Baru-baru ini, saya menonton sebuah drama korea berjudul Check in Hanyang di platform Netflik. Ya, terus terang saja, saya memang suka menonton drama korea, khususnya yang bergenre sageuk atau kolosal dengan latar belakang cerita pada era Dinasti Joseon. Selalu ada hal menarik yang bisa dipetik kaitannya dengan peta perpolitikan, kultur, dan budaya yang berlaku saat itu. Biar saya ceritakan apa menariknya drama yang satu ini.
Check in Hanyang mengangkat cerita tentang adanya sebuah penginapan paling mewah di Hanyang, ibukota Kerajaan Joseon saat itu. Tidak main-main, penginapan ini dibangun bersisian dengan Istana Kerajaan. Desain dan tata letak bangunannya hampir serupa dengan Istana Raja. Setiap hari, orang-orang dari seluruh penjuru Joseon mengunjunginya. Tidak hanya itu, orang-orang Barat juga kerap menginap dan memanjakan diri di sana. Di layanan VIP, seorang tamu bahkan bisa memesan kamar luxury dan mengenakan jubah merah bermotif naga emas yang hanya boleh dipakai oleh Jusang Jeonha atau sang Raja saja.
Penginapan itu diberi nama Yongcheonru dan dimiliki oleh seorang pengusaha bernama Cheon Mak Dong. Membangun penginapan yang menyerupai Istana sebenarnya adalah bentuk pengkhianatan kepada negara. Namun, menariknya Raja dan para menteri tidak berkutik di hadapan Mak Dong karena dia memiliki kekayaan dan emas yang bisa menopang keuangan negara. Diceritakan, Mak Dong bahkan berkonspirasi dengan Pyongpan Daegam atau Menteri Perang untuk mengangkat Lee Hyun Wi, adik Raja yang sedang berkuasa untuk naik takhta. Tujuannya agar Lee Hyun bisa dijadikan penguasa boneka dan bisa dikendalikan dengan uang serta kekuasaan yang dimiliki oleh Mak Dong.
Terbukti, Mak Dong tidak pernah tersentuh hukum. Raja bahkan tidak berkutik di hadapannya. Emas-emas yang dikirimkan secara rutin oleh Mak Dong dijadikan pilar-pilar untuk menjalankan negara. Dalam salah satu dialog Lee Hyun yang kini telah menjadi Raja kepada Menteri Perang, ia berkata, “Aku tidak bisa menolak emas yang dikirimkan oleh Yongcheonru, karena hanya dengan itu kita masih bisa memerintah.”
Baca juga:
Karena telah berhasil membantu Lee Hyun naik takhta, Menteri Perang meminta imbalan dengan menjadikan anak perempuannya sebagai Ratu. Dari perkawinan tersebut, lahirlah Pangeran Soonyang. Di sisi lain, Lee Hyun sudah memiliki anak dengan istrinya yang lain, jauh sebelum ia naik ke singgasana bernama Pangeran Muyeong. Mak Dong berniat menjadikan salah satunya sebagai Raja. Siapa pun akan dia dukung asal bisa memberikan keuntungan padanya dan bisa bekerjasama dengan Cheon Jung Hwa, putranya yang akan meneruskan bisnis penginapan Yongcheonru.
Oligarki Negeri Ini
Kita semua tentu tidak keberatan menyebut Mak Dong dan seluruh orang yang terlibat dalam bisnis dan konspirasinya sebagai oligarki. Dengan uang dan kekayaannya, ia mampu menekuk lutut Raja dan memerintah Istana. Jika mau jujur, Mak Dong-lah Raja yang sebenarnya. Dengan obsesi dan ambisinya, ia menyulap ruang pribadinya menyerupai altar singgasan Raja. Ia juga sering mengenakan jubah bersimbol naga emas sebagai penegasan akan statusnya.
Dari sedikit sinopsis film yang sudah saya sebutkan di atas, rasanya kita tidak perlu malu-malu lagi untuk mengakui kalau oligarki juga sudah mulai memerintah negeri ini. Kasus pagar laut, Rempang, IKN, Wadas, polemik proyek strategis nasional Pantai Indah Kapuk, dan masih banyak lagi adalah bukti bahwa negeri ini telah dikuasai oleh oligarki. Mirip dengan yang dilakukan oleh Mak Dong. Istana-istana baru akan dibangun. Dengan uang dan kekayaan yang dimiliki, boleh jadi Istana baru yang akan dibangun oleh oligarki jauh lebih indah dan menakjubkan dari Istana Negara. Who know?
Pemerintah juga tidak perlu malu-malu jika ingin mengakui bahwa mereka mulai tidak berdaya tanpa sokongan dari oligarki. Mirip dengan ucapan Lee Hyun. Ia hanya bisa memerintah dengan sokongan emas-emas yang diberikan Mak Dong. Untuk apa malu, toh negeri ini—Nusantara tepatnya, pernah diperintah oleh oligarki. Biar saya ingatkan sebentar, barangkali sidang pembaca juga lupa.
