Dalam perdebatan tentang kemajuan moral, dimensi kolektif sering menjadi sorotan utama. Kita melihat bagaimana norma sosial berubah, undang-undang direformasi, atau politik global berkembang melalui pertarungan ide. Namun, satu aspek penting kerap luput dari perhatian: subjektivitas individu. Individu bukan hanya entitas pasif yang terpengaruh oleh struktur kolektif, melainkan aktor yang aktif berpartisipasi dalam transformasi sosial. Dalam konteks ini, subjektivitas tidak dapat direduksi menjadi sekadar ego rasional atau kesadaran moral individual, tetapi lebih sebagai ruang konflik yang kompleks.
Dengan memadukan pendekatan Jacques Lacan dalam membaca subjektivitas dan gagasan Philip Kitcher tentang Moral Progress, artikel ini berupaya meretas jalan baru untuk memahami tantangan subjektivitas dalam proyek etika. Jika Kitcher mengajukan pandangan bahwa kemajuan moral merupakan proses kolaboratif yang lahir dari kebutuhan manusia akan kehidupan yang lebih baik, Lacan, di sisi lain, mempersoalkan struktur hasrat dan keterpecahan subjektif yang sering kali merintangi perjalanan menuju perubahan kolektif.
Subjektivitas: Ruang Konflik yang Kompleks
Subjektivitas, menurut Lacan, selalu ditandai oleh perpecahan (split). Ia tidak pernah utuh, melainkan selalu terpecah antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara apa yang diinginkan dan apa yang seharusnya dilakukan. Dalam proses simbolisasi yang menciptakan identitas manusia, individu selalu berhadapan dengan kekurangan atau sesuatu yang hilang–suatu kondisi yang Lacan sebut sebagai “lack” (manque). Kekurangan ini memicu hasrat yang terus-menerus mencari pemenuhan, meskipun pemenuhan sejati tidak pernah tercapai.
Baca juga:
Dalam konteks etika, subjektivitas seperti ini menjadi problematis. Bagaimana seseorang dapat terlibat dalam proyek etika yang menuntut kerja sama kolektif, ketika pada dasarnya ia adalah entitas yang terpecah? Bagi Lacan, setiap tindakan individu selalu melibatkan negosiasi antara keinginan pribadi, tuntutan sosial, dan apa yang disebutnya sebagai Nama-Bapak (the Name-of-the-Father), yaitu otoritas simbolik yang membatasi sekaligus mengarahkan individu.
Moral Progress: Perspektif Filsafat Pragmatisme
Philip Kitcher, melalui bukunya The Ethical Project, memandang etika sebagai upaya manusia untuk menyelesaikan masalah yang muncul dari kehidupan bersama. Baginya, etika tidak hanya berkembang secara kolektif, tetapi juga melibatkan individu yang berkontribusi melalui pengalaman, pengetahuan, dan argumen mereka. Kitcher mengajukan pendekatan pragmatis untuk memahami kemajuan moral, dengan fokus pada kemampuan manusia untuk mengenali dan memperbaiki kesalahan masa lalu, seperti perbudakan, patriarki, atau kolonialisme.
Namun, ada tantangan besar dalam gagasan ini: bagaimana mengintegrasikan subjektivitas individu yang, seperti dijelaskan Lacan, sering kali tidak stabil dan penuh konflik, ke dalam proyek kolektif yang berorientasi pada kemajuan moral? Di sinilah peran penting dimensi imanen yang melibatkan dialog antara individu dan masyarakat.
Dialektika Subjektivitas dan Etika Kolektif
Subjektivitas individu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu dalam relasi dialektis dengan norma sosial. Proses ini sering kali penuh ketegangan. Sebagai contoh, perubahan norma tentang kesetaraan gender tidak hanya melibatkan transformasi struktural seperti hukum atau kebijakan, tetapi juga memerlukan perubahan cara pandang individu tentang hubungan kuasa dalam kehidupan sehari-hari.
Di satu sisi, norma sosial dapat menjadi super-ego kolektif yang menekan individu untuk menyesuaikan diri. Di sisi lain, subjektivitas individu sering kali menolak perubahan yang dirasa mengancam stabilitas identitasnya. Dalam kerangka Lacanian, ini adalah titik di mana individu mengalami apa yang disebut anxiety–kecemasan yang muncul ketika fantasi identitasnya terancam oleh perubahan.
Tantangan Subjektivitas Hari Ini
Dalam masyarakathari ini, tantangan terbesar subjektivitas adalah bagaimana menghadapi arus informasi yang membanjir dan tekanan sosial yang semakin kompleks. Media sosial, misalnya, menciptakan arena baru di mana individu harus terus-menerus menegosiasikan identitasnya. Di satu sisi, ini membuka peluang bagi dialog dan refleksi yang lebih luas, tetapi di sisi lain, hal ini juga memperkuat pola-pola hasrat yang bersifat narsistik.
Baca juga:
Hasrat narsistik ini menjadi hambatan bagi proyek etika kolektif, karena individu cenderung fokus pada kebutuhan pribadi atau pengakuan sosial, alih-alih memperjuangkan nilai-nilai yang lebih besar. Dalam konteks ini, proyek etika membutuhkan mekanisme yang tidak hanya mengakomodasi subjektivitas individu, tetapi juga mampu mengarahkan konflik internal tersebut ke arah yang produktif.
Implikasi untuk Proyek Etika
Ketika kita berbicara tentang proyek etika, penting untuk menyadari bahwa dimensi subjektivitas individu tidak bisa diabaikan begitu saja. Proyek ini harus mampu merangkul kompleksitas individu sebagai bagian dari lanskap yang lebih besar. Misalnya, perubahan norma yang signifikan, seperti perjuangan melawan diskriminasi atau kesetaraan gender, tidak hanya memerlukan kebijakan yang dirumuskan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu mempertimbangkan bagaimana individu merespons perubahan ini pada tingkat personal.
Dalam pandangan ini, kesadaran tentang subjektivitas menjadi penting. Setiap individu membawa konflik internal yang unik—antara apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan harapkan. Konflik ini, meskipun sering kali terlihat sebagai hambatan, sebenarnya dapat menjadi motor penggerak perubahan. Ketika seorang individu menghadapi norma baru yang bertentangan dengan keyakinannya, ia tidak hanya mengalami tantangan eksternal, tetapi juga perjalanan internal yang memaksa mereka untuk merefleksikan nilai-nilai yang dianut. Refleksi ini, jika dikelola dengan tepat, dapat mengarah pada transformasi individu yang akhirnya berkontribusi pada perubahan kolektif.
Meretas Jalan Baru
Tantangan subjektivitas hari ini adalah pengingat bahwa proyek etika tidak dapat hanya mengandalkan transformasi struktural atau norma kolektif. Subjektivitas individu–dengan segala kompleksitas dan konfliknya–harus menjadi bagian integral dari diskusi ini. Dengan memadukan wawasan dari Lacan dan Kitcher, kita dapat meretas jalan baru yang lebih inklusif dan realistis untuk menghadapi tantangan moral di era modern.
Di balik setiap perubahan besar dalam sejarah manusia, selalu ada individu-individu yang berani menghadapi konflik internal mereka dan melibatkan diri dalam dialog kolektif. Dalam hal ini, subjektivitas bukanlah hambatan, melainkan potensi yang dapat menggerakkan roda kemajuan moral ke arah yang lebih baik.
Editor: Prihandini N