Membangun Empati lewat Autoetnografi

Cahyono Anantatoer

3 min read

Mendengar cerita virus Covid-19, kini bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita. Pun bukan satu kabar menakutkan seperti dua tahun lalu, saat kali pertama virus Covid-19 ini dikabarkan masuk Indonesia awal bulan Maret 2020. Namun, membaca buku Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Lintas Benua, karya Izak Y.M Lattu, kita seperti disuguhkan cerita yang sama tetapi dikemas dengan materi baru; suatu pengalaman penyintas Covid-19 berjuang dari bayang-bayang kematian.

Melalui buku catatan autoetnografi yang dikemas dengan bahasa populer dan akademik ini, Izak sepertinya sengaja ingin memperluas cerita ini kepada lintas generasi atau elemen masyarakat tanpa batas. Bahasanya yang ringan, bisa dibilang semacam esai tetapi juga sarat makna akademik. Sehingga bagi orang yang membacanya, buku ini tidak hanya melulu bercerita perihal bagaimana ia hidup dalam bayang-bayang virus yang menakutkan dan mematikan itu. Tetapi bagaimana pengalaman pengetahuan penulis melihat situasi sosial dan perkembangan virus ini dari lintas benua, Indonesia, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab dengan pendekatan autoetnografi.

Buku dengan tebal halaman 224 ini menggunakan pendekatan yang sangat kental dengan disiplin ilmu penulis sebagai seorang dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan CRCS UGM Yogyakarta, dan tetap menjaga jarak (ia sebagai subyek) untuk tetap obyektif. Catatan autoetnografi barangkali sekilas terbayang sama seperti catatan autobiografi, tetapi ini adalah pendekatan yang berbeda.

Pendekatan autoetnografi ini menjadikan pengalaman pribadi peneliti sebagai data penting untuk mengembangkan konsep berpikir. Pengalaman pribadi peneliti dipadukan dengan wawancara mendalam dan observasi, termasuk observasi partisipan. Di sinilah objektivitas penulis tetap terjaga. Bagaimana peneliti menjadi suara bagi orang-orang yang tidak dapat bersuara?

Etnografi mengharuskan pengamatan yang kuat untuk mendukung data wawancara. Sedangkan autobiografi hanya berbasis cerita personal penulis, dan ini sangat subjektif.
Buku terbitan Lawwana ini tidak hanya menggambarkan pengalaman pribadi penyintas-peneliti dengan analisis sosiologis dan refleksi spiritualitas sosial orang Indonesia yang terinfeksi Covid-19 pada gelombang pertama pandemi, tetapi barangkali buku ini adalah hasil penelitian satu-satunya yang berangkat dari pengamatan pribadi penulis secara langsung terhadap Covid-19 di Indonesia, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab dan pengalaman terinfeksi Covid-19 dengan kategori pasien berat pada gelombang pertama Maret-April 2020.

Izak dalam bukunya dengan detil menggambarkan bagaimana perjalanan ke luar negeri dalam bayang-bayang Covid-19, situasi pemerintah Amerika Serikat merespon virus ini terkesan tidak siap dan menimbulkan kohesi sosial, rasisme di ruang publik. Sampai pada akhirnya ia sampai di Indonesia dan harus menjadi korban virus dengan kategori pasien berat, berjibaku dan berjuang dari ancaman kematian dengan ragam tindakan upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Suniah dan Dokter Thomas adalah dua di antara sekian tenaga kesehatan yang diceritakan Izak banyak terlibat di masa-masa kritis di ruang ICU dalam bayang-bayang ventilator penuh misterius.

Pendekatan etnografi setidaknya membantu penulis menggambarkan data dengan hati, deskripsi dan analisa akan lebih hidup karena rasa dan emosi larut di dalam tulisan. Asal dapat menjaga jarak keobyektifan dan menghindari jebakan romantisme, pendekatan autoetnografi akan membantu penulis mengungkapkan isi hati dan piiran di kepala, kesamaan cerita yang dimiliki oleh peneliti dan subyek penelitian lain membuka ruang bagi cerita terbuka, jujur dan mendalam, (hlm.5).