Kuasa VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602 adalah perusahaan multinasional pertama yang menghimpun para pengusaha Belanda agar berada dalam satu wadah dan bisa mengekspansi negeri lain tanpa saling sikut dan saling bantai. Perusahaan ini didukung oleh pemerintah Belanda dan dibekali dengan hak-hak istimewa. VOC pun mulai melebarkan ekspansinya hingga sampai di Nusantara. Pada akhirnya, mereka tidak hanya berdagang, tapi tumbuh hasrat untuk menguasai. Kita bisa berdebat panjang lebar apakah VOC menjajah Nusantara atau tidak. Tapi fakta bahwa VOC ikut campur dalam perpolitikan Nusantara adalah hal yang tidak bisa dibantah.
Terbaginya Kerajaan Mataram Islam melalui perjanjian Gianti dan Salatiga adalah bukti bahwa VOC tidak hanya bermain dalam ranah perdagangan, tetapi politik dan kekuasaan. Dalam perjanjian Giyanti yang terdiri dari sepuluh pasal, pada pasal ketiga berbunyi: Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia kepada VOC di tangan Gubernur Jenderal. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari Residen atau Gubernur Jenderal.
Saya yakin tidak ada yang keberatan sedikit pun jika menyebut VOC sebagai oligarki. Ya, faktanya negeri kita memang pernah “dipimpin” oleh oligarki. VOC baru bubar pada tahun 1799. Barulah di awal 1800-an, Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan dan mulai memerintah di Hindia Belanda. Maafkan saya jika menyebut bahwa kita punya memori masa lalu diperintah oleh oligarki. So, sebenarnya tidak perlu terkejut kalau kini oligarki akan kembali memimpin negeri. Boleh jadi, kita malah sedang bergerak ke fitrah dari negeri ini sebagai potongan kue yang bisa dimainkan oligarki sesuka hati.
Dari Oligarki, oleh Oligarki, dan untuk Oligarki
Saya pernah bergurau dengan seorang kawan lama. Saya katakan, “Sebenarnya pekerjaan yang paling menjanjikan di negeri ini bukan menjadi pegawai negeri, tetapi bergabung dan menjadi bagian dari oligarki.” Kami tertawa bersama-sama setalah mendengar pernyataan itu yang terasa sangat lucu meski terus terang saya tidak tahu di mana letak kelucuannya.
Baca juga:
- Yang Perlu Dikritisi Ketika Membicarakan Oligarki
- Minyak Goreng: Mengabaikan Rakyat, Melindungi Oligarki
Berbicara tentang oligarki, saya jadi teringat ucapan Niccolo Machiavelli dalam karyanya, Il Principe, “ Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan. Mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan yang mereka terima, tetapi tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita berikan harus sesakit-sakitnya sehingga kita tidak perlu takut pada balasan mereka.”
Terus terang, kadang saya curiga kalau para pemimpin kita adalah machiavellian sejati. Boleh jadi buku Il Principe ada di rak teratas dan bacaan utama ketika ingin mengambil kebijakan. Setelah membaca pernyataan Machiavelli berkali-kali, saya pun akhirnya mengerti mengapa meski begitu banyak ketidakadilan dipertontonkan, kita tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Jawabannya boleh jadi karena luka yang diberikan sudah terlalu parah sehingga kita tidak bisa lagi menyusun balasan. Kita terlalu sibuk untuk mengobati diri sendiri sebagai akibat kebijakan yang kerap kali menyakitkan hati.
Saat menulis artikel ini, saya menyadari bahwa dari hulu ke hilir, kita telah merasakan pengaruh dari oligarki, kebijakan yang diatur oleh oligarki, dan untuk kepentingan para oligarki. Kalau begitu, izinkan saya mengajukan sebuah pertanyaan: Salahkan jika saya bercita-cita ingin bergabung dan menjadi bagian dari oligarki?
Ada sebuah adagium Jawa yang terkenal, “Ora edan ora keduman”. Tidak ikut gila maka tidak akan mendapatkan bagian. Dalam keadaan setengah terjaga, saya berpikir, apakah cara agar tetap bisa survive di kerumunan orang gila adalah sama-sama menjadi gila? Entahlah. Saya tidak mau jadi gila, tapi jika saya sendiri yang waras di tengah kepungan orang gila, bisa-bisa saya yang akan menjadi lebih gila dari mereka.
Terakhir, sebelum menutup tulisan ini, saya akan bertanya: Apakah sudah saatnya oligarki memerintah negeri ini? Kalau sudah, mari kita sambut dengan gegap gempita dan jangan lupa untuk bekerja lebih keras lagi. (*)
Editor: Kukuh Basuki