Tantangan Intelektualitas Mahasiswa Hari Ini

Dinar Maharani Hasnadi

2 min read

Saya punya pengalaman menohok sekaligus lucu: artikel opini saya diretur oleh sebuah media ternama. Alasannya mereka sampaikan di surel penolakan. Katanya, mereka tidak menerima tugas perkuliahan.

Mungkin, sebagian letak kesalahannya ada di diri saya yang luput memperhatikan voice media itu. Memang, kontributor opini di media tersebut berasal dari kalangan akademisi, praktisi, atau mahasiswa pascasarjana. Agaknya jarang–hampir tidak ada, bahkan–mahasiswa S-1 yang tulisannya berhasil lolos lubang jarum seleksi naskahnya.

Media yang Tidak Ramah terhadap Penulis Pemula

Ketatnya kriteria seleksi naskah di beberapa media dapat dimaknai sebagai upaya melindungi kredibilitas artikel-artikel yang ditayangkan. Bagi mahasiswa yang dianggap belum “khatam” dalam dunia kepenulisan dan penelitian, rubrik opini kadang sulit ditembus. Kredibilitas informasi yang disajikan kerap disangkutkan dengan ada atau tidaknya gelar di belakang nama si penulis. Mahasiswa, yang notabene merupakan penulis swadaya, belum mendapatkan sematan gelar sehingga biasanya tidak dianggap tepercaya.

Kenyataan ini berujung pada kecemasan banyak penulis pemula mengenai bagaimana mereka bisa mulai menulis. Lantas, banyak mahasiswa mencari-cari kabar tentang media yang mudah ditembus mahasiswa, media yang “ramah” terhadap penulis pemula. Nasihat idealis seperti “coba dulu, terbit atau tidak urusan belakangan” agaknya membayang-bayangi kenyataan bahwa intelektualitas–yang seharusnya menjadi senjata pemungkas mahasiswa dan justru paling mudah ditampilkan melalui tulisan–kini menjadi wacana yang sukar diwujudkan.

Bentrokan antara idealisme dan keraguan mengenai kredibilitas sering kali dijumpai. Meragukan kredibilitas opini mahasiswa hanya karena ia “masih” mahasiswa adalah tindakan yang ironis karena menyingkirkan hakikat intelektualitas mahasiswa yang sebenarnya. Tulisan mahasiswa rentan diretur, alias ditolak, karena penulisnya dianggap tidak memiliki wawasan yang “cukup” untuk menulis opini, apa lagi jika mahasiswa yang bersangkutan menulis tentang tema di luar bahasan biasa program studinya.

Baca juga:

Seorang mahasiswa boleh-boleh saja, bahkan mungkin dianjurkan untuk mendalami keterampilan lain dalam rangka memperkaya wawasan yang diperolehnya dalam bahasan konvensional program studinya. Mahasiswa teknik, misalnya, sah-sah saja menaruh minat khusus pada dunia marketing, sebagaimana mahasiswa hukum boleh mempelajari dunia perpajakan.

Ada stereotipe tidak tertulis mengenai bagaimana mahasiswa program studi tertentu harus mengaktualisasi diri. Kungkungan ini rawan menyebabkan mahasiswa merasa tertekan untuk menaati tuntutan sosial, termasuk menyingkirkan minatnya karena hal itu akan membuatnya tampak “aneh”. Mahasiswa teknik yang menulis tentang marketing atau mahasiswa hukum yang menulis tentang perpajakan kerap terpaksa mendapat penolakan pahit dari redaksi karena ia dianggap tidak pantas membicarakan dunia di luar jangkauannya sehari-hari.

Terkadang, kredibilitas mahasiswa, ironisnya, hanya dilihat melalui tetek bengek formal seperti gelar dan program studi, dan bukan kemurnian argumen dan intelektualitasnya. Kalaupun tulisan “kurang kredibel” tersebut menuai kritik, hal tersebut sudah sepantasnya diwajarkan sebagai pendewasaan menuju iklim pertukaran gagasan yang sehat serta kepenulisan yang lebih rapi. Mahasiswa disebut agen perubahan di atas kertas, tetapi upaya mewujudkan iklim intelektual yang sehat melalui kepenulisan masih disepelekan.

Intelektualitas vs Pengalaman Lapangan

Pertumbuhan penduduk yang berbanding terbalik dengan peningkatan lapangan kerja adalah kenyataan yang harus ditanggung mahasiswa hari ini. Mahasiswa dituntut mengikuti beragam organisasi, kepanitiaan, hingga program pengembangan karier sana sini demi menjadi sosok “sempurna” yang diharapkan oleh masyarakat industrial-neoliberal. Biasanya, imaji ini tidak jauh-jauh dari sosok pekerja korporat dengan segudang pengalaman “nyata”. Intelektualitas di dalam ruang perkuliahan diabaikan selagi mahasiswa yang bersangkutan belum memiliki pengalaman turun lapangan untuk merasakan suka duka pekerjaan, misalnya melalui program magang bersertifikat.

Baca juga:

Neoliberalisasi seperti ini agaknya telah menggeser hakikat mahasiswa jauh ke titik yang tidak diharapkan. Memang, tidak ada yang salah dengan seorang mahasiswa yang merasa puas dengan keseharian berkutat dengan berkas organisasi atau laporan magang. Namun, yang perlu ditekankan adalah, tidak ada salahnya juga menjadi mahasiswa yang “kembali ke kodratnya” sebagai makhluk akademis.

Menulis dapat membantu proses pengembangan diri, mengenal diri sendiri, memperluas jaringan perkawanan, hingga melatih daya kritis dan menciptakan lingkungan diskusi yang giat. Hal ini berlaku, khususnya, bagi mahasiswa-mahasiswa yang menuangkan perhatian yang lumayan pada isu-isu sosial kontemporer. Dewasa ini, aktivisme tidak terbatas pada orak-arik demonstrasi di jalanan, tetapi juga upaya-upaya seperti menulis di ruang digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai gentingnya kondisi sosial-politik.

Jalan Panjang Menulis

Sayangnya, kadang budaya menulis masih dipandang sebelah mata. Banyak mahasiswa tidak memiliki tingkat literasi yang baik, membaca demi tuntutan mata kuliah semata, seperti orang yang makan hanya demi tidak kena gastritis. Dalam hal ini, perlu ada perombakan pola pikir masyarakat dalam hal pendidikan, bahasa, dan kepenulisan. Dengan menjamurnya media yang menerima tulisan dari segala kalangan dengan lapang dada, seharusnya kesadaran mahasiswa akan pentingnya menuangkan gagasan dalam aksara turut meningkat, bukan sebaliknya.

Opini mahasiswa perlu dipertimbangkan, misalnya, melalui pengadaan rubrik khusus artikel mahasiswa, pengintensifan pers mahasiswa dan kegiatan sastra di lingkungan kampus, serta transparansi kurasi artikel yang dibarengi pelatihan kiat-kiat menulis opini bagi penulis mahasiswa. Aktivitas-aktivitas intelektual seperti ini berguna untuk memupuk keterampilan kepenulisan serta mewujudkan iklim pertukaran gagasan yang demokratis.

 

 

 

Editor: Prihandini N

Dinar Maharani Hasnadi

One Reply to “Tantangan Intelektualitas Mahasiswa Hari Ini”

  1. Terima kasih banyak, Rani untuk tulisannya. Ngewakilin mahasiswa-mahasiswa yang resah karena nggak bisa tembus media mainstream untuk mengekspresikan gagasannya lewat tulisan. Harus lebih banyak orang yang baca artikelmu ini, terutama paragraf terakhir yg konstruktif bgt!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email