Melawan Pandemi Mengedepankan Empati

Gelombang pertama pandemi Covid-19 menjelma virus yang menakutkan. Tenaga kesehatan dan pemerintah yang belum siap, alat kesehatan tidak terdistribusi dengan efisien, obat penangkal belum ditemukan. Dalam kekalutan itu, secara bersamaan stigma dan isu tumbuh subur pada masyarakat. Stigma menjadi teror yang menakutkan bagi siapa saja yang terindikasi terinfeksi Covid-19. Begitu kira-kira gambaran awal pandemi ini hadir di Indonesia, dan Izak Lattu yang masuk radar virus Covid-19 gelombang pertama ini pun tak luput dari kejaran teror stigma dan diskriminatif. Dan itu hadir dari lingkungan terdekat.

“Saya berharap jangan ke perumahan dulu. Warga keberatan. Harus ada pemeriksaan kesehatan.” Pesan singkat yang seolah mewakili warga saat itu cukup mengejutkan Izak, yang notabenenya masih dalam keadaan sehat dan tanpa gejala apa pun. Saat itu, orang bepergian selalu dicurigai. Dan orang terinfeksi Covid-19 seperti dianggap “aib”, yang jangankan masih hidup, ketika meninggal pun jenazahnya banyak ditolak. Izak adalah termasuk orang nomor satu yang mengalami stigma dan penolakan; teror dan diskriminasi. Stigma dan kecurigaan memang menjadi atmosfer dominan, (hlm.65)

Menjalankan tugas tanpa empati menjadi tekanan lain bagi orang terduga infeksi Covid-19. Barangkali pesan di atas memang bermaksud menjalankan tugas negara dan masyarakat, tetapi dibaca oleh orang dalam pengawasan seperti Izak, terkesan seperti memvonis. Empati tidak ditemukan dalam pesan itu. Dimensi kemanusiaan waktu itu belum dikedepankan.

Tidak semua orang pintar memiliki empati, tak terkecuali tenaga kesehatan dan pelaksana pemerintah. Menjalankan tugas sesuai aturan tanpa menyisakan stigma dan diskriminasi membutuhkan pengetahuan di luar disiplin ilmu yang didalami, empati dan kesadaran kemanusiaan itu di atas segalanya. Terlebih dalam konteks penanganan pasien Covid-19 yang erat kaitannya dengan stabilitas imun dan psikologi seseorang, solidaritas sosial dan empati yang saling menguatkan; adalah obat mujarab lainnya di luar obat rekomendasi medis.

Melalui buku ini, setidaknya kita dapat belajar; bahwa lulusan perguruan tinggi, termasuk ilmu kesehatan, tidak cukup hanya belajar menjadi ahli di bidangnya. Tetapi bagaimana belajar menjadi sarjana. Di mana dalam konsep sarjana, lulusan perguruan tinggi memiliki aspek tinggi ilmu dan tinggi pengabdian. Bekerja bukan hanya soal menjalankan tugas dan mengaplikasikan ilmu, tetapi bagaimana mengabdi kepada kemanusiaan.

Covid-19 menegaskan aspek kemanusiaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan relasi dengan sesama. Tenaga kesehatan yang menangani Izak hingga sembuh seratus persen menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar menjalankan tugas, tetapi menekankan pada dimensi kemanusiaan. Menyelematkan nyawa seseorang di tengah ancaman kematian yang terus meningkat, tentu tidak mudah. Tetapi, seperti dijelaskan Izak dalam buku ini, mereka tenaga kesehatan saat sebelum dan sesudah melakukan tindakan, selalu melibatkan aspek spiritualitas dan solidaritas antar sesama; sebagai upaya membantu kesembuhan pasien di tengah banyaknya tekanan.

Izak berhasil menawarkan satu perspektif baru dalam melihat virus Covid-19. Selama ini kita banyak disuguhkan penelitian dari perspektif kesehatan dan ragam disiplin ilmu, tetapi sedikit atau belum ada yang memberikan perspektif baru dengan pendekatan autoetnografi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan utama untuk penelitian lanjutan perihal Covid-19 dengan konteks yang lebih luas.

Cahyono Anantatoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email