Tentang “Ndasmu” dan Seorang Kepala Negara

Rahadi Siswoyo

3 min read

Saya adalah orang yang senang mengamati cara seseorang berbicara. Terlebih, cara berbicara tokoh penting yang bisa memengaruhi dunia. Contohnya adalah cara berbicara seorang kepala negara. Mendengarkan seorang kepala negara berbicara adalah hal yang luar biasa. Semua tutur katanya mengandung makna, menggairahkan jiwa, dan sangat mewakili rakyatnya. Itulah yang seharusnya keluar dari mulutnya.

Tapi apa jadinya, kalau yang keluar dari mulut seorang kepala negara adalah ungkapan atau kata-kata yang kurang pantas? Barangkali itu akan jadi hal biasa kalau yang mendengar adalah orang-orang terdekatnya. Anak buahnya, apalagi. Pasti akan tertawa karir sambil bertepuk tangan, seolah tak ada yang salah dengan hal itu. 

Tapi bagaimana kalau itu didengar oleh rakyatnya? Orang-orang yang mungkin punya sentimen berbeda terhadapnya. Terlebih, kalau sampai didengar oleh anak-anak yang sedari kecil dibiasakan untuk bertutur sopan dan santun. Apa kata guru moral mereka? Manusia yang fotonya terpampang jelas di depan kelas, rupanya tak bisa menjadi tauladan untuk hal yang sederhana, yakni santun dalam berbicara. 

Baca juga:

Sayangnya, hal itu harus terjadi di negeri kita tercinta. Sang kepala negara malu-malu tapi tak ragu mengeluarkan kata-kata kurang pantas dari mulutnya. Sungguh menyedihkan. Terlebih, kata-kata itu keluar bukan untuk menjaga harga diri bangsa, tapi untuk menjaga harga dirinya sendiri. Hanya harga dirinya, dan segelintir orang yang sepaham dengannya.

Kata yang keluar dari mulutnya sungguh sederhana, hanya satu kata dari Bahasa Jawa, “ndasmu!”

Sedikit tentang “Ndasmu”

Barangkali ada yang tak tahu arti kata ndasmu? Saya akan coba menjelaskannya secara sederhana. Dalam Bahasa Jawa, kata ndas itu berarti kepala. Namun, lebih identik dan cenderung berarti kepala hewan. Sedangkan untuk manusia, orang Jawa menyebutnya sirah atau mustaka. Kata sirah digunakan untuk bertutur kepada orang yang sebaya atau lebih muda, sedangkan mustaka adalah ragam bahasa tinggi yang digunakan untuk bertutur kepada orang yang jauh lebih tua.

Dari penjelasan singkat itu, bisa disimpulkan kalau kata ndasmu berarti kepalamu (tapi untuk hewan). Orang Jawa juga sering menggunakannya, tapi untuk tujuan mengumpat. Meskipun demikian, di wilayah Jawa yang ragam bahasanya cenderung kasar, seperti di Surabaya, kata ndasmu adalah kata sehari-hari. Tapi perlu digarisbawahi, kalau itu tetaplah ragam bahasa yang kasar. Jadi, saya rasa kalian bisa dengan sendirinya menyimpulkan, apakah pantas seorang kepala negara mengucapkan kata demikian?

Bukan kali pertama

Saya rasa, kedekatan sang kepala negara dengan kata ndasmu sudah terjalin cukup lama. Bahkan, sebelum dirinya diberi mandat oleh rakyat untuk memimpin mereka. Sang kepala negara pernah mengatakan, kata “ndasmu etik!” dalam sebuah pidato. Lagi-lagi, keluarnya kata ndasmu dilatarbelakangi oleh upaya resistensi terhadap individu atau kelompok yang tak sepaham atau berseberangan dengan dirinya. Sama halnya dengan yang baru-baru ini terjadi Lantas, apa arti demokrasi jika memiliki pandangan berbeda berujung dikatai ndasmu? Seolah hanya boleh ada satu kepala di negeri ini.

Hal itu sungguh disayangkan. Seharusnya, sebagai sosok pemimpin tertinggi di suatu negara demokrasi, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang  menenangkan rakyat, membangun harapan, dan merangkul perbedaan. Bukan malah mengeluarkan kata-kata penuh kesan amarah, kontroversial, dan seolah mencederai demokrasi di negeri ini.

