproduksi sosial. Di sini kesenjangan terus dipertahankan, bahkan diperlebar.
Menurut Pierre Bourdieu, reproduksi sosial merupakan sebuah proses di mana struktur sosial dan ketimpangan sosial terus berulang dan dipertahankan dari generasi dan generasi. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial malah berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan struktur yang sudah ada.
Dengan adanya efisiensi anggaran, sistem pendidikan justru semakin menjadi mekanisme reproduksi sosial, yakni mempertahankan status sosial kelompok kaya dan membatasi mobilitas sosial kelompok miskin. Alih-alih menciptakan kesempatan yang setara, orang miskin akan tetap miskin, sementara orang kaya akan semakin diuntungkan dalam sistem ini.
Sudah Miskin, Terdampak Efisiensi
Kelompok menengah ke bawah dan kelompok miskin menjadi korban kebijakan efisiensi yang dilakukan pemerintah. Sudah berada dalam keterbatasan ekonomi, mereka dihadapkan pada suatu kebijakan yang semakin membuat mereka kesulitan untuk keluar dari kubangan kemiskinan.
Menempuh pendidikan tentunya menjadi pilihan mereka untuk keluar dari kubangan keterbatasan tersebut. Tapi apa boleh buat, mereka kini terpaksa dihadapkan pada suatu pilihan dilematis: Besok tidak masuk kelas lagi atau besok tidak bisa makan.
Baca juga:
Pendidikan sebagai sarana reproduksi sosial membuat ketimpangan dan kesenjangan semakin dipertahankan, bahkan memburuk. Kebijakan efisiensi mempersempit peluang naik kelas. Akhirnya, harapan untuk memperbaiki nasib pun kian memudar.
Ketika ketimpangan ini semakin mengakar, tentunya tercipta suatu lingkaran yang sulit diputus. Pendidikan yang seharusnya menjadi pintu keluar dari keterbatasan justru berubah menjadi wadah eksklusif bagi mereka yang mampu. Alih-alih menjadi alat mobilitas sosial, kebijakan efisiensi anggaran membuat pendidikan semakin mempertahankan stratifikasi kelas yang ada. Pada akhirnya, pendidikan adalah soal mampu atau tidak. Yang kaya akan semakin kaya karena mampu menempuh pendidikan, dan yang miskin akan semakin miskin karena tidak mampu menempuh pendidikan.
Indonesia Emas 2045 Yang Fana
Gagasan besar Indonesia Emas 2045 bertumpu pada harapan akan kualitas sumber daya manusia yang unggul dan mampu menjadi motor penggerak bangsa. Bagaimana tidak, 2045 nanti bangsa ini mengalami bonus demografi dengan banyaknya usia produktif yang mampu mengisi lini-lini pembangunan bangsa. Perlu diingat bahwa pemuda hari ini, adalah pemimpin Indonesia 2045 nanti.
Namun, efisiensi anggaran dalam sektor pendidikan justru menjadi ancaman besar bagi pencapaian visi tersebut. Pemangkasan tersebut membuat akses menuju pendidikan semakin sulit, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga yang penuh keterbatasan. Padahal, yang perlu diingat adalah bahwa pendidikan merupakan jembatan menuju perubahan.
Bangsa ini akan kehilangan manusia-manusia yang akan membawa perubahan kelak. Seorang inovator, seorang profesional unggulan, seorang pemikir, seorang pendidik, dan pilar-pilar bangsa lainnya. Seseorang yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang terpaksa kehilangan kesempatan untuk berkembang, terpaksa berhenti bermimpi menjadi pemimpin bangsa sutau hari nanti.
Jika Indonesia Emas 2045 adalah mimpi, pendidikan adalah investasi. Tanpa investasi yang memadai, Indonesia Emas 2045 selamanya hanya akan menjadi sebuah mimpi–bukan menjadi sesuatu yang dimiliki.
Editor: Prihandini N