Mandatory Perantau dan Puisi Lainnya

Jasmine Noor

1 min read

mandatory perantau

di tiap sudut kota yang menjelma wajah asing
akulah debu beterbangan dari bulan ke bulan lain
tak pernah temukan rumah untuk sekadar singgah
terpahat dalam jejak yang menipu sebuah pergi

melewati gang rumah petakan adalah kebiasaan
membayangkan tenderloin combo segelas wine
sialnya, malam ini menjadi mandatory perantau
yang hanya menyajikan piring kosong
dengan lauk puisi yang tak jadi selesai
dan kata-kata yang terlalu keras untuk ditelan

arloji lawasan mama enggan berhenti
sementara kapalan di kakiku berteriak kelelahan
mengejar waktu yang tak sudi menepati janji
setiap luruh keringat ini bagai disulut arang
di atas berjuta-juta mimpi yang nyaris matang.

setengah juta sepetak

welcome to my crib,
sepetak kamar bedeng seharga setengah juta
bonus genteng bocor dan nyamuk segede dosa.
tv? ada. satu buat serumah, volume maksimal.

kamar mandi juga adventure sedikitlah
jalan dulu ke ujung antre sama tetangga
jangan kaget kalau airnya dua warna,
satu coklat, satu lagi bau drama.

setiap malam konser suara—
dari rel, dari dapur, dari kamar sebelah.
privasi cuma mimpi panjang mirip kali,
dinding lebih tipis dari dompet bapak.

tikus berlari-lari ikut jadi penghuni
mereka mungkin lebih nyaman di sini,
lebih dari yang bisa kita rasakan
tapi tak apa, yang penting bisa tidur, kan?

teh manis sore itu

andai teh manis hangat sore itu berbicara
barangkali ia menjelma sajak tak berima
mengalirkan suara dalam uap membumbung
menabur rahasia di tiap hirup jalan hidup

ia mungkin bercerita tentang gula
larut bagai janji tak tuntas di bibir waktu
atau tentang cangkir, memeluknya erat
walau tahu ia akan hilang tanpa surat

mungkin ia adalah pengantar doa
pada dedaun jatuh dari ibu pohon
dan air yang meninggalkan hujan
demi mendidih di perapian

andai teh manis sore itu tahu
bahwa tak semua hal perlu dijelaskan
tanpa berbelit kata, tanpa perlu diburu-buru
keberadaannya saja, cukup untuk dirasakan

namun ia memilih diam
membiarkan hangatnya bicara lewat tegukan
menyampaikan pesan tak bernama
pada kepergian yang selalu terasa biasa.

periuk

aku pernah duduk di sudut ruang
mendengar si periuk berbisik lantang
tentang lapar yang tak sempat dituntaskan
suara logamnya serak—memohon isi

di luar, angin menggertak dinding kayu
seakan ingin mengingatkan:
kemiskinan adalah nada yang sama
berdenting dari pagi hingga malam tiba

anak-anak memeluk tunggu tanpa makan
sementara kurapalkan doa kepada tuhan
semoga esok ada yang tersisa
di pasar yang semakin memunggungi kita

dan periuk itu
masih mengeluh dengan nada sumbangnya
kubayangkan isinya penuh
nasi mengepul, harum mengundang pulang

aku telah pergi memalingkan jagat raya
gambaran itu terus hidup seakan nyata:
perih perut bernyanyi, dapur yang sunyi,
dan harap-harap yang tersangkut setiap hari

mungkin, di surga ini
tiada lagi kesialan bernama periuk
akhirnya, ia tak lagi meminta
dan aku tak lagi mendengarnya.

anak tukang pulung

memungut serpihan hidup dari tumpukan sampah
mengumpulkan impian yang terabaikan
menata harapan dari reruntuhan dunia
adalah ayah yang sedang kusaksikan peluhnya

berpikir keras tentang sebuah juang
bagaimana aku bisa mengubah nasib
menghancurkan tembok-tembok pemisah
dari takdir yang tak bisa berputar arah

omong kosong privilese, orang dalam,
dan tiada kesempatan untuk semua kalangan

kami bukan orang besar
tak ada nama yang disanjung semesta
bertahan di zaman yang sulit disiasati
di mana pintu hanya terbuka untuk si pemilik kunci
dan kami tak miliki apapun selain tekad di tubuh ini

di tangankulah kekuatan tak pernah mati,
suatu saat akan kami temukan jalan
bukan hanya untuk bertahan,
tapi untuk hidup, benar-benar hidup.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Jasmine Noor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email