Belakangan ini, salah satu seri drama Korea yang tayang di platform streaming Netflix ramai dibicarakan. The Trauma Code: Heroes on Call tidak hanya menjual drama medis, tetapi juga cerminan situasi medis yang relevan di negara asalnya, maupun Indonesia.
Barang tentu ‘kemiripan’ situasi ini, menjadi salah satu alasan warganet di Indonesia memberikan perhatian penuh terhadap dedikasi tokoh-tokoh medis yang ditampilkan. Kondisi medis di Indonesia, bila ditampilkan dalam seri seperti Trauma Code, pastilah lebih memprihatinkan.
“Kalau Ju Ji-hoon versi Indonesia, pasti berdebatnya enggak akan habis sama yang namanya BPJS,” tulis salah satu akun di media sosial mengomentari rilisan seri ini.
Baek Gang-hyeok adalah tokoh yang diperankan oleh aktor Ju Ji-hoon. Dalam penceritaannya, karakter Baek Gang-hyeok digambarkan sebagai dokter spesialis bedah trauma yang memenuhi kriteria dari “SPJ”. Artinya, singkat, padat, dan jelas. Karakter Baek Gang-hyeok tidak peduli dengan banyak hal lain, selain tugasnya sebagai dokter spesialis bedah trauma yang harus mengedepankan pasien.
Baca juga:
- Tubuh yang Jamak: Membedah Politik Ontologi dalam Praktik Medis
- Dokter Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi
Tidak dengan jarak tempuh ke lokasi yang harus dijangkau dengan helikopter, tidak juga dengan cekcok defisit dalam departemen bedah trauma yang diambil alihnya setelah dokter Kwon Hak-su yang pingsan akibat bekerja sendirian.
Ketidakpedulian Ju Ji-hoon ini tidak sama dengan pandangan dari dokter lainnya, khususnya Kepala Perencanaan dan Koordinasi Rumah Sakit, Hong Jae-hoon (Kim Won-hae), dan Direktur Rumah Sakit, Choi Jo-eun (Kim Eui-sung).
Meskipun demikian, singkat cerita, Baek Gang-hyeok berhasil menemukan tim yang berada di pihaknya: meningkatkan fungsi departemen bedah trauma menjadi pusat trauma, sekaligus mengutamakan kebutuhan pasien. Dua orang yang selalu siap sedia di sisi Baek Gang-hyeok adalah Yang Jae-won (Choo Young Woo) sebagai fellow dokter bedah dan perawat senior departemen bedah trauma, Cheon Jang-mi (Ha Young).
Dengan tim yang kecil, ditambah satu anggota tambahan dari anestesi, Park Gyeong-won (Jung Jae-kwan), hero bedah trauma ini bisa bertahan sampai akhir episode Traume Code. Terlepas dari huru-hara, ataupun tuduhan jalur ‘ordal’ dengan bekingan Menteri Kesehatan Kang Myeong-hui (Kim Sun-young) dan malpraktik, Baek Gang-hyeok tetap gagah memainkan perannya.
Segala tantangan, berhasil dilewati Baek Gang-hyeok dan orang-orang yang membersamainya. Ini akan menjadi cerita lain kalau terjadi di Indonesia.
Kerapuhan Idealisme
Dua alasan pertama yang bisa mempertahankan kegagahan Baek Gang-hyeok adalah idealismenya. Scene pertama Baek Gang-hyeok tampil, dirinya mementingkan operasi alih-alih upacara pelantikan yang sampai dihadiri oleh Ibu Menteri.
Begitu menyelesaikan operasi dan memasuki ruangan pelantikan pun, Baek Gang-hyeok yang diminta meminta maaf kepada Menteri Kesehatan oleh Direktur Rumah Sakit memilih untuk tidak melakukannya.
“Seharusnya aku yang menerima permintaan maaf. Aku datang karena diberi posisi di tim trauma setelah restrukturisasi. Namun sepertinya, aku hanya dijadikan bahan formalitas,” kata Baek Gang-hyeok yang mencengangkan seisi auditorium.
Seisi auditorium, termasuk Direktur Rumah Sakit boleh tidak terima. Tetapi tidak mengambil tindakan langsung. Situasi yang menekan keberanian Baek Gang-hyeok melanjutkan, “Sistem di sini berantakan, jadi tentu yang bertugas bertindak seperti dokter gadungan.”
