@fahrulrojo_

Surf Rock, Bikin Senja Lebih Seksi

Azis Fahrul Roji

3 min read

Adakalanya, seseorang yang tak pandai bermain musik atau bahkan sama sekali tidak bisa bermain musik agaknya masih memiliki hak penuh sebagai penikmat musik itu sendiri. Sebagai seseorang yang dimaksud itu, saya pun tak jarang dengan sengaja mencari referensi literatur dan kajian berkaitan dengan musik. Baik sifatnya pembahasan terhadap lirik maupun sejarah dari genre musik atau sebuah band di Indonesia bahkan dunia.

Terbaru, saya sempat mengeksplorasi informasi berkenaan dengan The Panturas dan genre musik yang mereka bawa. Berawal dari Gurita Kota yang diputar seorang kawan hampir setiap hari dan Sunshine yang ­sering di-jamming-kan pegiat musik kampus, sedikit-sedikit saya menyisir informasi pelantun kedua lagu tersebut tanpa bertanya kepada orang-orang. Tujuannya, ya, demi reputasi dan tidak dikatakan, “Masa baru tahu?” kiranya begitu alasan urgensialnya.

Dari sana, saya merasa bersahabat dengan musik yang ditawarkan The Panturas. Hingga pada suatu waktu, band tersebut mengadakan konser dan saya mencoba terlibat seperti “ABK” pada umumnya. Rupa-rupanya, The Panturas yang terinspirasi dari The Ventures, mengusung genre surf rock. Genre musik yang asing tetapi sebenarnya saya agak familier dengan lagu Hawaii Five-O karya The Ventures dan Miserlou-nya Dick Dale tanpa tahu spesifik genre apa yang mereka sajikan. Setelah cukup akrab dengan lagu-lagu The Panturas, saya pun merasa semakin jatuh cinta dengan genre ini hingga hampir setiap hari saya putar dan jadi “teman senja” yang baik saat ini.

Oh, ya, berkaitan dengan senja, pada kurun waktu sekira enam atau tujuh tahun lalu, barangkali saya mencatat bahwa senja kerap diidentikkan dengan musik folk—selanjutnya mungkin ada folk indie dan semacamnya. Pendapat saya ini tentu tak bisa dikatakan mengada-ada sebab tak jarang mendengar selorohan dari orang-orang di sekitar tentang “anak senja” yang cenderung disematkan pada mereka sebagai penikmat dari musik folk itu sendiri. Itu pun jelas didukung oleh lagu-lagu yang turut berkembang pada masa itu. Sebut saja, Lembayung Senja dan lagu-lagu karya Fourtwnty dengan pembawaan yang mencoba dekat dengan suasana yang tenang dan evaluatif sebagaimana diciptakan orang-orang pada saat senja-sore hari sembari melepas penat dari geliat kehidupan dan kekalutan kota.

Namun, melansir dari informasi yang saya dapat di laman quora.com, stigma terkait folk—saat itu bahkan sekarang ini—yang mendekatkan diri pada senja yang terus-terusan membawa lirik puitis terlebih dengan gaya yang lebih urban adalah suatu pendangkalan. Sejatinya, folk, seperti namanya, berkenaan dengan narasi rakyat kecil yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Penulis tersebut menuturkan bahwa “Lebih masuk akal lagi kalau yang dibicarakan mengenai kampung halaman, keindahan alam, pengalaman pribadi yang diceritakan secara gamblang … bentuk spesifik suatu tempat yang menyimpan kenangan si musisi, kondisi keluarga, dan topik lain yang sejenis, yang intinya mengarah ke segala sesuatu yang merakyat”.

Lalu teringat sekira satu dekade lalu, makna “senja” justru lekat dengan mereka pendengar musik reggae. Makna “senja” yang lekat pada reggae saat itu dapat dikatakan sebagai perluasan makna dari “pantai” yang gandrung dalam lagu-lagu reggae di tanah air. Cinta di Pantai Bali, Pesta Pantai, Anak pantai, dan Lagu Santai secara terang-terangan membawa pantai pada permukaan musik reggae baik secara lirik maupun visual klip.

Baca juga:

Namun, lagi-lagi ketika mencoba menggali lebih dalam terkait reggae dan senja bahwa sebenarnya fitrah reggae sangat jauh dari nuansa pantai. Hal itu bisa ditelusuri dari pernyataan Ras Muhammad dalam artikel medcom.id bahwa reggae lahir di Jamaika dan orang-orang di Jamaika sulit sekali menjangkau kawasan pantai karena keterbatasan transportasi. Bahkan dalam artikel tersebut, Ras Muhammad menegaskan, Bob Marley sebagai salah satu kiblat reggae, adalah orang gunung dan tak pernah menciptakan lagu dengan menyisipkan pantai di dalamnya.

Berkenaan dengan dua informasi tersebut, saya rasa persoalan itu bukan mengarah pada ranah benar atau salah, melainkan murni terjadi oleh perkembangan kultur musik terkait. Dan boleh dikatakan, fenomena demikian hanya terjadi di Indonesia, sebagaimana dua pendapat itu menuturkan secara lanjut. Dan pada tulisan ini, saya jelas memasang tajuk “Surf Rock, Bikin Senja Lebih Seksi” tanpa embel-embel metafora yang melahirkan berbagai pandangan dari setiap pembaca.

Memang benar adanya, mendengarkan musik surf rock acapkali membuat perasaan saya lebih bergairah dan bersemangat dalam melakukan satu pekerjaan. Dan tentu, nuansa ini sangat penting disisipkan pada masa rehat-sore hari-senja-burit-sareupna sebagai pembangun energi untuk aktivitas-aktivitas selanjutnya. Musik yang kental dengan permainan gitar penuh reverb ini benar-benar mengikat pantai di dalamnya dan menciptakan suasana enerjik, ceria, dan penuh semangat.

Efek lonjakan energi pada tubuh saat mendengar musik surf rock, spesifiknya The Panturas terjadi sejak setahun belakangan. Alih-alih mengadopsi reggae atau folk sebagai teman senja, saya lebih memilih musik yang berakar dari aktivitas berselancar ini. Alasannya, kedua genre awal kurang begitu saya nikmati sebab referensi musik saya didahului oleh pop-rock dan balada, semacam Peterpan, Dewa 19, serta Iwan Fals. Dan The Panturas, berhasil mendaratkan surf rock dengan mulus di telinga saya. Menemani senja. Bahkan terbilang hampir setiap waktu, bukan hanya senja.

Baca juga:

Proyeksi laut dan pantai semakin jelas dalam setiap permainan irama The Panturas. Terlebih, band Jatinangor ini kerap memadukan dengan instrumen-instrumen lokal, seperti yang mereka lakukan dalam proyek mini album terbaru, “Galura Tropikala”, yang mengusung lokalitas Sunda sebagai titik awal mereka tumbuh.

Perlu digarisbawahi, lagi-lagi ini bukan soal benar dan salah, ini hanya perspektif sebagai seorang penikmat musik, penikmat surf rock, dan The Panturas tentunya. Ke depannya, barangkali perkembangan genre musik tersebut pun akan mengalami berbagai temuan-temuan baru bagi para penikmatnya. Dan tak menutup kemungkinan terjadi pada genre-genre lainnya. Ah, sudahlah, barangkali saya bukan pemerhati musik sejati. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

Azis Fahrul Roji

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email