Padahal, pemimpin-pemimpin terdahulu negeri ini sangat ahli dalam mengatur apa yang keluar dari mulutnya. Soekarno, memilih berpidato dengan begitu membara dan ganas mengecam negara lain yang main-main dengan negeri ini, bukan malah mengatai rakyatnya sendiri. Habibie, berbicara dengan ketajaman intelektual yang saat ini mulai ditinggalkan oleh negara yang kini lebih nyaman dengan gaya bahasa sederhana ala influenser media sosial. Sementara itu, Gus Dur, merangkul lawan politik dengan humor yang menggugah tawa, bukan umpatan.

Baca juga:

Kata “ndasmu” melanggar prinsip kesantunan berbahasa

Dalam bertutur atau berkomunikasi, ada suatu teori yang disebut dengan kesantunan berbahasa. Teori ini dikemukakan oleh ahli bahasa bernama Geoffrey Leech. Teori ini menitikberatkan pada penggunaan bahasa secara santun untuk menciptakan situasi pertuturan yang efektif, harmonis, dan saling menghormati dalam berbagai situasi. Kesantunan berbahasa itu kemudian dibagi ke dalam enam prinsip atau lebih tepat disebut maksim. Keenam maksim tersebut adalah sebagai berikut.

  • Kebijaksanaan (tact maxim)

Menurut maksim ini, setiap peserta tutur harus meminimalkan kerugian yang diperoleh orang lain dan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh orang lain.

  • Penerimaan (generosity maxim)

Maksim ini menginginkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan kerugian untuk diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

  • Kemurahan (approbation maxim)

Maksim kemurahan ini menuntut setiap peserta tutur untuk memaksimalkan rasa hormatnya kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

  • Kerendahan hati (modesty maxim)

Maksim ini meminta setiap peserta tutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

  • Kecocokan/kesepakatan (agreement maxim)

Maksim kecocokan ini menginginkan supaya setiap peserta tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

  • Kesimpatian (sympathy maxim)

Maksim ini mengharuskan semua peserta tutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

Melalui definisi-definisi tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan antara maksim satu dengan maksim lainnya, yakni menitikberatkan pada upaya meminimalkan kerugian yang diperoleh orang lain dan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh orang lain. Artinya, jika menaati salah satunya, kemungkinan kita bisa menaati seluruhnya. Begitu juga sebaliknya, apabila melanggar salah satunya. Maka, bisa jadi kita melanggar seluruh maksim kesantunan itu. 

Dalam kaitannya dengan ungkapan ndasmu yang disampaikan oleh Presiden ke-8 RI dalam suatu pidato, ungkapan tersebut cenderung mengarah pada pelanggaran maksim-maksim kesantunan di atas. Alasan logis dan teoritis untuk menyatakan tuturan ndasmu tidak santun dapat kita lihat dari makna kata tersebut. Secara segmental, kata ndasmu dapat diartikan kepalamu (kepala hewan) menurut Bahasa Jawa. Namun, secara suprasegmental, kata ndasmu dapat diartikan lebih sederhana, yakni umpatan, makian, cacian, atau sebagainya, 

Lewat analisis sederhana itu, dapat kita interpretasikan bahwa ungkapan ndasmu pada konteks tersebut sangat tidak santun dan melanggar prinsip-prinsip kesantunan yang ada karena memperbesar kerugian pada mitra tutur (pengkritik), tidak menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur, tidak berusaha untuk menunjukkan kesepakatan kepada mitra tutur, atau bahkan tidak menunjukkan kepedulian atau rasa simpati. Secara sederhana, ungkapan ndasmu dapat dimaknai sebagai bentuk arogansi dan anti kritik. Padahal, saat debat pilpres kemarin, Sang Presiden cukup sering menyepakati ucapan lawan debatnya. Mengapa saat sudah mendapat mandat, kau malah berubah?

Dr. Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa menyebutkan salah satu fungsi bahasa adalah sebagai kontrol sosial. Seorang pemimpin yang kacau bahasanya akan gagal untuk memengaruhi tingkah laku dan tindak-tanduk rakyatnya. Lebih parah lagi, ia akan kehilangan wibawanya sebagai seorang pemimpin. Tunggu sebentar, saya tidak bermaksud untuk meragukan kemahiran berbahasa kepala negara kita saat ini. Tapi, saya hanya heran, kok bisa, kata ndasmu itu keluar dengan begitu mudah dan mendapat respon meriah dari orang-orang yang berada di ruangan itu? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Rahadi Siswoyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email