Semoga Kamu Tidak Lahir sebagai Orang Indonesia

Shofiatunnisa Azizah

2 min read

“Aku enggak melihat masa depan yang bermakna di negara ini. Aku tidak ingin mati sebagai orang Indonesia,” kata WNI yang pindah ke Alabama, Amerika Serikat, dalam wawancara BBC yang muncul di Instagram saya.

Di tengah carut-marut negara saat ini, menemui masyarakat Indonesia yang merutuki nasibnya sebagai WNI bukanlah fenomena yang langka. Fajar Zakri yang mengatakan ketidakinginannya mati sebagai WNI adalah salah satunya. Kenyataannya, ada banyak masyarakat yang menimbang jalan keluar dari masalah yang mencengkramnya atas nama bangsa Indonesia.

Saking terdesak dalam ketiadaan jalan keluar, sebagian masyarakat menyeriusi opsi pindah negara. Mulai dari negara tetangga yang masih dalam kawasan Asia, sampai negara-negara yang benua lain. Orang-orang mulai saling membantu, mendorong satu sama lain untuk menemukan celah lepas bagi dirinya sendiri dalam #KaburAjaDulu—tagar yang ramai di media sosial dalam sugesti berpindah negara.

Bila sebelumnya pindah negara akan dipandang tercela karena mengesankan tidak nasionalis—menggadai nasab murni bumi Ibu Pertiwi yang harusnya lebih diutamakan sebagai tempat mengabdi, padahal Sang Ibu tengah menangisi nasib negeri ini. Topik pindah negara telah berubah menjadi perbincangan yang lumrah.

Yang paling menggelitik dari bahasan ini adalah luapan depresi masyarakat yang tidak menemui titik tengah antara pemerintah yang memprioritaskan satu makan siang alih-alih makan satu keluarga. Bukan, ini bukan saran untuk mengembangkan program MBG menjadi MKG (Makan Keluarga Gratis). Namun, pemerintah sepertinya memang perlu bercermin pada dua kata paling sakral yang dimunculkan bersama jeritan masyarakat: mati dan lahir.

Baca juga:

Menyinggung mati dan lahir bukan perkara mudah. Maka bila sudah muncul ke permukaan, permasalahan apa pun yang menjeratnya mengambang bersamaan sudah kelewatan.

Tidak Ingin Mati sebagai WNI

Rasanya sangat menyedihkan ketika seseorang berkata tidak ingin mati dengan identitas tertentu yang dibawanya lahir. Ucapan semacam ini sudah bukan lagi kegelisahan, melainkan penyesalan mendalam yang tak terbantahkan.

Ibarat kata, ketika kau mati sebagai WNI, pertanyaan-pertanyaan malaikat dalam kubur akan lebih menyeramkan. Setelah gagal melewati pemerintahan otoriter, sampai tak bernyawa sekalipun hanya bisa menangis sambil menyahut, “Siap, enak! Makannya enak, Ndan!”

Lalu hadir Malaikat Munkar yang bertanya, “Kenapa kamu lahir sebagai Indonesia?”

Dan, “Kenapa perut kamu krempeng? Kamu tidak habiskan makan gratis?

Sementara Nakir menggeleng-geleng prihatin,  “Bagaimana kamu bisa berpindah dari Indonesia?”

Dan, Nakir akan memberikan nilai plus atas keberhasilan keluar dari negara kepulauan yang luas dengan sumber daya alam yang melimpah beserta jejeran pemerintahan yang gemuk.

Nasib Suram Membayangi WNI

Nasi sudah menjadi bubur. Sebelum Munkar dan Nakir menyapa, ada realitas sehari-hari yang harus dihadapi meskipun baru saja terdampak efisiensi.

Baca juga:

Pada masa yang akan datang, masyarakat Indonesia mungkin hanya akan hidup berbekal MBG yang diberikan satu kali sehari. Mereka harus menunggu siang untuk makan, sebab tidak ada penghasilan dari pekerjaan yang mulai berkurang lahannya atas berbagai pemangkasan keuangan. Dengan begitu harapan pemerintah akan jadi kenyataan: anak-anak mengatakan makan gratis enak sebab itulah satu-satunya makanan yang bisa mereka dapatkan. Tidak ada makanan di rumah yang bisa disajikan.

Namun masa depan itu adalah tugas orang dewasa. Orang-orang dewasa diatur untuk bisa bertahan hidup melawan kerasnya dunia, sementara anak-anak yang belum tumbuh dewasa masih berada di bawah perlindungan setidak-tidaknya orang dewasa.

Selanjutnya, kebijakan-kebijakan menyengsarakan ini paling akan membebani orang dewasa yang juga berperan sebagai orang tua, yang akan melihat anak-anaknya tumbuh dengan ketidakbaikan yang terjadi di negara ini. 

Gebrakan di negaramu memang lucu. Perut diisi sekenyang-kenyangnya sementara otak dibiarkan kosong dan merana. Negara hampir tak pernah hadir di hari-hari ibu berupaya mencerdaskanmu, yang dilabeli generasi emas Indonesia.

Kutipan ini memang tidak berasal dari profesional, tapi seorang pengalam. Seorang ibu. Ia yang menyaksikan tumbuh kembang anak-anak dengan kekhawatiran di negaranya. Ini bukan salah sang ibu, atau siapa pun dari kalangan masyarakat, tetapi pemerintah sebagai pengatur kebijakan yang tidak bisa memberikan rasa aman.

Selain miris, saya kira belum ada kata tepat lain yang bisa menggambarkan kontradiksi pemerintahan yang menjanjikan kesejahteraan, tetapi terus mencurangi masyarakatnya sendiri. Namun nasi sudah menjadi bubur, pilihan yang tersisa hanyalah kabur atau berharap tidak perlu terlahir (atau melahirkan generasi yang akan menerima nasib) sebagai Indonesia—jika bisa.

 

 

Editor: Prihandini N

Shofiatunnisa Azizah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email