Yang dimaksudnya adalah, sistem rumah sakit dalam departemen bedah trauma tanpa dokter spesialis bedah trauma. Karena absennya Dokter Kwon Hak-su yang merupakan satu-satunya spesialis bedah trauma, dokter lain dengan spesialisasi berbeda bertugas secara bergilir.
Mekanisme kerja yang tidak sesuai seperti ini, di mana pun letaknya, tidaklah benar. Penanganan pasien trauma tidak akan sama dengan pasien dalam kondisi biasa. Sebabnya, Baek Gang-hyeok mengatakan, “Karena aku tidak bisa hanya menonton dokter gadungan membunuh pasien, aku harus melakukan operasi hingga terlambat.”
Melihat keberanian Baek Gang-hyeok yang diamini oleh Menteri Kesehatan, boleh dikatakan pengaturan kesehatan di Indonesia patut bercermin. Mengambil keramaian kasus perundungan di Universitas Diponegoro yang tidak memihak korban, bukankah ungkapan kebenaran semacam ini akan langsung menjadi sasaran empuk yang tidak berpegang pada sumpah profesinya?
Untuk membaktikan hidup guna kepentingan peri kemanusiaan, menjalankan tugas dengan cara terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan, memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
Dibicarakan dalam konteks sumpah dokter saja, martabat mana yang terjaga dengan kepudaran patuh terhadap prinsip-prinsip kebenaran dalam kedokteran?
Dukungan dalam Kebenaran Hanya Bualan
Dari kasus perundungan dokter berkaca banyak orang di media sosial, bahwa dunia kedokteran dipenuhi dengan senioritas dan hirarki yang mengakar. Seri Trauma Code memang tidak menunjukkan eksplisit kondisi tersebut, tetapi ada dua indikasi untuk menyebutkan: Baek Gang-hyeok bertahan karena dukungan, dan keberhasilan menepis tekanan kuasa.
Baek Gang-hyeok yang hadir tiba-tiba di Hankuk University Hospital tidak menarik banyak pihak untuk langsung berdiri di sisinya. Hanya ada dua, mulanya, yang bergandeng tangan dengan Baek Gang-hyeok. Kedua orang tersebut tidak lebih tinggi kedudukannya dari Baek Gang-hyeok sebagai konsulen baru di rumah sakit. Padahal tekanan yang ingin menyingkirkannya berasal dari direktur dan kepala bagian.
Kendati demikian, Baek Gang-hyeok berhasil bertahan. Hal ini sudah pasti tidak akan berlaku sama di Indonesia.
Kala seisi media sosial berang sebab perundungan yang terjadi pada mahasiswa kedokteran, pihak kampus justru memberikan perlindungan pada para ‘perundung’ yang lebih berkedudukan. Realitas ini sejatinya jauh berbeda dari Trauma Code yang mempertahankan protagonis, termasuk Menteri Kesehatan yang berada di pihak Baek Gang-hyeok.
Baca juga:
Menteri Kesehatan dalam seri ini memang menjadi salah satu tokoh yang merekomendasikan Baek Gang-hyeok. Atas dasar keahlian dan aspirasi sama untuk meningkatkan pusat trauma di Korea Selatan, Baek Gang-hyeok direkrut. Namun kemelut justru hadir setelah Baek Gang-hyeok tidak pernah berhasil dijegal, terkecuali dengan kunci ini.
Kunci ini, beserta tuduhan malpraktik karena tindakan terhadap kasus trauma dalam mobil berjalan yang diambil Baek Gang-hyeok, menjadi topik perbincangan hangat yang dicairkan dengan aksi penyelamatannya terhadap kepala pasukan yang bertugas di medan perang. Aksi ini dinilai baik. Dipuji oleh seluruh masyarakat. Diapresiasi oleh Ibu Menteri. Fenomena yang tampak seharusnya terjadi seperti itu, tapi realitasnya belum tentu selalu demikian.
“Dokter Baek membuktikan keahliannya dan mengakhiri kontroversi kronisme,” adalah kalimat yang disampaikan reporter dalam kedatangan Baek Gang-hyeok.
Di suatu negara, polemik masih akan melekat. Kartu kesalahan akan menjadi kunci mati untuk menjatuhkan lawan dan memenangkan diri sendiri dalam pertarungan. Hal yang bisa diwajarkan bila terjadi di area peperangan, tapi sayangnya ranah kesehatan tidak terlewatkan menjadi bagian.
Bayangkan saja kata-kata Menteri: “selamat datang, kau sudah bekerja keras” tidak terdengar akrab dituturkan di sebuah negeri. (*)
Editor: Kukuh Basuki